Jumhur Hidayat dan Class Suicide

Catatan untuk PKB dan Pilgub Daerah Khusus Jakarta

Bangsa ini harus direbut oleh orang-orang waras dan ideologis. Menyingkirkan politik dinasti rakus. Saatnya kita mempertimbangkan Jumhur sebagai kandidat Gubernur Jakarta yang ideologis, yang ditunggu rakyat miskin. Satria Piningit.

Oleh: Syahganda Nainggolan, Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia/Van Ons

JUMHUR Hidayat baru saja menelpon saya terkait kunjungan Sekretaris PKB DKI dan rombongan kemarin, yang datang ke kantornya, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), satu organisasi buruh terbesar jumlahnya di dunia, saat saya ngopi di sebuah Cafe di Senopati Jakarta.

Sarapan kopi, roti Almond Cheesy Puff dan Viennese Vanilla Sable Cookies di pagi hari buat saya sama dengan atau lebih nikmat daripada masakan pagi khas Indonesia. Dengan ini saya bisa mulai menulis. Tentang? Tentang Jumhur dan “bunuh diri class”.

Kunjungan PKB DKI Jakarta ke kantor Jumhur yaitu untuk meminta Jumhur ikut mendaftar sebagai calon gubernur di Jakarta. (Lihat Sindonews, 17/5/24, “Jumhur Hidayat, Didekati PKB Untuk Pilgub Jakarta”). Fenomena kunjungan PKB ini harus dimaknai secara tepat dan serius. Pertama PKB itu adalah partai dengan lonjakan suara terbesar di Jakarta, dengan lonjakan hampir 100%.

Posisi PKB berhasil menancapkan kuku sebagai partai berpengaruh, dibandingkan sebelumnya, pastinya membuat PKB terus bergelora dan semangat. Untuk mengimbangi dukungan rakyat pada pemilu lalu, PKB berbenah diri, dengan membuka kesempatan tokoh-tokoh besar masyarakat untuk bergabung melalui pilkada, dalam hal ini khususnya DKI, mereka berperan aktif.

Jumhur sendiri, sebagai tokoh, sebagai salah satu sasaran pendekatan PKB, pastinya mempunyai kapasitas besar untuk klas Jakarta (yang kini berstatus sebagai Daerah Khusus Jakarta). Bahkan, saya sendiri mendengar langsung pernyataan Cawapres Muhaimin Iskandar, di masa kampanye, mengatakan bahwa Jumhur akan menjadi Menteri Tenaga Kerja mereka seandainya pasangan 01 yang menang.

Class Suicide

Amilcar Cabral, tokoh perjuangan Revolusi Bangsa Afrika, dalam “Amilcar Cabral’s theory of class suicide and revolutionary socialism”, meyakini bahwa perjuangan masyarakat tertindas di negara-negara berkembang hanya bisa terjadi jika “Petite bourgeoisie” atau kaum borjuis kecil memimpin perjuangan kaum tertindas tersebut.

Karena, dalam ketiadaan “working class”, di negara miskin, perjuangan kelas yang dimaksudkan Marx dalam teorinya tidak dapat terjadi, tanpa kehadiran borjuis yang berpihak.

Class Suicide atau bunuh diri kelas ini maksudnya adalah kaum bangsawan harus keluar dari zona nyamannya lalu memihak rakyat, yang sesungguhnya secara struktur seharusnya ditindas mereka. Kesadaran manusia menurut teori Cabral terbelah berdasarkan pemilikan tanah dan kapital, sebagai kekuatan produksi (The fundamental motive force of history is the development of the forces of production). Orang-orang kaya sebagai pemilik kapital hanya nyaman dengan membentuk kelasnya sendiri, dan berusaha mempertahankannya.

Jumhur Hidayat adalah satu dari segelintir elit bangsawan yang melakukan bunuh diri kelas, sejauh yang saya kenal. Berasal dari keturunan Raja Sunda, Raja Galuh, Jumhur telah mengambil resiko masuk penjara berkali-kali dalam hidupnya ketika membela rakyat kecil.

Pada tahun-tahun dia sebagai mahasiswa, akibat Jumhur dipenjara melawan Suharto, bapaknya yang harusnya promosi menjadi Direktur Bapindo, salah satu bank terbesar saat itu, tersingkir. Ikut juga tersingkir pamannya, yang saat itu merupakan Wadan Intel Kodam Siliwangi.

Saat ini, Jumhur Hidayat juga mengambil resiko, menjadi pemimpin kaum buruh, kala keluarganya, khususnya istrinya, anak mantan Menteri Perhubungan RI, yang hidup dan menghabiskan masa kecilnya di Perancis.

