PDIP, Pilkada Serentak, dan Pembelajaran dari Pilpres 2024

Karena, nama Pramono Anung tidak pernah masuk radar dalam kontestasi pilkada Jakarta. Mungkin PDIP mengandalkan popularitas Rano “si Doel” Karno. Tapi, apakah mereka bisa mengalahkan popularitas Anies yang “incumbent”, pernah menjadi Gubernur Jakarta?

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

PARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan partai politik pemenang pemilu, termasuk pemilu 2024, meskipun perolehan suaranya turun.

Dalam sistem politik Indonesia, calon pemimpin nasional daerah maupun pusat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Secara teori memang ada calon perseorangan (independen). Tetapi pada praktiknya sulit terjadi. Hanya ada 4 calon independen yang memenangi pemilihan kepala daerah, termasuk Pilgub Aceh.

Pada Pilpres 2024, PDIP mengusung calon presiden dari kader internal, Ganjar Pranowo, yang didampingi Mahfud MD. Keputusan PDIP ini patut diacungi jempol. Meskipun akhirnya, ternyata, perolehan suara Ganjar di posisi terakhir. Hanya 16,5 persen. Jauh di bawah perolehan suara Anies Baswedan yang menduduki posisi kedua, dengan perolehan suara sekitar 25 persen.

Bagi PDIP, mungkin kalah dalam kontestasi kepemimpinan nasional tidak masalah, yang penting mengusung calon dari kader sendiri.

Dalam kondisi politik biasa-biasa saja, mungkin pemikiran seperti itu sangat normal. Dan bahkan memang seharusnya seperti itu, mengusung kader ideologis untuk menjadi pemimpin nasional, sambil menawarkan program yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Tetapi, kondisi politik nasional saat ini tidak biasa-biasa saja. Indonesia saat ini dalam belenggu tirani yang mau memaksakan kehendak untuk menguasai Indonesia, menguasai seluruh kepala daerah Indonesia.

Setelah berhasil menempatkan Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden, Joko Widodo kemudian mau menempatkan Kaesang Pangarep menjadi calon Wakil Gubernur. Semua berjalan lancar. Mahkamah Agung (MA) sudah membuat Putusan, batas usia Calon Gubernur dan Wakil Gubernur minimal 30 tahun pada saat pelantikan.

Jokowi kemudian juga membentuk “kartel” koalisi partai politik. Akhirnya, PDIP terancam tidak bisa mencalonkan kepala daerah pada pilkada 2024. Terganjal threshold atau ambang batas pencalonan kepala daerah.

Putusan MK Nomor 60 dan 70 mematahkan rencana dan ambisi Jokowi ingin menguasai Indonesia. Kaesang tak bisa lagi dicalonkan sebagai gubernur atau wakil gubernur. PDIP mulai “hidup” kembali pada Pilkada 2024 ini. Demokrasi mulai bangkit.

Selamat kepada PDIP yang telah lolos dari upaya “penjegalan” Jokowi.

PDIP bahkan langsung “mencuri” Airin Rachmi Diany dari Golkar, untuk menjadi calon gubernur Banten usulan PDIP.

Pertanyaannya, bagaimana PDIP menyikapi pencalonan pilkada selanjutnya, khususnya pilkada Jakarta?

Awalnya, beredar informasi PDIP akan mengusung Anies Baswedan sebagai calon gubernur Jakarta, bersama Rano “si Doel” Karno. Anies sempat datang ke kantor PDIP Jakarta. Bahkan sempat hadir di kantor PDIP saat pengumuman gelombang ketiga calon kepala daerah PDIP pada Senin kemarin (26/8/2024).

Hanya berselang setengah hari, keadaan berubah. Kabarnya, PDIP batal mencalonkan Anies Baswedan. Kabarnya, PDIP akan mengusung Pramono Anung – Rano Karno pada pilkada Jakarta 2024 ini.

Tentu saja banyak pihak tercengang. Kalau kabar ini benar, tampaknya PDIP akan mengulang kekalahan pilpres pada pilkada ini.

Karena, nama Pramono Anung tidak pernah masuk radar dalam kontestasi pilkada Jakarta. Mungkin PDIP mengandalkan popularitas Rano “si Doel” Karno. Tapi, apakah mereka bisa mengalahkan popularitas Anies yang “incumbent”, pernah menjadi Gubernur Jakarta?

Mungkin PDIP berprinsip, tidak penting kalah atau menang, yang penting calon berasal dari kader.

Yang mana, dalam hal ini bertentangan dengan kasus pilkada Banten di mana PDIP begitu berani “mencuri” dan mencalonkan Airin, kader Golkar, yang sekarang dicuri lagi oleh Golkar dari PDIP. (*)