Kalau Puan Laki-laki: Banci

Bangsa ini butuh pemimpin yang kuat, pintar dan berani. Bukan pemimpin angin-anginan. Rakyat sudah menderita, demokrasi diperkosa, kedaulatan digadaikan serta hutang bertumpuk. Masih saja pemimpin itu bersenang-senang sendiri.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

UNTUNG peremPUAN hingga tidak bisa disebut banci. Persoalan Hak Angket yang telah menjadi tuntutan dan aspirasi rakyat ternyata dimain-mainkan. PDIP yang diharapkan menjadi motor dari pengungkapan kecurangan Pemilu khususnya Pilpres 2024 ternyata semakin tidak jelas alias bias. Adalah Puan Maharani, Ketua DPR RI puteri Megawati Soekarnoputeri yang memble alias mencla-mencle.

Pernyataan terakhir bahwa tidak ada instruksi kepada Fraksi untuk penggunaan Hak Angket bukan saja tidak ada manfaatnya, bahkan melemahkan. Semangat rakyat untuk mengungkap kecurangan atau menegakkan kejujuran dan keadilan dinafikan oleh sikap memble atau mencla-mencle tersebut. Puan sama saja dengan Gibran Rakabuming Raka. Bukan pemimpin yang bermutu dan berguna bagi rakyat.

Kepentingan pribadi seperti yang didahulukan dan dominan. Menimbulkan prasangka atas benarnya dugaan bahwa Puan memang tersandera oleh Jokowi. Ada "stick and carrot" yang membelenggu. Stick-nya soal suami yang terancam. Carrot-nya jaminan untuk tetap sebagai Ketua DPR. Semua bernuansa pribadi.

Sebagai pemenang Pemilu, PDIP dan kader-kadernya sudah seharusnya tampil berani dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Rasanya telah bosan rakyat mendengar slogan atau kata-kata manis semata. Praktiknya rakyat tersebut diludahi dan dinista tanpa perhatian atau kepedulian. Kekuasaan dan kepentingan pribadi telah membutakan kebenaran, kejujuran, dan keadilan.

Hak Angket atau hak penyelidikan adalah harapan rakyat yang sekaligus bisa membantu partai politik pendukung Paslon 01 dan Paslon 03 korban kecurangan Pilpres 2024 untuk bersama rakyat mengungkap kejahatan politik yang dilakukan oleh Istana atau rezim Jokowi. PDIP tentu sangat diuntungkan.

Sayang, sikapnya plintat-plintut. Jika memang kepentingan pribadi itu kuat dan partai politik ikut dalam kepentingan yang bukan demi bangsa dan negara, maka cepat saja umumkan kepada publik bahwa PDIP tidak akan menggunakan Hak Angket. Bilang bahwa kecurangan dalam Pemilu 2024, termasuk Pilpres sebagai hal yang lumrah dan dapat dimaklumi.

Sampaikan kepada rakyat, silakan rakyat untuk berjuang sendiri jika merasa perlu akan Pemilu yang jujur dan adil. Biarkan kami memikirkan nasib kader dan partai kami sendiri. Menikmati kekuasaan dan uang dengan leluasa. Kemarin saat kami belum ada kepastian status keanggotaan DPR kita berjuang bersama, tetapi kini jangan ganggu, kami sedang menikmati hasil perjuangan ini.

Puan dicitrakan sepertinya berbeda sikap dengan Megawati. Keberanian perlawanan Megawati selama ini relatif sudah teruji, sementara Puan belum. Tampilan anak manja dalam politik masih dan semakin melekat. Karakter pejuang Megawati yang dibangga-banggakan oleh para kader tidak tertularkan pada puterinya ini.

Percuma Puan menjadi Ketua DPR lagi, juga jika kualitasnya ayam sayur, mudah digertak dan diiming-iming.

Bangsa ini butuh pemimpin yang kuat, pintar dan berani. Bukan pemimpin angin-anginan. Rakyat sudah menderita, demokrasi diperkosa, kedaulatan digadaikan serta hutang bertumpuk. Masih saja pemimpin itu bersenang-senang sendiri.

Indonesia harus berubah. Character building menjadi lebih penting ketimbang membangun building-building. Itupun dananya telah dirampok oleh para pejabat tinggi koruptor. Indonesia adalah negara kaya yang jatuh miskin akibat pemain politik yang hanya mementingkan kekuasaannya sendiri dan kelompoknya. Pemimpin yang memble, pengecut, dan tersandera.

Puan jika laki-laki akan disebut banci. Untung ia peremPUAN. Dia bisa seenaknya membuang ke tempat sampah Hak Angket yang merupakan aspirasi rakyat Indonesia. Nilai moral kejujuran dan keadilan telah dibasmi habis. Oleh para poli-tikus, poli-tikus cerurut! (*)