Komentar Politik dan Saran Kepada Partai Negoro yang Di-endors Rocky Gerung (1)
Jika punya ambisi hanya untuk politik fragmatis, demi mendapatkan faktor kekuasaan belaka, berarti anggapan pengidola Negoro bahwasanya sebagai para sosok inisiator yang cerdas pemberani dan idealis di tanah air akan kecewa dan bertambah "aus" seiring keringnya harapan serta cita.
Oleh: Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum dan Politik Mujahid 212
PARTAI NEGORO, Partai Nasional Gotong Royong (Negoro) besutan Aktivis Faizal Assegaf resmi diluncurkan pada Minggu, 12 Mei 2024 ketika deklarasi lumayan menjadi pusat perhatian publik di beberapa medsos, karena sudah dimulai dipublis pada saat pendiriannya pada 14 April 2024.
Tentu juga karena Partai Negoro diendors oleh seorang Rocky Gerung, publik tentunya cukup tahu dan terperangah, kagum, dan banyak yang memberikan apresiasi. Setidaknya dengan berdirinya partai Negoro tampak kesadaran individu-individu anak bangsa dalam berpolitik, sehingga dapat melahirkan kecerdasan sebagai signifikansi/unsur penting dari SDM Indonesia, yang berawal dari pengamatan atau analisa sebab-akibat (kausalitas) dari dinamika kehidupan sosio dan geo politik yang semakin obscur (tidak jelas arah) akibat rekayasa-rekayasa atau diombang-ambingkan oleh penguasa yang memiliki birahi ekstra dengan kekuasaan dan kepentingan politik.
Namun sebagian dari publik bertanya-tanya, seriuskah Negoro akan berjuang merangkul kesadaran saudara sebangsa dan setanah air menuju ke "lembaran perubahan". Selain dan selebihnya oleh sebab:
Bukti hasil analisis publik, dalam bentuk fakta data empirik, untuk dan sebagai acuan para inisiator Negoro, bahwa seorang Yusril Ihza Mahendra tokoh nasional eks menteri pada kabinet Gus Dur dan SBY, partainya yang pernah bersinar, kemudian cepat meredup sehingga Yusril saat ini mirip tokoh oportunis.
Selanjutnya Eggi Sudjana (PPB) dan Ahmad Yani (Masyumi Reborn) kedua tokoh aktivis muslim-nasionalis, saat ini masing-masing partainya tampak lesu darah atau mati suri, selain keluhkan anggaran pendirian serta operasional dan pengembangan partai yang cukup ekstrim, super mahal.
Dan terhadap Ilustrasi komparasi sosok beberapa figur dan anggaran fungsional partai, adalah hal yang logis, dan absah, konsideran antara senioritas ketiga tokoh tersebut jauh di atas 'usia politik' seorang Faizal Assegaf.
Negoro merupakan organisasi politik, sedangkan makna politik (praktis) jika dihubungkan dengan Orspol, secara luas adalah hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan Publik pemerintahan dan negara, politik adalah erat kaitannya dengan segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik Pemerintahan.
Dari sisi tinjauan politik paling tidak terdapat dua perspektif fungsi teori politik dalam ilmu politik.
Pertama, sebagai dasar norma atau moral bagi perilaku politik termasuk pola bagi kehidupan penyelenggaraan negara.
Kedua, sebagai alat analisis atau tools of analysis dari fenomena-fenomena politik yang sedang terjadi dan gejala-gejala perkembangannya. Dan tentunya politik yang membutuhkan enerji berfikir manusia dan di dalamnya terdapat jalinan hubungan berikut faktor kepentingan hubungan antar manusia (zoon politicon), maka praktis tidak dapat dipisahkan dengan ilmu filsafat.
Menurut teori filsafat politik Plato:
"Filsafat politik sebagai cerminan teori politik, yakni filsafat politik adalah tentang keberadaan manusia di dunia yang terdiri dari tiga bagian yaitu, Pikiran atau akal, Semangat/keberanian dan Nafsu/keinginan berkuasa."
Sehingga makna berpolitik di Indonesia sebagai umat mayoritas muslim, peran tokoh ulama dan/ atau ulama yang ditokohkan sangatlah penting (tidak cerdas bila dinafikan) karena memudahkan partai politik mendapatkan kantung-kantung basis perolehan suara konstituen dari ratusan atau ribuan basis dari sang eks murid-murid yang juga akhirnya telah menjadi para tokoh.
