Pemilihan Tidak Langsung Dalam Krisis Legitimasi
Jika pemilihan melalui DPRD dilakukan tanpa mekanisme transparansi yang memadai, maka publik akan sulit memantau proses tersebut. Hal ini dapat menciptakan kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap institusi politik, yang pada akhirnya merugikan sistem demokrasi secara keseluruhan.
Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
GAGASAN Presiden Prabowo Subianto tentang mengembalikan mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menuai polemik yang mendalam dalam masyarakat.
Di satu sisi, usulan ini dianggap sebagai langkah untuk menekan biaya politik yang tinggi dan mempercepat proses demokrasi, namun di sisi lain, banyak yang mengkhawatirkan implikasi terhadap kualitas demokrasi, legitimasi politik, dan representasi rakyat.
Dalam membedah isu ini, kita bisa menggali pandangan Niklas Luhmann, seorang pemikir sistem, untuk memahami keterkaitan antara legitimasi, komunikasi, dan peran parpol dalam menentukan kualitas demokrasi.
Niklas Luhmann menekankan bahwa legitimasi adalah pondasi utama dalam setiap sistem politik. Legitimasi mencerminkan sejauh mana rakyat percaya dan mendukung proses serta institusi politik yang ada.
Dalam konteks Indonesia, legitimasi pemilihan langsung kepala daerah telah menghadapi berbagai tantangan, termasuk politik uang, pragmatisme partai, dan rendahnya kualitas para kandidat yang muncul. Namun, apakah mekanisme pemilihan melalui DPRD mampu meningkatkan legitimasi dan kualitas demokrasi?
Apa yang Dipertaruhkan?
Pemilihan kepala daerah secara langsung seringkali dipandang sebagai arena politik uang yang masif. Kandidat harus mengeluarkan biaya besar untuk berkampanye, yang seringkali berujung pada praktik korupsi setelah terpilih.
Dalam skenario ini, pemilihan melalui DPRD dianggap sebagai solusi untuk mengurangi beban finansial tersebut, mengingat para kandidat hanya perlu meyakinkan segelintir anggota DPRD dibandingkan populasi pemilih yang luas.
Namun, pandangan ini menuai kritik karena memindahkan problem legitimasi dari ranah rakyat ke ranah elit. Jika anggota DPRD yang memilih kepala daerah tidak memiliki kredibilitas tinggi di mata masyarakat, maka legitimasi kepala daerah yang terpilih juga akan dipertanyakan.
Dalam sistem perwakilan yang diusulkan ini berisiko menciptakan oligarki politik, di mana keputusan hanya diambil oleh segelintir orang tanpa melibatkan suara rakyat secara langsung.
Dalam demokrasi, legitimasi tidak hanya bergantung pada prosedur yang formal, tetapi juga pada persepsi masyarakat bahwa pemimpin mereka benar-benar mewakili aspirasi mereka. Jika dalam mekanisme pemilihan melalui DPRD tidak melibatkan rakyat secara langsung, bagaimana kepala daerah dapat dianggap benar-benar merepresentasikan kepentingan publik?
Tanpa keterlibatan aktif masyarakat, proses ini berisiko menjadi alat untuk memperkuat kepentingan kelompok tertentu, terutama jika parpol lebih mengutamakan loyalitas politik daripada kompetensi.
Alhasil, politik uang juga bisa terjadi pada pemilihan tak-langsung. Apalagi bila parpol dan DPRD lebih mendahulukan kepentingan kelompoknya dengan mengedepankan politik transaksional. Ini persoalan yang rumit, karena sudah cukup lama partai-partai politik Indonesia meninggalkan ideologinya. Tanpa ideologi, apa yang mereka pertaruhkan dalam arena pilkada?
Pragmatisme partai politik adalah faktor kunci lain yang menentukan efektivitas sistem perwakilan. Di satu sisi, pragmatisme dapat menghasilkan keputusan yang cepat dan efisien, tetapi di sisi lain, hal ini seringkali mengorbankan nilai-nilai demokrasi, seperti transparansi, inklusivitas, dan keadilan.
Pragmatisme dan Kualitas Kandidat
Dalam sistem perwakilan melalui DPRD, partai politik memiliki kendali penuh dalam menentukan kandidat kepala daerah. Ini membuka peluang bagi partai untuk mengusung kandidat yang lebih kompeten dan berpengalaman.
Namun, di tengah pragmatisme politik yang tinggi, ada kekhawatiran bahwa keputusan partai tidak selalu didasarkan pada kualitas kandidat, melainkan pada loyalitas politik atau potensi keuntungan finansial.
Dalam banyak kasus, pada akhirnya pragmatisme ini bisa menciptakan kepala daerah yang hanya menjadi “boneka” partai, tanpa kebebasan untuk mengambil keputusan yang berpihak pada rakyat. Ketergantungan kepala daerah pada parpol juga berisiko bisa menghilangkan akuntabilitas mereka kepada masyarakat, sehingga melemahkan kualitas demokrasi.
