Masih Banyak yang Bingung, Netralitas ASN Itu Seperti Apa? (2)
Jadi, sudah saatnya kita berikan kebebasan kepada ASN untuk berekspresi. Tinggalkan saja pengarahan model “menggiring ternak”. Cukup diberi pengertian agar ASN berperan positif untuk perbaikan Indonesia.
Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior Freedom News
DALAM tulisan pertama tentang netralitas ASN, saya berpendapat titik beratnya adalah menjaga agar pelayanan publik yang mereka berikan selalu sama rata kepada rakyat. Tidak pilih-pilih orang.
Jadi, netralitas tidak seharusnya membungkam ASN dalam mengeluarkan pendapat mereka. Negara tidak perlu memperlakukan ASN seperti robot. Rugi Indonesia. Sebab, mereka adalah orang-orang yang masuk ke jajaran birokrasi dengan bekal intelektualitas yang relatif tinggi.
Sesuai data yang ada di Badan Kepegawaian Negara (BKN), ASN yang berpendidikan sarjana (S1-S3) di seluruh Indonesia berjumlah 70%. Selebihnya adalah 15% tingkat diploma dan 15% jenjang SD-SMA. Kalau program diploma dapat digolongkan pendidikan tinggi juga, maka jumlah intelektual di birokrasi menjadi 85%.
Angka ini menunjukkan bahwa birokrasi kita diisi oleh para cendekiawan yang sudah terlatih berpikir dan bekerja sistematis. Dahsyat sekali. Indonesia Emas seharusnya sudah tercapai. Tidak perlu menunggu 2045. Selayaknya sudah terwujud 5-6 tahun yang lalu.
Sedihnya, Indonesia masih berstatus “besi tua”. Yang di level Emas baru segelintir saja. Yaitu para maling kekayaan negara, para koruptor, dan para Mafioso. Kekayaan mereka memang benar sudah di level emas semua.
Jumlah ASN se-Indonesia tercatat 4,280,000 orang. Jadi, 85% D-3, S1, S2 dan S3 berarti 3,638,000 personel. Ini merupakan populasi intelektual yang luar biasa besar di dalam satu korps.
Sekarang, mau diapakan 85% cendekiawan birokrasi itu? Apa yang terjadi hari ini terhadap ASN?
Sangatlah memprihatinkan. Kreativitas mereka masih rendah. Salah siapa? Jelas sekali salah para petinggi yang mendefinisikan netralitas itu.
Definisi netralitas yang dianut saat ini masih versi primitif. Ini yang menyebabkan para ASN yang hebat-hebat itu tidak terdorong memikirkan masa depan bangsa dan negara.
Masa depan perekonomian, masa depan ilmu pengetahuan dan teknologi, masa depan pendidikan dan kesehatan, masa depan keadilan dan meritokrasi, dan lain sebagainya. Dari waktu ke waktu mereka hanya memikirkan kenaikan pangkat dan promosi jabatan.
Setiap agenda demokrasi lima tahunan datang, para ASN hanya diberitahu agar tidak memihak pada calon mana pun. Tidak memihak partai politik mana pun.
Peringatan ini sudah benar. Posisi terbaik para ASN memang “no man’s land” alias tidak berada di pihak mana pun. Tetapi, apakah ini masih relevan?
Ini yang perlu dipertanyakan. Mengapa kita tidak meninjau kembali definisi dan kebijakan netralitas? Bukankah asas netralitas versi kuno itu menyia-nyiakan 3.6 juta ASN yang sebetulnya mampu berkontribusi untuk mendiskusikan isu sosial-politik secara informal, termasuk tentang para calon pejabat publik yang akan ikut kontestasi?
Mengapa para pejabat tinggi pemerintah cenderung menjabarkan netralitas itu menjadi “kalian diam saja, tidak usah ikut-ikutan”? Padahal, jutaan ASN itu adalah orang-orang yang paham proses politik. Mereka mengerti liku-liku negatif dalam politik. Mereka bisa memberikan pencerahan.
Mereka pun bisa ikut mencegah agar calon-calon pejabat publik yang bermasalah, tidak terpilih. Para ASN biasanya punya akses informasi yang bagus.
ASN tidak ikut politik praktis, setuju. Tidak ikut tim sukses, memang harus. Tetapi, ASN bisa membantu negara ini agar tidak diisi oleh calon-calon pejabat publik yang bermental kotor. Pencerahan kepada publik bisa mereka lakukan tanpa harus menunjukkan keberpihakan.
Khawatir akan menjadi ajang fitnah? Iya, ini memang harus dijaga. Tapi kita percaya para ASN yang berintelektualitas tinggi itu bisa melatih diri untuk tidak terjerumus ke polemik yang berbau hoaks maupun fitnah.
Seorang teman ASN yang bermukim di Aceh Timur menduga ASN dikurung dalam sel netralitas untuk mencegah kegaduhan. Ini cara berpikir usang. Jutaan ASN yang berada di birokrasi hari ini bukanlah orang-orang yang mudah dihasut. Kata “kegaduhan” itu adalah sisa-sisa otoritarianisme masa lalu. Sayangnya, rezim otoriter hari ini masih berlangganan dengan sistem lama itu.
Jadi, sudah saatnya kita berikan kebebasan kepada ASN untuk berekspresi. Tinggalkan saja pengarahan model “menggiring ternak”. Cukup diberi pengertian agar ASN berperan positif untuk perbaikan Indonesia.
Biarkan mereka ikut bermedia sosial asalkan bukan untuk kepentingan sempit apalagi untuk menimbulkan keonaran. Para ASN cendekiawan pasti paham itu. (*)