Jokowi Menabur… Jokowi Menuai, Ironi Akhir Kekuasaan Jokowi Dibanding Anies Baswedan
Gagasan-gagasan tentang keberlanjutan, keadilan sosial, dan pembangunan yang mengedepankan kemanusiaan membuatnya dekat dengan berbagai lapisan masyarakat. Dari desa hingga kota, dari mahasiswa hingga pekerja, dukungan untuk Anies terus mengalir deras.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
MENJELANG akhir masa kekuasaannya, Joko Widodo tampaknya tidak pernah membayangkan bahwa kepemimpinannya, yang pada awalnya dielu-elukan sebagai "harapan baru" bangsa, justru berakhir dalam hujan kritik.
Pada saat yang sama, Anies Baswedan, yang beberapa tahun lalu dipandang sebelah mata, kini semakin mencuri hati rakyat dengan visi perubahan yang membangkitkan harapan. Jokowi, yang dahulu dianggap sebagai simbol kesederhanaan dan kedekatan dengan rakyat, kini menjadi sosok yang semakin jauh.
Langkah-langkah kebijakannya yang kontroversial tersebut, seperti pengesahan UU Cipta Kerja dan berbagai keputusan lain yang dianggap lebih menguntungkan oligarki, menjauhkan dirinya dari harapan rakyat. Di berbagai kota, termasuk Jakarta yang dulu penuh dengan sambutan meriah saat Jokowi berkunjung, kini tersisa hanya wajah-wajah kecewa dan marah.
Namun bukan hanya kritik kebijakan yang menghantui Jokowi. Isu terbaru yang semakin menambah bebannya adalah ditemukannya akun media sosial dengan nama Fufufafa yang diduga dimiliki oleh anaknya, Gibran Rakabuming Raka. Akun tersebut diketahui menghina Prabowo Subianto, presiden terpilih pada Pemilu 2024, serta menyerang keluarga Prabowo. Kejadian ini menyulut kontroversi besar dan mencoreng nama baik Jokowi, membuatnya terperosok dalam kecemasan yang lebih dalam.
Selain itu, kasus gratifikasi yang menyeret nama Kaesang Pangarep, putra bungsunya, semakin memperparah citra Jokowi di mata publik. Tuduhan bahwa Kaesang menerima gratifikasi dalam berbagai proyek pemerintah dan gaya hidup hedonis yang dipamerkan bersama istrinya, Erina Gudono, di media sosial membuat situasi semakin sulit.
Kehidupan mewah yang kontras dengan keadaan banyak rakyat yang masih berjuang di tengah kesulitan ekonomi, mengundang kemarahan dan kritik pedas.
Isu ini bukan hanya soal serangan terhadap Prabowo atau gratifikasi, tapi juga soal dampak yang lebih luas terhadap Jokowi dan keluarganya di masa depan.
Kecemasan Jokowi semakin bertambah parah, memikirkan kemungkinan besar kekuasaan segera berpindah tangan, dan posisi politik anak-anaknya bisa terancam. Akun "Fufufafa" dan gaya hidup hedonis Kaesang yang diduga diperoleh dari hasil gratifikasi, menjadi simbol dari ketidakpastian dan rasa takut Jokowi terhadap bayang-bayang kekalahan serta pergeseran kekuasaan yang tak bisa ia kendalikan.
Di sisi lain, Anies Baswedan justru semakin solid dalam posisinya. Anies tampil sebagai antitesis Jokowi – sosok yang menawarkan perubahan dan kerap menggugah semangat rakyat untuk bermimpi tentang Indonesia yang lebih baik.
Gagasan-gagasan tentang keberlanjutan, keadilan sosial, dan pembangunan yang mengedepankan kemanusiaan membuatnya dekat dengan berbagai lapisan masyarakat. Dari desa hingga kota, dari mahasiswa hingga pekerja, dukungan untuk Anies terus mengalir deras.
Ironis, di saat Anies kian mendapat tempat di hati rakyat, Jokowi justru dilanda kecemasan yang mendalam. Keluarganya, yang dulu menjadi simbol keharmonisan dan kesederhanaan, kini tak luput dari sorotan tajam publik. Serangan di media sosial dan tuduhan nepotisme semakin menggerogoti kepercayaan publik.
Gibran dan Kaesang, yang dulunya dikenal sebagai "anak muda berpotensi", kini disorot tajam, terutama setelah akun "Fufufafa" dan gaya hidup mewah Kaesang menjadi perbincangan luas.
Apakah ini benar-benar takdir yang tak terelakkan bagi seorang pemimpin yang pernah diharapkan membawa perubahan besar? Barangkali, inilah gambaran jelas bahwa kekuasaan tanpa prinsip yang kuat akan runtuh. Rakyat tidak pernah melupakan janji-janji yang pernah diucapkan.
Kekecewaan yang meluap-luap di penghujung masa jabatan Jokowi adalah cerminan dari harapan yang tak terpenuhi.
Anies Baswedan, di sisi lain, menjadi simbol harapan baru. Sosok yang tenang namun tegas, ia berhasil merangkul berbagai elemen masyarakat tanpa terlihat memaksakan kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Gerakannya semakin solid, menjanjikan perubahan yang konkret dan membawa angin segar bagi masa depan Indonesia.
Saat Jokowi memandang ke belakang, mungkin ia merenungi bahwa kekuasaan tidak hanya soal menjalankan roda pemerintahan, tetapi juga menjaga amanah rakyat yang seharusnya dilindungi dan diperjuangkan. Dan, di saat yang sama, rakyat Indonesia menoleh ke arah Anies Baswedan dengan penuh harapan, berharap bahwa ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Ironi ini terasa sangat mendalam – Jokowi yang dulu dipuja, kini makin terpuruk dalam bayangan kegagalan, sementara itu Anies yang dulu diremehkan, kini bersinar sebagai harapan baru. Masa depan bangsa ini tampak mulai berubah arah, dan suara-suara rakyat yang dulu penuh kekecewaan mulai menemukan nyala harapan baru di balik sosok Anies.
Jokowi menabur, kini menuai…. Kini Jokowi mulai merasakan dan meratapi, sehingga berkali-kali menyampaikan permintaan maaf pada rakyat, meski disatu sisi Jokowi juga berusaha menunjukkan sisa sisa kekuatannya dengan “memobilisasi” kekuatan yang disebut dengan “Pasukan Berani Mati“.
Menjelang penyerahan kekuasaannya kepada Presiden Baru, Prabowo Subianto dan Wakilnya yang juga sang putra mahkotanya sendiri, Gibran Rakabuming Raka, Kita doakan saja semoga saat akhir kekuasaan Jokowi husnul khotimah dan dimaafkan oleh rakyat, kita tak ingin sejarah orde baru dan Ferdinand Marcos di Philipina terulang pada tahun 2024. (*)