Kontitusionalitas dan Efektivitas Pansus Kecurangan Pemilu (PKP) DPD RI
Sejumlah upaya amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan, harus diakhiri untuk sementara waktu. Maklum, ketika itu muncul kekhawatiran hadirnya penumpang gelap bernama presiden tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Oleh: Tamsil Linrung, Anggota DPD RI
PUBLIK terhenyak, media terhentak. Selasa, 5 Maret 2024, tetiba saja Sidang Paripurna (Sipur) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyetujui pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) DPD.
Disebut tiada angin, tiada hujan. Juga dituding inkonstitusional dan tidak efektif. Tiga tudingan tajam yang harus dijawab satu persatu.
Pertama, Pansus yang dipandang dadakan. Ini pendapat keliru. Pansus Kecurangan Pemilu (PKP) DPD sejatinya hanya salah satu tahap dari etape panjang pengawasan pelaksanaan pemilu oleh DPD.
Jauh sebelum pemilu digelar, Komite I yang membidangi pemilu telah mencium potensi masalah dalam pesta demokrasi itu. Insting ini membuat DPD RI memutuskan kantor perwakilan DPD di setiap provinsi sekaligus menjadi posko pengaduan pemilu.
Beberapa laporan diterima posko. Beberapa lainnya disampaikan langsung oleh masyarakat saat Anggota DPD berada di Dapil masing-masing.
Sebagai tindak lanjut, DPD telah meneruskan laporan yang masuk kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Tindak lanjut lainnya, ya itu tadi, pembentukan PKP DPD RI. Langkah politik ini adalah cara DPD melaksanakan fungsi pengawasan atas pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sejatinya pengawasan pemilu adalah ranah Komite I DPD. Tetapi karena problem Pemilu 2024 bersifat nasional, multikompleks, dan terindikasi terstruktur, sistematis, dan masif, maka saya mengusulkan pembentukan PKP DPD RI. Usul ini bahkan telah saya munculkan sejak Agustus 2023.
Hal kedua yang harus dijawab adalah tudingan PKP DPD inkonstitusional. Tudingan ini jelas ngawur. Bagaimana mungkin urusan pemilu tidak menjadi kewenangan DPD sementara Komite I jelas-jelas membidangi masalah ini? Kalau itu inkonstitusional, mengapa tidak dipersoalkan sejak awal?
Lagi pula, meski dengan kewenangan terbatas, DPD juga memiliki fungsi penganggaran, legislasi, dan pengawasan sebagaimana DPR. Pada fungsi pengawasan inilah PKP DPD mengakar.
Pasal 22 D ayat 3 UUD menyebut bahwa DPD dapat melalukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, agraria, serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Pakar hukum tata negara Refly Harun berpendapat, bila melihat esensi pasal itu, kewenangan DPD pada dasarnya terkait persoalan daerah. Meski UU tidak menyebut secara spesifik, dia memandang Pemilu menjadi bagian dari pengawasan DPD karena kental mengait kepentingan daerah.
Anggota DPD yang dihasilkan melalui Pemilu adalah argumentasi lain yang membangun keyakinan Refly.
Adapun pansus rasanya tidak ada perdebatan. Pansus adalah alat kelengkapan yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna sebagaimana bunyi Pasal 259 ayat 1 huruf g UU MD3.
Terakhir, hal ketiga yang harus dijawab adalah tentang tudingan PKP DPD tidak efektif.
Soal efektivitas saya kira akan sangat bergantung kepada jurus-jurus politik yang akan dimainkan Pimpinan dan Anggota Pansus.
Hasil pansus mungkin hanya berupa rekomendasi kepada DPR. Tetapi, prosesnya akan sangat efektif bila dikelola dengan baik. Misalnya, PKP DPD melakukan upaya kolaborasi dengan hak angket DPR yang akan dibentuk.
Jadi, efektivitas itu sangat ditentukan oleh maksimal tidaknya sepak terjang politik PKP DPD. Namanya juga gerak politik, arahnya bisa menendang ke mana-mana.
Misalnya, Temuan-temuan dalam PKP DPD bisa dijadikan bukti pendukung di ranah hukum, jika ada pihak yang ingin menggunakannya. Langkah ini tentu juga efektif mengurai benang kusut kecurangan pemilu.
Bagaimana pun, selain melaporkan kepada DPR, temuan dalam PKP DPD akan dibuka ke publik demi akuntabilias. Pertanggung jawaban DPD adalah juga ke masyarakat.
Pertanyaan soal efektivitas PKP DPD agaknya dipengaruhi oleh fakta kewenangan DPD yang sangat terbatas. Itu sebabnya pertanyaan ini selalu muncul saban DPD melakukan gerak politiknya.
Upaya mengatrol kewenangan menjadi tantangan Anggota DPD dari masa ke masa, sejak awal lembaga ini berdiri.
Itu karena terbatasnya kewenangan yang diberikan konstitusi tidak hanya menghambat berbagai langkah politik DPD RI untuk urusan nasional seperti PKP DPD, tetapi juga menghambat DPD RI untuk mengakselerasi fungsi dan perannya sebagai wakil daerah.
Ketua DPD RI LaNyalla Mattalitti telah melakukan berbagai terobosan guna mengatrol kewenangan DPD. Tetapi, situasi politik memang belum memunculkan momentum yang tepat.
Sejumlah upaya amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan, harus diakhiri untuk sementara waktu. Maklum, ketika itu muncul kekhawatiran hadirnya penumpang gelap bernama presiden tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Kenyataan pahit itu tentu tak boleh membuat patah arang. Pintu keseimbangan kewenangan antar dua kamar di Senayan harus terus digedor.
Ini tidak hanya membutuhkan perjuangan Anggota DPD terpilih, tetapi juga memerlukan suatu kepemimpinan yang kuat, minimal sebagaimana kepemimpinan DPD hari ini. (*)