Partai Politik Islam Menjadi Budak Oligarki

Politik Islam itu sudah masa lalu, sudah lama mati, dan kini tinggal sejarah. Politik Islam sebagai aksi, proses, regulasi, maupun diskursus, semuanya menarik dikaji sebagai produk sejarah yang mungkin masih relevan dan mungkin tak relevan sama sekali dengan situasi sekarang ini.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

PARTAI-partai yang selama ini mengaku berasaskan Islam, melihat, embel-embel sebagai partai Islam tetapi perilakunya jauh dari nilai Islam.

Mereka lebih suka berbicara tentang Pemilihan Presiden (Pilpres), Pilkada daripada memikirkan masyarakat yang sedang menghadapi ketidakadilan dan kezaliman.

Hampir secara keseluruhan partai-partai politik di Indonesia kini oligarkis dan sudah sangat feodal. Nyaris tidak ada parpol Islam yang Islami.

Agak sulit membedakan mana kultur khas partai Islam dan mana kultur khas partai nasional-religius. Sebab, di Indonesia keduanya sama saja berlakunya.

Sama-sama mengejar kekuasan dan ingin bergelimang dalam kekuasaan. Jadi, sulit membedakan karakter khas dari keduanya. Yaitu sebanyak mungkin mendapatkan keuntungan secara materiil dan dalam meraih kekuasaan.

Sulit menyatakan secara tegas mana yang partai Islam dan mana partai non-Islam.

Mereka (parpol-parpol) pun menggunakan nama nasionalis-religius berdasarkan pada nilai-nilai keislaman. Hanya untuk membius dan mengelabui umat Islam.

Bagaimana kalau dipikirkan, apakah kalau partai Islam hanya satu, maka umat akan menjadi satu?

Jawanannya tidak juga. Pada eranya Soeharto, ada satu partai, tetapi PPP selamanya kandas.

Sekarang, banyak elite politik tersangkut kasus korupsi. Tidak ada bedanya antara partai yang berasaskan Islam maupun yang tidak. Sebab, mereka sebetulnya tidak bekerja di atas nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.

Apakah mereka akan terus membual bahwa partainya bisa menjadi alat – bukan tujuan – untuk mewujudkan baldatun thayyibatun warabbun ghafur?

Meski Islam dan politik telah menyatu sejak awal, di mana Nabi Muhammad SAW bukan sekadar utusan Allah dan pemimpin agama, tetapi juga pemimpin bangsa dan negara, sebagai leader and ruler

Politik Islam itu sudah masa lalu, sudah lama mati, dan kini tinggal sejarah. Politik Islam sebagai aksi, proses, regulasi, maupun diskursus, semuanya menarik dikaji sebagai produk sejarah yang mungkin masih relevan dan mungkin tak relevan sama sekali dengan situasi sekarang ini.

Elit partai politik Islam tidak atau kurang memahami bahwa yang akan dimenangkan Allah adalah Mukminin bukan muslimin. Makanya tidak heran ketika mereka terkapar wadah penyakit "Wahn*, otomatis Politik umat Islam bersama partai politiknya berantakan.

Di Indonesia belum ada partai yang mukminin selain hanya berlabel asas Islam. (*)