Jokowi Mabuk Kekuasaan

Suara keras Megawati kepada Jokowi menjadi bukti bahwa dukungan politik internal telah buyar. Jokowi bukan hanya ditinggalkan oleh PDIP tetapi juga partai lain. Tokoh pendukung banyak yang menjauhi.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

ARAH kritik Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri saat HUT PDIP ke-51 di Lenteng Agung kemarin adalah Presiden Joko Widodo. Sulit untuk ditafsirkan lain dari bahasa politik itu. Jokowi menjadi figur yang bertipe penjajah yang biasa melakukan politik pecah belah (divide et impera) kepada rakyat.

Megawati sangat merasakan bahwa pola ini sedang dimainkan oleh Jokowi. Berdampak kepada partainya. Pendukung Ganjar Pranowo yang berpindah pada Prabowo Subianto.

Meskipun tidak menyebut langsung yang dimaksud, tetapi rakyat sangat memahami bahwa Jokowi- lah yang digelari orang "mabuk kekuasaan" oleh Megawati. Keinginan Jokowi untuk memperpanjang masa jabatan menjadi tiga periode, agenda menunda Pemilu serta memaksakan puteranya Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres menjadi modus dari mabuk kekuasaan tersebut. Megawati tidak setuju.

Perseteruan dirasakan semakin tajam bahkan pengamat menilai hubungan keduanya sudah putus. Sikap Capres PDIP Ganjar Pranowo yang "menyerang" Prabowo saat acara Debat KPU beberapa waktu lalu memberi sinyal akan hal itu.

Demikian juga dengan kader-kader PDIP yang "menyerang" Putusan MK yang berbau politik dinasti. Wacana hak angket DPR juga mengemuka meski ternyata tidak berlanjut.

Menko Polhukam yang juga Cawapres PDIP Mahfud MD membuka pintu bagi aspirasi Petisi 100 tentang pemakzulan Jokowi. Telah menjadi bahasan media. Meskipun bagi Mahfud tentu beralasan soal mengisi desk kecurangan Pemilu yang dibuatnya.

Ia menyatakan bahwa pemakzulan adalah hak rakyat. Mengikuti prosedur yang diatur Konstitusi. Bahkan, menurutnya, jangankan pemakzulan, revolusi juga menjadi hak rakyat.

Perilaku Jokowi dinilai semakin tidak wajar, karena disamping dipertanyakan kualitasnya sebagai Presiden juga telah banyak aturan yang dilabrak. Ia menjadi penguasa yang berbuat sewenang-wenang.

Mabuk kekuasaan dapat disebabkan dua faktor utama, yaitu:

Pertama, habitatnya sebagai pemabuk. Hal ini terlihat dari ambisi untuk selalu meraup kekuasaan baik Walikota, Gubernur, dan Presiden selama dua periode. Ada kenikmatan dirasakan saat mabok. Alkoholik merupakan kecanduan yang merusak diri dan lingkungan.

Kedua, mengalami tekanan atau stress berat. Ketakutan tidak berkuasa menjadi beban pikirannya. Khawatir akan hilang pengaruh, kemapanan maupun kekayaan. Apalagi jika terancam sanksi akibat perbuatan melanggar etika dan hukum selama berkuasa. Mabuk adalah solusi dunia halusinasi.

Cawe-cawe dahsyat Jokowi dalam mendukung pasangan Prabowo – Gibran baik konsolidasi partai politik, penggiringan kepala desa, intervensi institusi, pengerahan aparat, dan penggunaan fasilitas negara merupakan bentuk dari mabok kekuasaan. Menghalalkan segala cara agar kekuasaan tetap langgeng.

Suara keras Megawati kepada Jokowi menjadi bukti bahwa dukungan politik internal telah buyar. Jokowi bukan hanya ditinggalkan oleh PDIP tetapi juga partai lain. Tokoh pendukung banyak yang menjauhi.

Oposisi semakin menguat dan mengancamnya. Potensi jatuh dengan tidak normal terbuka lebar. Menjelang Pemilu hingga Oktober 2024 adalah neraka politik bagi Jokowi, "He deserved to panic".

Hanya jurus mabuk China yang mungkin bisa mengalahkan lawan-lawan politiknya, selainnya tidak. Mabuk kekuasaan Jokowi tersebut bukan kekuatan tapi kepanikan. Ia akan dikalahkan. Segera akan dikalahkan. (*)