KIM Plus: Lonceng Kematian Demokrasi

Kelanjutan KIM Plus, koalisi besar saat ini harus disertai dengan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah dan partai-partai yang berkoalisi harus tetap membuka ruang bagi oposisi yang kuat dan aktif, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif KAMI (Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia)

MENYUSUL Putusan MK Nomor 12 Tahun 2024 yang memenangkan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming, Koalisi Indonesia Maju yang mengusung pasangan itu langsung berkonsolidasi untuk meraih sasaran berikutnya: Pilkada 2024. Pilkada akan diselenggarakan secara serentak pada hari yang sama, yaitu 27 November 2024 di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Strategi yang ditempuh KIM sangat problematik. KIM menciptakan kondisi di mana pasangan calon yang diusungnya berhadapan dengan kotak kosong. Strategi “melawan kotak kosong” dijalankan KIM dengan membangun koalisi raksasa 14 partai, termasuk partai-partai yang melawan Prabowo –Gibran dalam pilpres lalu.

Akibat koalisi raksasa itu praktis hanya tersisa PDIP yang berada di luar pemerintahan. Strategi itu juga didukung oleh aturan pilkada yang mewajibkan pasangan calon didukung oleh 20% kursi di DPR atau 25% suara. Aturan itu menyebabkan partai harus berkoalisi untuk bisa mengajukan calon mengingat sangat sedikit partai yang mampu memperoleh 20% kursi atau 25% suara.

Lonceng Kematian Demokrasi

Strategi ini problematik bagi demokrasi kita. Karena pilkada berkenaan dengan memilih pemimpin, lantas bagaimana suatu daerah dipimpin oleh kotak kosong? Pemerintah mengatakan bahwa bila “kotak kosong” menang, maka kepala daerah akan ditunjuk oleh penguasa pusat. Artinya, kalau strategi “melawan kotak kosong” diterapkan, pemilu pasti mati. Pemilu tinggal nama karena pada dasarnya tidak ada pilihan, semua calon ditunjuk oleh penguasa yang sama.

Kedua, koalisi raksasa yang kemudian disebut KIM Plus itu juga menjadi lonceng kematian bagi partai politik. KIM Plus membunuh dinamika partai politik dalam dua langkah. Langkah pertama dengan memasung dinamika di tingkat nasional. Lalu, melalui pilkada, dinamika ditingkat lokal pun dipadamkan. Kehilangan dinamikanya, partai-partai politik pun kehilangan kemampuan menyerap aspirasi rakyat. Itu berarti partai politik hilang fungsi dan kemanfaatannya.

Ketiga, partai politik memiliki peran yang sangat penting dan mendasar dalam demokrasi. Ketika partai politik kehilangan fungsi dan kemanfaatannya, maka demokrasi pun mati. Tidak ada lagi sarana bagi warga negara untuk mengekspresikan pandangan politik mereka, berpartisipasi dalam proses pemilihan, dan mengontrol kebijakan publik. Semua anggota legislatif di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota hanya ornamen demokrasi, mereka tidak punya manfaat dan hanya menjadi benalu bagi keuangan negara.

Pertolongan Tuhan

Di tengah kekhawatiran yang membuncah atas matinya demokrasi, pertolongan Tuhan datang dari arah yang tidak terduga.

Mahkamah Konstitusi yang telah ditinggalkan karena interpretasi konstitusinya yang “nyleneh”, tiba-tiba membuat putusan yang membatalkan aturan pasal 4a UU Pilkada. Aturan dukungan 20% kursi untuk cakada telah sangat diturunkan. Sebagai contoh syarat pengusungan untuk cakada Jakarta tinggal 6,5% saja, sehingga PDIP yang tadinya tidak bisa mengajukan nominasi kemudian bisa.

Putusan itu fenomenal, sebab secara efektif membuyarkan strategi “kotak kosong” dan mengurangi tekanan terhadap demokrasi. Namun yang lebih fenomenal adalah peristiwa pasca putusan MK.

Putusan itu membangkitkan gelombang demo di seluruh Indonesia ketika elit KIM Plus berusaha mementahkan putusan MK Nomor 60 dan 70 tahun 2024 itu melalui revisi UU Pilkada.

Gelombang demonstrasi yang sangat besar menunjukkan betapa kuat penolakan atas perusakan demokrasi yang selama ini terjadi. Demo besar itu harus dianggap sebagai peringatan bagi rejim penguasa yang akan datang. Publik telah sangat lelah dengan pengabaian nilai-nilai demokrasi yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir.

Penutup

Untuk memastikan bahwa koalisi besar seperti KIM Plus tidak mengorbankan prinsip check and balance yang sangat penting dalam demokrasi, ada beberapa langkah strategis yang perlu untuk dipertimbangkan.

Pertama, penting bagi partai politik untuk memikirkan koalisi pra-pemilu sebagai cara terbaik untuk membangun politik yang stabil, namun tetap kompetitif. Koalisi pra-pemilu memungkinkan partai-partai untuk tetap mempertahankan identitas dan tujuan mereka, sambil membangun aliansi yang dapat memberikan stabilitas tanpa harus menyatukan hampir semua partai ke dalam satu blok monolitik pasca pemilu.

Kelanjutan KIM Plus, koalisi besar saat ini harus disertai dengan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah dan partai-partai yang berkoalisi harus tetap membuka ruang bagi oposisi yang kuat dan aktif, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Ini bisa dicapai dengan memastikan bahwa undang-undang dan kebijakan yang mengatur pemilihan umum dan pilkada mendukung keberagaman politik dan mencegah dominasi satu blok kekuatan politik.

Akhirnya, penting pula untuk terus memperkuat kesadaran dan partisipasi publik dalam demokrasi. Seperti yang telah ditunjukkan oleh gelombang demonstrasi setelah putusan MK, rakyat adalah benteng terakhir demokrasi. Ketika suara rakyat didengar dan dihargai, demokrasi akan terus hidup dan berkembang, meskipun dihadapkan pada tantangan sebesar apapun.

Dengan langkah-langkah ini, kita dapat menjaga agar demokrasi tetap hidup dan dinamis, serta memastikan bahwa koalisi besar tidak menjadi lonceng kematian bagi demokrasi, melainkan fondasi bagi politik yang lebih inklusif dan representatif. (*)