Masih Banyak yang Bingung, Netralitas ASN Itu Seperti Apa? (1)
Bukankah pikiran jernih tersebut diperlukan di dalam diri setiap ASN supaya mereka kelak mampu membangun “cognitive functioning” (fungsi berpikir, memberi solusi, dsb) yang akan berperan untuk mencapai “good governance” (bekerja efektif) dan “clean government” (pemerintahan yang bersih)?
Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior Freedom News
APARATUR Sipil Negara (ASN) boleh ikut memilih dalam pemilihan umum (pemilu), pilpres, dan pilkada. Tetapi, mereka tidak boleh memihak pada salah satu calon yang ikut dalam kontestasi. Baik itu kontestasi legistlatif, pilkada (bupati dan gubernur), maupun pilpres.
Yang teramat penting adalah larangan bagi ASN ikut tim sukses (timses) salah satu calon. Juga tidak boleh ikut berkampanye.
Inilah yang disebut dengan posisi netral ASN per definisi yang tercantum di berbagai dokumen hukum. Mereka harus menjaga netralitas itu agar tetap tidak memihak kepada siapa pun. Tindakan memihak bisa dikenai sanksi administrasi atau, bahkan, sanksi pidana.
Pemerintah tampaknya sangat serius tentang netralitas itu. Tidak tanggung-tanggung. Ada banyak dokumen tentang netralitas ASN. Yaitu, UU Nomor 5 Tahun 2014. Kemudian ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53/2010, dan PP Nomor 42/2004.
Merasa tak cukup dengan tiga dokumen legal itu, pemerintah menerbitkan lima (5) Surat Keputusan Bersama (SKB).
Kelima regulasi yang terkait dengan neralitas ASN itu adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 2 Tahun 2022. Kemudian SKB Nomor 800-547 4 Tahun 2022, Nomor 246 Tahun 2022, Nomor 30 Tahun 2022, dan Nomor 1447.1/PM.01/K.1/09/2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan.
Begitu banyak perangkat peraturan-perundangan yang bertujuan untuk menjaga agar ASN tidak berpihak. Agar mereka senantiasa berada di tengah ketika berlangsung perhelatan demokrasi.
Tetapi, apakah delapan (8) landasan hukum untuk menjaga kenetralan ASN itu sudah cukup? Ternyata tidak. Masih banyak yang kebingungan. Terutama terkait kegiatan para ASN di media sosial (medsos).
Bukan tidak cukup dalam arti masih diperlukan aturan tambahan. Melainkan tidak cukup dalam konteks bahwa semua aturan yang ada saat ini tidak menyentuh aspek kemanusiawian para ASN.
Sebagai contoh, seorang guru ASN di Provinsi Riau menghubungi penulis. Dia mengatakan, sejauh ini dia masih bingung tentang netralitas ASN. Ada beberapa hal mendasar yang ingin dia pertanyakan. Beliau adalah ASN yang berprofesi sebagai guru.
Pertama, selain larangan ikut kampanye apakah ASN tidak boleh pula berinteraksi di media sosial baik itu di Twitter (X), Facebook, Instagram (IG), Tik Tok, dan Youtube? Sebagai contoh, apakah sekadar ikut memberikan tanggapan terhadap peristiwa-peristiwa politik juga dilarang? Apakah memberikan “like” saja pun akan dianggap tidak netral?
Guru PNS ini beralasan bahwa kalau dia hanya sebatas menuliskan penilaian tentang, misalnya, calon-calon yang pantas atau yang tidak pantas; atau tentang orang-orang yang berhasrat ikut pilkada namun dianggap tidak memiliki integritas, akan dikategorikan sebagai opini yang melanggar netralitas?
Apakah netralitas ASN sampai sebegitu jauh? Tidak boleh lagi menyampaikan nilai-nilai moralitas tentang memilih pejabat publik? Inikah netralitas yang ingin ditanamkan di benak setiap ASN?
Kalau iya, apakah bentuk netralitas seperti ini dianggap yang terbaik? Tidakkah ini merugikan semua pihak karena besar kemungkinan para ASN akhirnya tidak mampu mengembangkan kemandirian dalam berpikir dan bekerja?
Tidakkah netralitas semacam ini hanya akan membentuk robot-robot birokrasi yang kaku dan tidak memiliki kreativitas?
Mengapa para ASN yang semula berasal dari lingkungan intelektualitas tinggi itu – rata-rata mereka lulusan perguruan tinggi – tidak diberikan kebebasan untuk berekspresi sehingga mereka akan terlatih untuk berpikir jernih?
Bukankah pikiran jernih tersebut diperlukan di dalam diri setiap ASN supaya mereka kelak mampu membangun “cognitive functioning” (fungsi berpikir, memberi solusi, dsb) yang akan berperan untuk mencapai “good governance” (bekerja efektif) dan “clean government” (pemerintahan yang bersih)?
Karena itu, netralitas ASN itu adalah pelayanan publik yang mereka berikan sama rata kepada rakyat. Pelayanan yang tidak pilih-pilih orang. Yang tidak membedakan-bedakan warga yang memerlukannya. Inilah sesungguhnya makna netralitas ASN. (*)