Berikut juga simpatisan belasan juta dari sang tokoh utama ulama, sehingga tokoh ulama dari sisi ketokohannya, dapat mengontrol kebijakan penguasa dan dapat menunjang keberhasilan sebuah kelompok atau pihak menjadi penguasa dan dapat merepotkan penguasa bila pengikutnya dan simpatisannya menjadi pihak oposisi.
Dan para ulama ditekankan memiliki dua peran yang mana dianggap sangat penting, yang pertama, berdasarkan pada bobot keilmuan yang para ulama miliki, maka para ulama memang sepantasnya sebagai pencerah alam pemikiran umat. Karena selain dan selebihnya para alim ulama sebagai panutan umat dalam artian khusus keteladanan moral yang diajarkan sebagai representatif moral aproach, lalu terbiasa disuritauladankan sebagai role model kepada masyarakat.
Oleh karenanya dari sisi perspektif atau pendekatan politik dalam perekrutan kuantitas suara, daripada peran tokoh yang ber-status ulama adalah amat penting, terlebih sosio politik tanah air, historis peran ulama sejak pra sampai dengan pasca kemerdekaan (orde lama orde baru hingga orde reformasi serta kekinian, tidak dapat diingkari, bahwa konstituen (bakal pemilih dan simpatisan) akan lebih signifikan diperolehnya oleh karena banyaknya ulama dapat direkrut oleh sebuah orspol sebagai signifikansi atau pointer penting.
Atau dengan kata lain, tidak akan tumplek massa Negoro di setiap daerah di tanah air, hanya oleh sebab partai Negoro diinisiasi oleh kelompok aktivis tahun 1998, yang nota bene kelompok 98 yang dimaksud pun sudah berada tersebar, diantaranya telah menjelma menjadi sosok senioren politik pada orspol-orspol besar yang sudah ada sebelum dan pasca 98, maka jika sekedar publis kulit partai, bahwa jurnalis, budayawan serta para akademisi merupakan para individu pembentuk Negoro.
Hal promo ini tentunya tidak otomatis berdampak positif kualitatif terhadap pelaksanaan akses program/ platform partai dan tidak dimaknai sebagai faktor signifikansi (nilai penting), sehingga irrelevan atau keliru jika diasumsikan para tokoh Negoro sebagai parameter bakal berbuah top kuantitas para konstituen atau bakal signifikan.
Maka statemen politik Negoro, "Kita adalah kelompok partai baru, partai kecil dalam jumlah manusia, tapi memiliki energi besar, memiliki keinginan besar, memiliki banyaknya gagasan-gagasan yang akan kita perjuangkan,” Maka dalil argumentasi yang demikian bukan jaminan, bahkan jauh dari jaminan Negoro akan menjadi sebuah partai besar.
Saat ini, publik butuh info valid tentang hakekat dari dibentuknya Partai Negoro, selain kesanggupan dari pembentukan partai dan pengembangan kepengurusannya yang membutuhkan anggaran untuk pembiayaan yang "cukup ekstrim", serta dihubungkan, terhadap partai ada norma atau ketentuan tentang batasan yang kompleks, sesuai mengacu kepada sistem hukum terkait batasan kuantitatif kepengurusan di setiap daerah/provinsi, Kabupaten/Kota).
Selebihnya, patut dipertanyakan selain tenis pendirian dan pengembangan partai, apakah berdirinya Negoro untuk kumpulkan massa konstituen, guna mencapai cita-cita sesuai platform-nya Negoro terkait pencapaian "Perubahan Bangsa" sesuai teori tujuan dibentuknya negara oleh bangsa ini untuk meraih kesejahteraan sosial bagi seluruh bangsa, sesuai pembukaan alinea ke-4 UUD 1945, ataukah hanya radikal fragmatis, (keras mengakar), ingin turut serta dalam persaingan perebutan kursi kekuasaan di Senayan atau di Merdeka Utara (legislatif-eksekutif)?
Jika punya ambisi hanya untuk politik fragmatis, demi mendapatkan faktor kekuasaan belaka, berarti anggapan pengidola Negoro bahwasanya sebagai para sosok inisiator yang cerdas pemberani dan idealis di tanah air akan kecewa dan bertambah "aus" seiring keringnya harapan serta cita.
Kemudian, terbenam bersama-sama para eks tokoh nalar sehat "walau tetap eksis sekedar sebagai pribadi oportunis". Karena mereka ternyata melulu merupakan bagian dari sisi keburukan dari teori Plato, Negoro jelmaan bad politics. (*)