Kebiadaban Sebuah Republik
NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 perlahan dan sayup-sayup merintih menjemput dari kematiannya. Slogan dan simbol-simbolnya beranjak punah tergantikan oleh berhala kapitalisme dan komunisme yang membonceng materialisme.
Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis dan Mantan Presidium GMNI
KETAKUTAN berjuang dengan segala resikonya, itu yang membuat kedzoliman semakin digdaya. Sikap kritis akan terkikis, perlawanan akan menimbulkan korban. Begitulah cara penguasa dan pengusaha durjana, membentuk mental dan pikiran rakyat, sehingga mewujud pada keabadian penjajahan.
Masih ada sedikit yang memiliki nurani, eling pada moralitas dan bersandar pada nilai-nilai dari Ketuhanan. Namun jauh lebih banyak yang berperilaku barbar, primitif dan brutal. Kemanusiaan diinjak-injak, rakyat jelata begitu rendah dan tak berharga.
Betapa harta, jabatan dan kekuasaan begitu dihormati dan dimuliakan meski keringat, darah dan nyawa orang-orang tak berdosa menjadi alat tukar untuk meraihnya.
Sebuah negara bangsa yang penuh kepalsuan, manipulasi dan kriminalisasi. Kekayaan menjadi cita-cita bersama, namun hanya segelintir yang berhak mendapatkannya. Amanah kepemimpinan telah mewujud alat penjajahan, menindas rakyatnya sendiri.
Semakin berkuasa semakin kuat, semakin banyak yang teraniaya dan menderita. Minoritas itu telah menjadi tirani atas mayoritas, tampil seolah-olah terdzolimi menjual identitas suku, ras, agama, dan golongan. Padahal yang sedikit itulah faktanya imperium dan kolonialis yang mengelabui republik ini dengan penguasaan demokrasi dan konstitusi.
Tangis, jeritan dan histeria masyarakat marginal terus menjadi lagu pengantar perjuangan hidup. Tergusur, terampas dan tersiksa demi sekedar menjemput kelayakan hidup. Fitnah, penjara dan pembunuhan kerap menjadi menu sehari-hari orang-orang tak berpunya.
Tak ada lagi yang mereka punya, tak ada lagi tempat mereka mengadu, tak ada lagi tempat untuk berlindung. Kemiskinan dan kebodohan telah menjadi penjara dunia paling aman sekaligus paling mengerikan dari serbuan manusia-manusia buas yang berseragam atribut sembari menyandang keagungan sosial.
Tak ada lagi pemimpin, aparat dan institusi negara. Sulit sekali mencari pemerintah dan ulama yang sebenarnya. Yang mudah ditemui hanya Tuan dan Budak. Hanya ada hamba sahaya penurut dan loyal yang hidup mesra melayani majikan yang kesetanan.
NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 perlahan dan sayup-sayup merintih menjemput dari kematiannya. Slogan dan simbol-simbolnya beranjak punah tergantikan oleh berhala kapitalisme dan komunisme yang membonceng materialisme.
Masyarakat religuis mulai beradaptasi dengan gaya hidup dan modernisme. Ahlak semakin rusak, perilaku bejat dianggap hebat. Kini, negara bangsa ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah wadah yang tak ada ruang bagi kemakmuran dan keadilan.
Kebenaran tersingkir dan kejahatan telah memimpin. Kebiadaban sebuah republik, begitulah yang pantas melukiskannya. (*)