Jangan Terpancing Disukai Orang, Lebih Baik Disegani Sebagai Pejuang Sejati
Menghadapi kondisi seperti ini membutuhkan perjuangan sejati. Sebagai gantinya kita harus dapat memandang dirinya sebagai pejuang, sekalipun dikepung musuh. Pertempuran terus-menerus akan menjadikan kita kuat dan siaga.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
"PEMIKIRAN politik dan naluri politik terbukti sendiri secara teori maupun praktis dalam kemampuan membedakan kadan dengan lawan. Poin-poin tinggi politik adalah sekaligus momen di mana musuh dalam kejelasan konkret dikenali sebagai musuh" (Carl Smitt, 1888-1985).
Kehidupan adalah konflik, pertarungan, permusuhan, dan pertempuran tidak akan pernah berakhir. Musuh cenderung tidak kentara dan sulit ditembak, selalu menyamarkan niat mereka sering berpura pura sebagai kawan.
Untuk mengidentifikasi musuh harus membuka kutub-kutub yang berlawanan dari sebuah magnet menciptakan gerakan dengan maksud dan arah menjadi pilihan mereka akan bisa membuka tabir sesungguhnya dia kawan atau lawan.
Mereka akan bereaksi dari sumber energinya sebagai lawan atau kawan. Jangan naif terhadap musuh tertentu tidak boleh ada kompromi dan tidak boleh ada jalan tengah.
Sebagaimana kita rasakan saat ini dalam situasi buruk, terjadinya kehidupan yang saling merusak keterlibatannya yang berbahaya. Kesulitan yang terus membelit akan menentukan nasib bangsa ini.
Pilpres sebagai ajang demokrasi nekad diperkosa hanya sebagai aksesoris kekuasaan. Sementara sang penguasa tetap tampil sebagai pejuang demokrasi, keadilan, kebaikan, kebenaran dan juga kejujuran.
Sebagian masyarakat dilanda resah, bingung mana kawan dan lawan, terasa seperti sedang tersesat di jalan sesat, pada posisi gelap mana pemimpin yang jujur, adil dan akan membawa masyarakat ke jalan yang terang.
Saat bersama penguasa terus menyamar diri mengaku sebagai pemimpin yang bermoral ketika terlihat dengan jelas sedang berkubang di jalan sesat dan gelap.
Rakyat terus berdebat dengan harapan kadang seperti hanya ada dalam harapan, karena para penguasa negara tetap ada posisinya hidup dalam alam hedonis, menikmati hidup (enjoy life) di alam negara liberal dan individual.
Terdengar sayup-sayup sebagian aktivis konstitusi cuap-cuap "ini gara-gara UUD 45 telah diubah maka ini waktunya harus kembali dan kembalilah ke Pancasila dan UUD 45" pondasi dan benteng kehidupan bangsa Indonesia telah mereka rusak.
Sayang gerakan ini tak bedanya seperti kucing ompong, ketika perilakunya hanya mengeluh, dan tertegun, menyaksikan penghianatan, tanpa perlawanan, bahkan ragu untuk bertindak, fatal dan menjadi mudah hanya mengeluh dan berdebat. Dan, anehnya terlihat bangga merasa sudah jadi pahlawan.
Tidak fokus pada musuh yang telah merusak dan mengganti UUD 45. Ada kekuatan yang sedang menghalangi jalan perjuangannya, baik secara tidak kentara atau secara terang-terangan sedang membangun negara liberal.
Bahkan tanpa sadar mentolelir dengan mengatakan bahwa perbedaan antara kawan dan lawan adalah primitif dan sudah ketinggalan jaman. Hanya untuk menyamar diri karena ketakutan akan konflik melawan musuh dan bersembunyi dengan topeng kehangatan semu.
Ada kekuatan besar yang terus menekan, menyimpangkan, mempengaruhi, ruang agar bangsa ini tetap tersesat seperti ucapan "negara ini tidak butuh oposisi tetapi hanya butuh gotong-royong".
Menghadapi kondisi seperti ini membutuhkan perjuangan sejati. Sebagai gantinya kita harus dapat memandang dirinya sebagai pejuang, sekalipun dikepung musuh. Pertempuran terus-menerus akan menjadikan kita kuat dan siaga.
Sebagai pejuang sejati itu, "Jangan terpancing untuk disukai orang, lebih baik disegani sebagai pejuang sejati". (*)