Lucu, Lucu, Sedih Pilpres 2024: Kecurangan Di Dalam Kecurangan

Tapi, kata dia, caleg-caleg lain membeli suara. Ini yang membuat suara dia hancur. Padahal dia memperkirakan di 3-4 TPS yang tak jauh dari kediamannya seharusnya keluar angka 150 suara. Keterlaluan, cuma 6 suara.

Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior Freedom News

AGAK jauh dari Medan. Sekitar 120 kilometer ke tenggara. Kita singgah sebentar di Kabupaten Batubara. Ini kabupaten “home town” saya. Tak terkecuali dari kecurangan pilpres.

Nah, seperti apa kecurangannya? Sesuai judul di atas, di satu kecamatan ada modus kecurangan yang luar biasa cerdik. Geleng kepala mendengar cerita salah seorang warga di sana. Para agen penabur duit diduga melakukan korupsi dana untuk membayar pemilih.

Saya katakan kepada warga yang bercerita itu, “Itu namanya kecurangan di dalam kecurangan.” Dalam kalimat lain, dana untuk pencurangan justru dicurangi oleh agen.

Dia mengatakan, para agen penabur duit hanya menyampaikan Rp 20,000 (dua puluh ribu rupiah) kepada para pemilih yang bersedia mencoblos paslonpres dukungan penguasa. Padahal, hampir tidak mungkin pemilih dihargai 20,000 rupiah.

Sumber kami yakin jumlah yang disediakan untuk seorang pencoblos paslonpres minimal Rp 100,000. Kalau benar hanya diberikan 20,000 rupiah, luar biasa drama kecurangan di dalam kecurangan pada pilpers 2024 ini.

Mengerikan selain menggelikan. Lucu, lucu, sedih. Agen kecurangan berbuat curang.

Ada lagi yang juga lucu, lucu, sedih. Seorang caleg berkisah bahwa dia sudah membangun silaturahmi dengan warga kampung. Tidak mewah, memang. Tapi dia berusaha menjaga hubungan baik dengan para pemilih.

Sanak saudara pun memberikan harapan akan mencoblos si Caleg. Begitu juga warga kampung.

Tetapi hasilnya di luar dugaan. “Sangat menyakitkan, Pak,” kata dia.

“Di dua TPS yang saya yakini suara saya jumlahnya besar, ternyata hanya dapat enam suara, Pak.”

Bahkan di satu TPS lain si Caleg hanya dapat 1 (satu) suara saja. “Yang satu ini dari saksi saya yang bertugas di TPS itu, Pak,” ujar si Caleg.

Saya tanyakan mengapa bisa begitu? Rupaya si Caleg yang tak bermodal ini tidak mau “menyiram” atau melukan “serangan fajar”. Selain tak punya duit, si Caleg tidak ingin melanggar syariat.

Tapi, kata dia, caleg-caleg lain membeli suara. Ini yang membuat suara dia hancur. Padahal dia memperkirakan di 3-4 TPS yang tak jauh dari kediamannya seharusnya keluar angka 150 suara. Keterlaluan, cuma 6 suara.

Si Caleg tidak terlalu sakit hati. Sehari setelah pencoblosan, dia malah meminta relawannya untuk membagi-bagikan uang Rp 25,000 per orang kepada orang-orang yang tidak memilih dia. Uang sebesar 1.5 juta rupiah itu merupakan bantuan dari salah seorang Caleg separtainya yang ikut pileg untuk DPRD provinsi.

Relawan si Caleg kemudian mampir ke kedai kopi setempat. Kepada semua yang ada di kedai kopi itu si Relawan permisi untuk menyampaikan amanah dari si Caleg. Kepada setiap orang diberikan uang Rp 25,000 karena sudah diniatkan oleh si Caleg sebelum hari pencoblosan. Dia tidak mau memberikannya sebelum pencoblosan. Sebab, selain melanggar syariat, jumlahnya kecil.

Salah seorang penerima berkata, “Waduh, saya ini tidak memilih dia. Bagaimana ini, Bang?” Si Relawan menjawab tidak apa-apa. Karena sudah menjadi niat si Caleg. Si Relawan menceritakan bahwa beberapa orang di kedai kopi itu terlihat merasa bersalah. (*)