Megawati Meradang, Jokowi Menantang

Retaknya hubungan Jokowi-Megawati sebenarnya sudah terjadi sebelumnya. Tapi selalu berusaha ditutupi oleh kalangan PDIP sendiri. Nah, sekarang petugas partai mulai melawan ketua partainya sendiri secara terang-terangan.

Oleh: Tjahja Gunawan, Wartawan Senior

PIDATO terakhir Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di depan ribuan kadernya viral. Videonya menjadi bahan obrolan hangat di warung-warung kopi maupun dalam diskusi para netizen di media sosial.

Megawati menunjukkan lagi taringnya dan berbicara lantang di depan para kadernya. Beliau menyindir Jokowi dan dengan suara lantang dan berapi-api Megawati menyatakan, "Baru berkuasa, sudah mulai seperti Orde Baru! Kalian berani tidak?!"... Seketika itu juga para kadernya menjawab secara bergemuruh: "Berani…! Lawan…!" Tak ayal lagi, semangat para kader PDIP seolah terbakar oleh pidato Megawati Soekarnoputri.

Karakter Megawati yang berbicara tegas itulah yang ditunggu-tunggu para kadernya. Masyarakat luas pun sebenarnya menanti respon Ketua Umum PDIP itu atas ulah "Petugas Partai" yang telah merusak konstitusi melalui persongkokolan hukum dan politik. Selama ini publik menilai Megawati sudah kehilangan taringnya setelah dipecundangi oleh petugas partainya sendiri.

Drama Politik?

Sejatinya masyarakat berharap Ketua Umum PDIP Megawati bisa menarik mundur semua kadernya di Kabinet Jokowi. Tapi ternyata hal itu tidak dilakukan Megawati sehingga wajar kalau ada penilaian dari sebagian kalangan bahwa perseteruan Megawati – Jokowi hanya sebatas drama politik saja. Tapi, dalam pidato terakhirnya, Megawati menunjukkan kekecewaannya yang mendalam kepada Jokowi yang selama ini mendapat dukungan penuh dari PDIP.

Betapa tidak, sejak menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga menjadi Presiden RI selama dua periode, PDIP dengan setia mendukung Jokowi. Tidak hanya itu, anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Walikota Solo dan mantunya Boby Nasution menjadi Walikota Medan, juga didukung penuh oleh PDIP.

Jokowi yang dalam 9 tahun terakhir ini merupakan "Petugas Partai", pada akhir masa jabatannya sebagai Presiden secara tak terduga berani melawan Megawati Soekarnoputri. PDIP yang selama ini menjadi kendaraan partai keluarga Jokowi mulai ditinggalkan. Sosok Jokowi yang selama ini dinilai banyak kalangan sebagai orang yang sederhana, polos, dan sebagian lainnya menilai dia "planga-plongo", ternyata memiliki nafsu berkuasa yang amat besar.

Sejumlah kalangan pemerhati budaya Jawa juga merasa heran sekaligus menyatakan sulit untuk menilai kepribadian dan budaya asli Jokowi. Dia memang dikenal publik berasal dari Solo, Jawa Tengah, tapi perilaku (politiknya) tidak mencerminkan dia sebagai orang Jawa. Namun, ada juga sebagian kalangan yang menilai Jokowi memiliki "split personality".

Di satu sisi, gestur tubuhnya secara kasat mata mencerminkan sebagai orang Jawa, tapi karakter aslinya merupakan tipikal orang yang penuh dendam serta memiliki ambisi kekuasaan yang besar. Sehingga segala cara pun dilakukan untuk bisa meraih ambisinya itu. Jokowi benar-benar menjalankan secara konsisten teori kekuasan ala Machiavelli.

