Jokowi Musuh Rakyat Indonesia

Dia mengingkari sendiri pernyataan sebelumnya. Sehingga tidak heran kalau publik menilai Jokowi orang yang suka mencla-mencle. Tidak bisa dipegang omongannya. “Isuk kedelei, sore tempe”. Bahkan sebagian masyarakat menyebut Jokowi sebagai "Raja Bohong".

Oleh: Tjahja Gunawan, Wartawan Senior

MAAF, saya harus menggunakan kalimat dengan judul di atas. Saya telah kehabisan pilihan kalimat halus untuk mengritik kebijakan dan sejumlah pernyataan kontroversial Presiden Joko Widodo.

Jika mengamati suasana kebatinan masyarakyat Indonesia saat ini, saya yakin rakyat sudah tidak menghendaki lagi Jokowi sebagai Presiden. Terlalu banyak aturan hukum, etika politik dan etika birokrasi yang dilanggar Jokowi. Dia membuat aturan dan keputusan sendiri sesukanya hanya untuk melanggengkan kepentingan kekuasaannya.

Sehingga wajar kalau sekarang rakyat banyak juga setuju dengan ide untuk memakzulkan Jokowi. Menunggu sampai dia lengser bulan Oktober 2024, hanya akan menambah kehancuran bangsa Indonesia. Saya yakin, rakyat akan merasa lega jika Jokowi bisa segera dilengserkan.

Bagi saya, pernyataan-pernyataan Presiden Jokowi yang kontroversial bukan hanya telah membuat geram masyarakat, tetapi juga bisa meracuni generasi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemimpin toxic seperti Jokowi harus segera diakhiri. Sebab, kalau tidak, hanya akan menambah penderitaan rakyat Indonesia.

Membela Anak Haram

Terkait soal pemakzulan Jokowi, pengamat ekonomi Faisal Basri menyebutkan, hal itu sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan Pemilu 2024.

“Kegagalan yang diwariskan niscaya akan menimbulkan bencana besar buat bangsa ini. Oleh karena itu, kita harus hentikan mewariskan kegagalan itu. Tidak ada kata lain, pemilu jalan, dan makzulkan Jokowi jalan!” tegas Faisal Basri, ketika berbicara pada peringatan 50 tahun peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin, 15 Januari 2024, lalu.

Dalam acara itu, selain dihadiri tokoh sentral Malari Hariman Siregar, juga dihadiri para aktivis lintas generasi. Bahkan, beberapa mantan menteri yang berlatar belakang aktivis terlihat hadir seperti Moh. MS Hidayat, Dr Dipo Alam, dan Rudiantara serta mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Peringatan 50 Tahun Peristiwa Malari tersebut bertajuk “The Last Battle Democracy dan Lawan Politik Dinasti”.

Walaupun masih ada perbedaan soal waktu yang tepat untuk melakukan pemakzulan, namun saya yakin sebagian besar rakyat Indonesia menghendaki agar Jokowi bisa segera mengakhiri (masa) jabatannya sebagai Presiden RI. Sesungguhnya rakyat Indonesia masih bersikap baik pada mantan Walikota Solo itu.

Masyarakat mempersilahkan Jokowi untuk mengundurkan diri secara baik-baik. Kalau itu dilakukan, saya yakin masyarakat akan memberi apresiasi dan simpatinya. Bahkan tidak mustahil masyarakat akan menjuluki Jokowi sebagai negarawan. Jika itu bisa dilakukan Jokowi, dia akan memperoleh legacy.

Ketika masyarakat sudah tidak percaya lagi pada Presiden sementara problem bangsa makin bertambah kompleks, sudah sepatutnya seorang pemimpin yang memiliki jiwa kenegarawanan mengundurkan diri. Sikap seperti itulah yang ditunjukkan Presiden Soeharto pada Mei 1998.

Jika beliau ingin mempertahankan kekuasannya, sangat bisa karena infrastruktur politik seperti jalur ABRI, Birokrasi, dan Golkar (ABG) waktu itu masih di bawah kendali Pak Harto. Tapi, karena beliau lebih mengutamakan kepentigan persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia, Pak Harto rela memilih mengundurkan diri dan melepaskan jabatannya sebagai Presiden yang telah dia genggam selama 32 tahun.

Sekarang kalau Jokowi tetap bersikukuh mempertahankan kedudukannya sebagai presiden, dia harus siap-siap berhadapan dengan kekuatan rakyat. Keinginan rakyat supaya Jokowi mundur sekarang, terutama lebih dimaksudkan agar Pemilu 2024 tidak curang dan aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri benar-benar bisa bersikap netral.

Perlunya Jokowi mundur sebagai presiden supaya tidak terjadi konflik kepentingan. Kita semua mengetahui anaknya Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka, sekarang maju sebagai Cawapres. Masyarakat juga sudah paham bahwa Gibran termasuk "Anak Haram Konstitusi". Dia sebenarnya tidak pantas maju dalam kontestasi Pilpres 2024 karena belum memenuhi ketentuan batas minimal umur capres dan cawapres 40 tahun.

Namun, Gibran bisa lolos sebagai cawapres karena bantuan pamannya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Meski Ketua MK kemudian dipecat oleh Majelis Kehormatan MK, namun ternyata tak mampu membatalkan Gibran sebagai cawapres dengan alasan putusan MK bersifat final dan mengikat.

Sekarang Jokowi tetap berusaha mendukung anaknya dalam Pemilu 2024 dengan pernyataan terbarunya: "Presiden boleh memihak dan boleh kampanye untuk paslon tertentu". Tiga minggu menjelang pelaksanaan Pilpres, Jokowi secara brutal dan terang-terangan memanfaatkan sisa kekuasaannya sebagai Presiden untuk memberikan dukungan politik pada pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.

Dalam hari-hari menjelang pelaksanaan Pilpres 14 Februari 2024 ini, Jokowi dipastikan akan terang-terangan berkampanye untuk Prabowo – Gibran.

Mengamati realitas politik ini, Jokowi nampak seperti orang yang panik, resah dan gelisah campur kalang kabut. Sangat terlihat jelas kalau Jokowi seperti kehilangan akal sehatnya. Betapa tidak, sebelumnya dia menyatakan bahwa Presiden harus bersikap netral dan tidak boleh cawe-cawe. Kini pernyataan tersebut seolah ditelan angin begitu saja.

Dia mengingkari sendiri pernyataan sebelumnya. Sehingga tidak heran kalau publik menilai Jokowi orang yang suka mencla-mencle. Tidak bisa dipegang omongannya. “Isuk kedelei, sore tempe”. Bahkan sebagian masyarakat menyebut Jokowi sebagai "Raja Bohong".

Sikap Jokowi terhadap pelaksanaan Pemilu 2024, jelas menyalahi etika politik. Jokowi telah menafsirkan dengan salah dan dangkal atas mandat UU Pemilu.

Dalam Pasal 282 UU Pemilu, sudah dengan tegas melarang pejabat negara untuk membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu.

Kemudian pasal 283 UU Pemilu, juga melarang pejabat negara mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap peserta pemilu. Dengan adanya fakta-fakta tentang pelanggaran terhadap aturan serta hukum yang ada, sudah sewajarnya kalau Jokowi perlu dimakzulkan. (*)