Salah satu alasan utama di balik usulan pemilihan melalui DPRD adalah untuk menekan biaya demokrasi. Pilkada langsung sering kali menelan biaya besar, baik bagi kandidat maupun negara. Sistem perwakilan melalui DPRD dianggap sebagai alternatif yang lebih efisien secara finansial.
Namun, efisiensi ini tidak boleh mengorbankan substansi demokrasi. Jika pemilihan melalui DPRD tersebut hanya menggeser beban biaya dari kandidat ke partai politik, maka sistem ini tidak akan menyelesaikan masalah korupsi politik.
Sebaliknya, hal ini justeru bisa memperburuk keadaan, dengan partai politik menjadi satu-satunya “penentu nasib” kandidat kepala daerah. Sementara rakyat mengetahui bahwa partai politik adalah mata rantai terlemah dalam korupsi politik.
Merosotnya Relasi Sistem Politik dengan Rakyat
Niklas Luhmann memandang sistem politik sebagai sarana untuk mengelola kompleksitas dalam masyarakat melalui komunikasi yang efektif. Pada konteks demokrasi, komunikasi antara rakyat dan pemimpinnya adalah elemen penting untuk menciptakan kepercayaan dan legitimasi. Bagaimana sistem perwakilan melalui DPRD memengaruhi komunikasi ini?
Pemilihan langsung memungkinkan rakyat untuk terlibat secara langsung dalam memilih pemimpin mereka, menciptakan ruang komunikasi yang intens antara kandidat dan pemilih. Dalam sistem perwakilan, hubungan ini cenderung melemah, karena kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada DPRD daripada kepada rakyat.
Jika komunikasi antara rakyat dan kepala daerah terputus, maka proses demokrasi kehilangan esensinya sebagai alat untuk mencerminkan aspirasi masyarakat.
Legitimasi tersebut hanya bisa dipenuhi oleh transparansi dan akuntabilitas. Transparansi dalam pengambilan keputusan adalah elemen kunci untuk menjaga legitimasi dalam sistem politik.
Jika pemilihan melalui DPRD dilakukan tanpa mekanisme transparansi yang memadai, maka publik akan sulit memantau proses tersebut. Hal ini dapat menciptakan kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap institusi politik, yang pada akhirnya merugikan sistem demokrasi secara keseluruhan.
Satu hal lagi, dalam masyarakat yang pluralistik seperti Indonesia, memberikan suara kepada DPRD untuk memilih kepala daerah dapat mempercepat proses pengambilan keputusan dan mengurangi konflik horizontal.
Namun, ini hanya berlaku jika DPRD mampu berfungsi sebagai representasi rakyat yang efektif dan kredibel, sebuah tantangan besar di tengah rendahnya kepercayaan terhadap partai politik saat ini.
Kesimpulan
Gagasan Presiden Prabowo tentang pemilihan kepala daerah melalui DPRD menghadirkan dilema yang kompleks dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Di satu sisi, sistem ini dapat menawarkan efisiensi dan potensi untuk mengurangi biaya politik, namun di sisi lain, ia juga membuka ruang bagi berkurangnya legitimasi dan representasi rakyat.
Jadi, solusi yang ideal tidak hanya terletak pada mekanisme pemilihan, tetapi juga pada bagaimana sistem politik menciptakan komunikasi yang efektif antara rakyat, partai politik, dan pemimpinnya. Untuk itu, beberapa langkah strategis yang dapat dipertimbangkan meliputi:
Memperkuat Legitimasi Partai Politik. Partai politik harus berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi, dengan memprioritaskan transparansi, akuntabilitas, dan representasi yang adil dalam setiap keputusan mereka.
Meningkatkan Kapasitas DPRD. Sebagai institusi yang memegang kendali dalam sistem perwakilan, DPRD perlu dibangun menjadi lembaga yang profesional dan kredibel, dengan memastikan bahwa anggotanya memiliki integritas tinggi dan bertanggung jawab kepada rakyat.
Menciptakan Mekanisme Kontrol Publik. Meski kepala daerah dipilih oleh DPRD, mekanisme untuk melibatkan masyarakat dalam pengawasan dan evaluasi kinerja kepala daerah tetap harus ada, sehingga legitimasi tetap terjaga.
Pada akhirnya, sistem politik apa pun yang dipilih harus mampu menjaga keseimbangan antara efisiensi, legitimasi, dan representasi.
Demokrasi bukan hanya tentang bagaimana pemimpin dipilih, tapi juga tentang bagaimana mereka menjalankan kekuasaan secara transparan, adil, dan bertanggung jawab kepada rakyat. (*)