Keberpihakan Jumhur pada Buruh, membuatnya hidup dari waktu ke waktu pada kekerasan demo di jalanan dan membangun konsep-konsep kesejahteraan buruh. Dalam teori Cabral, tentu saja banyak kaum borjuis yang pura-pura bergabung dengan organisasi rakyat, namun seringkali hanya sekedar menunggangi organisasi itu untuk kepentingan dirinya sendiri.

Sebaliknya, Jumhur ketika memperjuangkan gerakan anti UU penjajahan buruh (UU Omnibus Law Ciptaker) mengambil resiko masuk penjara. Selain itu, Jumhur juga selalu menghabiskan waktunya mengunjungi acara-acara keluarga buruh, seperti saat saya menulis ini di cafe yang dingin, Jumhur sedang mengunjungi pesta kawinan anak buruh di Banten.

Jumhur Hidayat dan Jakarta

Kunjungan PKB Jakarta untuk meminta Jumhur ikut kandidasi melalui PKB tentunya harus dilihat sebagai peluang. PKB yang berkembang menjadi partai ideologis di bawah kepemimpinan Cak Imin (Muhaimin Iskandar) tentunya berkepentingan menjaga isu perubahan, yakni membagi kemakmuran Indonesia, khususnya Jakarta, kepada rakyat miskin.

Ide-ide kemakmuran rakyat di Jakarta terbentur dengan Gini Ratio yang sangat tinggi. Pada era Kolonial Belanda, pantai-pantai Jakarta tidak dimiliki Belanda, mereka hanya datang untuk menguasai pelabuhan. Sebaliknya saat ini, hampir seluruh pantai di Jakarta, bahkan sampai Banten, bukan dikuasai rakyat nelayan lagi. Reklamasi besar-besaran yang terus berlangsung membuat nelayan miskin kehilangan akses pada pantai dan laut.

Selain pantai juga tentu ketimpangan pemilikan lahan dan kapital lainnya terus tumbuh menjurang. Kaum oligarki tidak memikirkan lagi sebuah konsep bangsa, sebagaimana Bung Karno, Bung Hatta dkk mendirikan negara untuk milik bersama. Prabowo Subianto, presiden yang baru terpilih, dalam Qatar Economic Forum, kemarin, berjanji membagi kemakmuran kepada rakyat miskin.

Persoalannya, siapa teman atau sekutu Prabowo saat ini? Jika Prabowo meyakini dirinya bukan bagian oligarki atau dia meyakini dirinya sebagaimana teori Cabral, class suicide, tentu peluang membagi kemakmuran pada orang miskin di Jakarta harus dengan persekutuan dengan pemimpin Jakarta yang ideologis.

Jika kesenjangan di Jakarta harus dikurangi plus membangun Jakarta sebagai kota internasional, tentu Jumhur mempunyai kapasitas dan visi besar untuk hal itu. Professor Jeffrey Winters, dalam teorinya untuk mengendalikan oligarki, diperlukan sosok kharismatik dan punya basis massa besar. Posisi Jumhur sebagai sosok ideologis pasti bisa berperan besar.

Jumhur sendiri sebagai tokoh Sunda dan pewaris spirit Sunda – Banten, tentu saja sudah meyakini keniscayaan sejarah Batavia sebagai bagian Kerajaan Sunda di masa lalu. Revitalisasi Jakarta, jika berubah tidak lagi sebagai ibukota, perlu dikaitkan dengan kedudukan historisnya.

Pekerjaan besar di Jakarta tentu tidak bisa dikerjakan “pemimpin manja”, pemimpin pragmatis, koruptif, apalagi antek oligarki hitam, dll. Jakarta harus dibenahi oleh pemimpin ideologis. Sudah saatnya. Dan saatnya PKB mengambil peran besar dalam sejarah itu.

Penutup

Tulisan ini saya buat untuk mengapresiasi kunjungan pimpinan PKB DKJ ke kantor Mohammad Jumhur Hidayat, untuk menjajaki kemungkinan Jumhur bisa ikut kontestasi pilgub DKJ. Saya harus menjelaskan pentingnya arti ideologis kunjungan itu, di tengah gerombolan bandir-bandit penjarah kekayaan alam kita.

Bangsa ini harus direbut oleh orang-orang waras dan ideologis. Menyingkirkan politik dinasti rakus. Saatnya kita mempertimbangkan Jumhur sebagai kandidat Gubernur Jakarta yang ideologis, yang ditunggu rakyat miskin. Satria Piningit.

Have A Nice Weekend. (*)