Memulihkan Kepercayaan Rakyat
Memulihkan dan meraih kepercaayaan rakyat, merupakan kebutuhan mendasar dalam praktik demokrasi langsung. Warga negara dan pemerintah bekerja dalam hubungan timbal balik untuk saling memperkuat. Kepercayaan terhadap pemerintah dan negara penting untuk berbagai alasan. Terutama untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan publik.
Oleh: Tamsil Linrung, Anggota DPD RI 2019-2024 dan Terpilih Kembali Periode 2024-2029
PERHELATAN Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang telah usai digelar dengan lancar dan damai, menjadi momentum untuk memulihkan dan meningkatkan kepercayaan rakyat pada lembaga negara. Saat memasuki tahun politik, tingkat kepercayaan pada institusi pemerintahan kurang menggembirakan. Survei Indikator periode 30 Desember 2023 sampai 6 Januari 2024, menunjukkan kepercayaan menyusut atas mayoritas lembaga negara.
Kepercayaan pada pemerintah merupakan fenomena yang rumit dan unik. Kepercayaan rakyat, setidaknya dibentuk oleh tiga variabel. Pertama, rasa keberpihakan berdasarkan suplai informasi yang diterima. Kedua, dibangun berlandaskan persepsi setelah berinteraksi dengan otoritas pemerintah. Ketiga, bertumpu ekspektasi terhadap apa yang seharusnya dilakukan oleh lembaga-lembaga negara.
Dalam praktik demokrasi langsung, kuantitas dan kualitas informasi yang tersedia bagi para wakil rakyat mengenai preferensi warga negara, dan bagi warga negara mengenai perilaku para wakil rakyat, telah meningkat secara signifikan (Geer 1996; Prior 2007).
Informasi di kedua belah pihak punya nilai fundamental. Persepsi yang terbentuk, jadi acuan rakyat untuk menaruh kepercayaan atau tidak pada aktor-aktor politik. Sementara informasi mengenai aspirasi rakyat, bagi para politisi, merupakan input penting untuk mendesain preferensi politik berbasis kepercayaan.
Celah antara informasi, persepsi dan espektasi yang ditenun melalui pengalaman membangun hubungan dengan pemerintah, melahirkan nilai tingkat kepercayaan. Karena itu, praktik demokrasi kontemporer menempatkan kepercayaan warga negara kepada pemerintah sebagai fitur mendasar. Pemerintah akan selalu fokus pada upaya meningkatkan kepercayaan publik dengan mengeksekusi kebijakan dan strategi secara efisien (Houston & Harding, 2013).
Tiga variabel pembentuk kepercayaan takyat itu, juga menjelaskan mengapa kepercayaan pada satu lembaga bisa sangat fluktuatif dan labil. Namun stabil pada lembaga lain. Kepercayaan masyarakat terhadap TNI misalnya, cenderung tinggi dan solid, karena espektasi yang dititipkan terkonsentrasi pada isu di sektor pertahanan dan keamanan. Masyarakat menilai institusi TNI dengan instrumen tunggal di bidang hankam.
Sementara kepercayaan pada Presiden sangat dinamis dan fluktuatif. Mengikuti ritme kebijakan yang ditempuh, populer atau tidak. Presiden, bersinggungan dengan rakyat di banyak persimpangan dengan kompleksitas skala isu, sehingga menimbulkan implikasi persepsi yang juga dinamis.
Momentum
Pemilu yang berlangsung lancar dan damai, dan penghujung periode masa jabatan di sejumlah lembaga negara, merupakan momentum untuk mengevaluasi sejauh mana program dan kinerja institusi mampu memenuhi tiga variabel yang pembentuk kepercayaan rakyat. Dalam rentang lima tahun terakhir, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencatatkan rapor positif. DPD meraih kenaikan tertinggi tingkat kepercayaan dari rakyat secara agregat.
Temuan Indikator pada bulan September 2020, atau satu tahun pertama masa tugas DPD periode 2019-2024, lembaga para senator ini mendapatkan tingkat kepercayaan sebesar 54%. Lalu dalam survei paling anyar yang dirilis tahun 2024, kepercayaan masyarakat pada DPD berada di angka 68,3%. Kenaikan tingkat kepercayaan secara kumulatif sebesar 14,3% pada periode ini, telah menempatkan DPD unggul atas TNI, Presiden, Polri, Kejaksaan, Parpol, DPR dan KPK.
