Mayday Revolution: Aksi Buruh Menggilas Penguasa Culas
Mayday Revolution diawali dengan semangat desakan untuk memakzulkan Jokowi. Ini merupakan suatu keniscayaan. Secara empirik tuntutan buruh, termasuk pencabutan omnibus law atau UU Cipta Kerja, tidak pernah sukses selama ada Jokowi.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PADA Rabu, 1 Mei 2024, digelar aksi buruh untuk memperingati Hari Buruh Internasional. Perjuangan serius atas nasib para kaum buruh yang bertagline "Mayday Revolution" itu tentu menarik. Setelah berulang-ulang buruh, mereka bergerak menggoyang Omnibus Law dan aturan lain yang menyesakkan, kini buruh menggebrak kembali.
Ada momen yang berbeda untuk aksi kali ini, yaitu inilah aksi besar pertama pasca Putusan MK (Makhamah Konstitusi) yang menolak gugatan dan Penetapan KPU untuk pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden/Wakil Presiden.
Pasangan ini adalah pelanjut rezim Joko Widodo yang menjadi "musuh buruh" sejak penindasan omnibus law dan aturan lain yang berpihak pada kaum majikan atau pemilik modal.
"Mayday" juga menjadi sinyal tanda darurat atau SOS standar internasional yang digunakan dalam komunikasi radio, berasal dari bahasa Perancis "m'aidez", artinya "tolong aku".
Dalam konteks tersebut para buruh merasa situasinya darurat, dalam posisi senjang pendapatan, kesejahteraan, dan kesempatan dibanding kaum majikan. Tertekan dan tertindas serta selalu berada dalam keterpaksaan.
Pada 1 Mei 1886 dahulu sejumlah 40 ribu pekerja di Chicago dan 300 ribu buruh di seluruh Amerika melakukan demonstrasi dan mogok kerja untuk menuntut hak-hak buruh, baik upah, jam kerja serta kesenjangan. Aksi berujung rusuh di Haymarket Square yang menimbulkan korban buruh. Untuk mengenang perjuangan keras buruh maka 1 Mei ditetapkan sebagai Labour Day atau lebih dikenal dengan May Day.
Tema "Revolution" bukan hanya mengingatkan pada Revolusi Industri, akan tetapi tuntutan adanya perubahan cepat dan mendasar dari situasi yang benar-benar menyengsarakan para kaum buruh. Nuansa konflik sulit untuk dihindari atas asumsi perubahan parsial dan lambat yang ternyata tidak mendapat respon semestinya.
Berkali-kali aksi buruh soal tuntutan cabut omnibus law dianggap debu dan tidak berefek apa-apa. Pemerintahan Jokowi "pembunuh demokrasi" itu memang bebal dan menyebalkan.
Seruan revolusi tersebut mungkin lebih mengena dan tajam dengan harapan untuk lebih mendapat perhatian. Aksi demonstrasi 1 Mei 1886 adalah sebuah "revolusi". Di samping berdemonstrasi juga buruh melakukan mogok kerja. Mogok adalah hak buruh yang dijamin oleh hukum internasional dan undang-undang negara. Mogok menjadi senjata pamungkas untuk pemenuhan tuntutan buruh.
Kini Mayday bukan semata kedaruratan buruh akan tetapi hampir seluruh segmen masyarakat di bawah kepemimpinan Jokowi berada dalam keadaan mayday. Tentu akibat dari salah urus para penyelenggara negara.
Perubahan hanya bisa dilakukan jika Jokowi lengser atau dilengserkan. Jokowi telah membangun rezim investasi, rezim majikan, rezim kapitalis, rezim penindas dan pemiskin kaum buruh.
Mayday Revolution diawali dengan semangat desakan untuk memakzulkan Jokowi. Ini merupakan suatu keniscayaan. Secara empirik tuntutan buruh, termasuk pencabutan omnibus law atau UU Cipta Kerja, tidak pernah sukses selama ada Jokowi.
Pemerintahan Jokowi memang buta dan tuli. Aksi-aksi menjadi tidak berarti tanpa tuntutan supaya Jokowi segera berhenti.
Aksi demonstrasi menjadi efektif jika dibarengi dengan penggunaan senjata pamungkas buruh yaitu mogok. Jika mayday revolution itu mogok nasional dari sejuta buruh maka rakyat akan mendukung. Gerakan buruh menjadi pintu perubahan atmosfir otoritarian dan oligarkis menjadi demokratis dan lebih menyejahterakan.
Komando Ketua KSPSI Jumhur Hidayat beserta pejuang buruh lainnya agar para buruh datang ke Jakarta dan "lawan..lawan..lawan" memiliki spektrum yang luas.
Revolusi untuk mencabut aturan yang menindas dan gerakan menggilas penguasa yang culas.
"Mayday..mayday..mayday". (*)