Sebaliknya, Megawati dan PDIP yang selama ini mendukung Jokowi, justru ditelikung. Ibarat peribahasa, habis manis sepah dibuang. Kini Jokowi dan keluarganya, tidak membutuhkan lagi Megawati dan PDIP. Dengan kekuasaan yang dimilikinya sekarang, Jokowi kemudian membuat dinasti politik. Dia telah membuat design politik untuk anak-anak dan mantunya.

Gibran Rakabumi Raka dijadikan sebagai Cawapres. Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum PSI dan mantunya Boby Nasution diproyeksikan dari Walikota Medan menjadi Gubernur Sumatera Utara. Tidak hanya itu, nantinya Kaesang juga akan dipersiapkan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Semua rencana politik keluarga Jokowi ini sudah dirancang sedemikian rupa agar kursi kekuasaan di semua level, bisa dikuasai oleh keluarga Jokowi.

Setelah mencampakkan PDIP, Jokowi kemudian melakukan "investasi politik" di partai gurem PSI dengan menempatkan anaknya Kaesang sebagai Ketua Umum di partai non parlemen tersebut. Pada saat yang sama, Jokowi kemudian merangkul sejumlah parpol untuk bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) dalam rangka mendukung Capres Prabowo Subianto dan anaknya Gibran itu sebagai Cawapres.

Para ketua parpol terpaksa bergabung dalam KIM karena mereka tersandera kasus hukum. Dengan dukungan kekuasaan, otomatis capres-cawapres yang diusung KIM, memiliki dukungan logistik yang kuat.

Bukan hanya baliho Prabowo – Gibran yang bertebaran dimana-mana, tapi baliho Kaesang juga berserakan di berbagai daerah di Indonesia. "Saya kaget saat dinas ke Sulawesi Utara, di sana juga ternyata ada baliho bergambar Kaesang," kata seorang pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN).

Baliho Kaesang ternyata banyak dipasang di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam sebuah tayangan video, seorang mahasiswa di Tasikmalaya menunjukkan baliho anak presiden tersebut. Kampanye dinasti politik Jokowi sudah dirancang dengan sistematis, terstruktur dan massif.

"Tidak lama lagi, juga akan dipasang secara massif baliho bergambar Presiden Jokowi, yang akan diapit oleh Panglima TNI Jend (TNI) Agus Subiyanto dan Kapolri Jend (Pol) Listyo Sigit Prabowo," kata seorang elit parpol.

Pada akhir kekuasaannya sebagai Presiden, Jokowi secara mengejutkan berani melepeh Megawati dan PDIP. Karena itu wajar kalau kemudian Megawati dan para kadernya meradang. Anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu, sebenarnya telah mengusulkan agar DPR menggulirkan hak angket terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batasan umur Capres dan Cawapres. Seperti kita ketahui, Gibran walaupun belum berumur 40 tahun tapi dia bisa melenggang menjadi Cawapres karena adanya putusan MK.

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut menyebutkan, capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.

Namun, entah kenapa usulan Masinton Pasaribu pada Sidang Paripurna DPR pada 31 Oktober 2023 itu, menguap begitu saja. Seolah teriakan Masinton berlalu begitu saja, anggota DPR lainnya tidak banyak yang merepon. Anehnya, Fraksi PDIP juga tidak menindaklanjuti secara resmi usulan Masinton tersebut.

Retaknya hubungan Jokowi-Megawati sebenarnya sudah terjadi sebelumnya. Tapi selalu berusaha ditutupi oleh kalangan PDIP sendiri. Nah, sekarang petugas partai mulai melawan ketua partainya sendiri secara terang-terangan.

Sikap petugas partai dan kader PDIP yang seharusnya tegak lurus kepada Megawati sebagai Ketua Umum PDIP, diabaikan Jokowi dan keluarganya. Jokowi yang sejak awal didukung oleh Megawati selaku Ibu Kandung partai dan seluruh kadernya, tiba-tiba sekarang mbalelo dan melawan dengan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya.Dia tega mengkhianati partainya sendiri dan rakyat Indonesia. (*)