Menatap Masa Depan Indonesia Bersama Jalan Perubahan Anies Baswedan
Jalan Anies untuk tetap menjadi lokomotif perubahan Indonesia kini semakin terang, meski harus dilalui melewati jalan terjal, antusiasme rakyat menjemput perubahan, akan menjadi energi yang sangat berharga.
Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Dewan Penasehat Perkumpulan Bhoemi Poetera Indonesia Jawa Timur, Tinggal di Surabaya
SEPULUH tahun terakhir (2014-2024) masa kepemimpinan Joko Widodo, jalan reformasi menemui guncangan-guncangan, hal ini disebabkan oleh perjalanannya dibelokkan. Tidak banyak yang bisa merasakan, karena selama sepuluh tahun itu pembelokkannya justru disokong oleh sebagian dari mereka yang pernah berdarah-darah menggulingkan orde baru yang kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Sehingga menjelang berakhirnya masa kepemimpinan Jokowi, arah reformasi yang anti KKN, justru tumbuh subur, politik dinasti dikembangkan, hukum dikangkangi demi ambisi kekuasaan, demokrasi dipasung melalui instrumen hukum, kepentingan oligarki diutamakan, rakyat hanya diberi bantuan-bantuan seolah pemerintah memperhatikan rakyatnya.
Pengesahan UU Cipta Kerja dan UU yang mengatur pilkada yang memberi karpet merah kepada putera mahkotanya, Gibran Rakabuming Raka adalah bukti nyata, reformasi telah salah arah.
Pada akhir kepemimpinan Presiden Jokowi, banyak yang merasa bahwa reformasi, yang dulunya menjadi api semangat perubahan Indonesia, mulai pudar. Janji-janji untuk memberantas korupsi, memperbaiki tatanan hukum, dan menyejahterakan rakyat kecil semakin jauh dari kenyataan.
Infrastruktur memang berdiri megah, tapi di balik gedung-gedung tinggi itu semua, reformasi yang didambakan seolah kehilangan arah.
Proyek Strategi Nasional (PSN) yang seharusnya bisa menyejahterakan rakyat, justru menjadi ajang kepentingan bisnis oligarki. Melabrak peraturan tata ruang yang dibuat daerah. Hal ini berpotensi konflik antara pemerintah daerah dengan masyarakat lokal terdampak. Kasus tanah Rempang, Pembangunan IKN, dan yang terbaru adalah reklamasi di pantai timur Surabaya seluas 1.085 Ha.
Di tengah kekecewaan ini, Anies Baswedan hadir sebagai sosok yang mencoba membangkitkan kembali harapan. Sebagai tokoh yang pernah berada di dalam sistem, Anies memahami dari dekat bagaimana reformasi yang diimpikan pasca reformasi 1998 mulai luntur.
Dia menyaksikan bagaimana elit politik lebih sering berbicara soal kekuasaan daripada berbicara kesejahteraan, dan bagaimana suara rakyat seakan hanya menjadi gema yang hilang di lorong-lorong Istana. Anies, dengan segala keterbatasan dan tantangan yang dihadapinya, tetap yakin bahwa jalan menuju perubahan masih ada – ia hanya perlu terus menemukannya.
Anies adalah sosok yang berbeda. Dia tidak datang dengan janji kosong atau retorika yang berapi-api. Dia hadir dengan visi yang tenang namun jelas – bahwa perubahan yang sesungguhnya harus berpijak pada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Anies tahu bahwa pembangunan fisik semata tidak akan membawa kesejahteraan yang merata jika reformasi di bidang sosial, ekonomi, dan hukum tidak diperbaiki.
Banyak yang mungkin bertanya, bagaimana Anies bisa membawa perubahan setelah bertahun-tahun arah reformasi tersendat? Jawabannya sederhana: Anies tak berusaha menyaingi Jokowi, tapi ingin mengembalikan reformasi ke jalurnya. Dalam pandangannya, reformasi bukan hanya soal membangun jalan tol atau bandara, melainkan soal membangun kepercayaan publik, memberantas korupsi, dan memastikan bahwa hukum berlaku adil bagi semua orang.
Narasi ini bukanlah tentang pertarungan antara dua tokoh, melainkan tentang dua pendekatan yang berbeda. Jokowi mungkin membawa Indonesia ke era pembangunan fisik yang pesat, namun Anies melihat bahwa ada lebih banyak yang harus dibenahi. Bagi Anies, pembangunan yang sejati harus mencakup pembaruan di segala aspek kehidupan masyarakat – dari pendidikan yang merata hingga keadilan yang tak pandang bulu.
Sebagai pemimpin yang lahir dari generasi reformasi, Anies tetap percaya bahwa Indonesia bisa menjadi lebih baik. Meski jalan reformasi sempat dibelokkan, ia yakin bahwa jalur itu bisa ditemukan kembali. Masa depan Indonesia tanpa Jokowi, bagi Anies, adalah kesempatan untuk menata ulang arah bangsa, memperbaiki kesalahan, dan memulihkan harapan yang hilang.
Dengan narasi yang humanis dan penuh empati, Anies berusaha menunjukkan bahwa perubahan tidak harus dilakukan dengan tangan besi atau kebijakan yang memaksakan. Perubahan bisa terjadi ketika kita mau mendengarkan, peduli, dan berpihak pada mereka yang selama ini terpinggirkan. Di tengah hiruk-pikuk politik, Anies tetap percaya bahwa manusia adalah pusat dari setiap kebijakan.
Anies mungkin tak sempurna, dan jalannya mungkin penuh tantangan, tapi ia yakin bahwa dengan ketekunan dan keberanian, reformasi bisa kembali ke jalurnya.
Baginya, masa depan Indonesia adalah tentang memastikan bahwa setiap warga negara mendapat tempat di bawah payung keadilan dan kemakmuran. Meski masa Jokowi telah berakhir, Anies yakin bahwa jalan menuju reformasi belum tertutup – dan ia akan terus menemukannya, untuk Indonesia yang lebih baik.
Jalan Anies untuk tetap menjadi lokomotif perubahan Indonesia kini semakin terang, meski harus dilalui melewati jalan terjal, antusiasme rakyat menjemput perubahan, akan menjadi energi yang sangat berharga.
Di tengah kepemimpinan yang berkelanjutan yang dikhawatirkan akan melanggengkan kesesatan arah reformasi, Anies akan menjadi harapan baru untuk Indonesia yang lebih beradap, Indonesia yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotis. (*)