Uniknya, kenaikan kepercayaan terhadap DPD menunjukkan gejala anomali dengan hasil pemilu. Kenaikan skor kepercayaan masyarakat kepada DPD tidak diikuti dengan tingkat keterpilihan kembali anggota DPD yang signifikan. Kurang dari separuh, persisnya hanya 45% petahana yang terpilih kembali ke Senayan.
Realitas ini bukan sekadar fenomena politik biasa. Merujuk pada pandangan Larry Bartels dan David Mayhew, bahwa kinerja dan akuntabilitas politisi terhadap kebutuhan dan kepentingan pemilihnya adalah faktor krusial dalam menentukan keterpilihannya dalam pemilu. Keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh DPD, bisa jadi memicu sejumlah Senator minim ruang interakasi dengan konstituen sehingga menimbulkan implikasi politik elektoral.
Karena itu, inisiatif berimprovisasi dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan lembaga sangat dibutuhkan. Itulah yang dilakukan oleh DPD periode ini dalam mengawal sejumlah isu strategis. DPD secara efektif masuk ke dalam perbincangan di publik soal isu-isu kebangsaan dan advokasi kepentingan rakyat. Antara lain, terlibat aktif dalam wacana Pokok-Pokok Haluan Negara dan amandemen terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di MPR.
DPD, melalui lima orang Senator, juga berdiri di garda terdepan dalam mengangkat kembali percakapan publik soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) ke MK. Lima Senator tersebut, yaitu penulis, Fahira Idris, Edwin Pratama Putra, Fachrul Razi dan Bustami Zainudin mengajukan gugatan agar PT menjadi 0%.
Perbincangan gugatan PT 0% merupakan menu menarik bagi konsumsi publik, karena ketika itu gelagat Pilpres 2024 diikuti oleh kandidat dalam jumlah yang sangat terbatas. Timbul kecemasan, masyarakat disodori pilihan kandidat terbatas sesuai aturan yang tertuang dalam UU Pemilu.
Meski kandas, gugatan PT 0% membuka ruang diskursus yang sehat dan konstruktif dalam berdemokrasi. Menempatkan DPD sebagai lembaga yang mendapat atensi positif dari publik. Terlebih, Ketua DPD, La Nyalla Mattalitti sebagai representasi simbol lembaga, ikut aktif mendorong gugatan PT 0% sebagai agenda DPD.
Kendati pemberitaan soal kinerja DPD tidak semasif lembaga negara yang lain seperti TNI, Polri, Presiden, Kejaksaan atau bahkan DPR, namun DPD mampu memainkan posisinya secara efektif. DPD berperan pada isu-isu yang menjadi perhatian publik. Selain PT 0%, salah satu advokasi signifikan yang dilakukan DPD periode ini adalah isu guru dan tenaga kependidikan honorer. DPD bahkan membentuk Panitia Khusus Guru Honorer.
Melalui Pansus, DPD secara taktis mengurai sengkarut problem guru dan tenaga kependidikan honorer yang terkatung-katung menahun. Dengan kewenangan pengawasan, DPD mengajak lembaga terkait duduk bersama. Yaitu Kemendikbud, Badan Kepegawaian Negara, Kementerian PAN-RB dan Kementerian Keuangan. Pansus Guru Honorer ini merupakan usulan dari bawah sebagai buah agregasi aspirasi yang ditangkap dari persinggungan dengan masyarakat.
DPD membuka banyak ruang percakapan dengan masyarakat di daerah. Berkaca pada hal tersebut, maka upaya membangun persepsi dari interaksi yang melahirkan informasi positif tentang lembaga negara, bukan tugas yang berat-berat amat. Lagi-lagi, di atas segalanya, dibutuhkan kemauan politik untuk menjawab harapan-harapan rakyat.
Memulihkan dan meraih kepercaayaan rakyat, merupakan kebutuhan mendasar dalam praktik demokrasi langsung. Warga negara dan pemerintah bekerja dalam hubungan timbal balik untuk saling memperkuat. Kepercayaan terhadap pemerintah dan negara penting untuk berbagai alasan. Terutama untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan publik.
Seperti dipostulatkan Mark Dincecco, bahwa kemampuan pemerintah mencapai hajat kebijakan yang diharapkan, merupakan instrumen penting dalam mengukur kapasitas mengelola negara. Maka upaya membentuk kepatuhan mesti diawali dengan membangun kepercayaan rakyat. (*)