Perang Baratayudha di Tanah Betawi

Namun, jika Anies dan kubunya berhasil menang, maka itu adalah kemenangan rakyat yang berani menantang kekuasaan besar, seperti layaknya Pandawa yang akhirnya berhasil merebut kembali Hastinapura.

Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

DALAM mitologi Mahabharata, perang Baratayudha mencapai puncaknya di hari ke-17 dan ke-18. Dua hari yang penuh darah dan pengorbanan, di mana para ksatria besar bertarung hingga titik terakhir demi kebenaran atau kekuasaan.

Begitu pula, jika Pilgub Jakarta berlangsung hingga dua putaran, kita akan menyaksikan panggung politik yang tak ubahnya Baratayudha modern – pertarungan antara kekuatan elite dengan idealisme rakyat yang menginginkan perubahan.

Hari ke-17: Jokowi, Prabowo, dan SBY sebagai Kurawa

Hari pertama dari klimaks pertarungan Pilgub Jakarta akan menjadi momen di mana kubu Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang digawangi oleh Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) mengerahkan seluruh kekuatannya. Layaknya Duryodana dan para Kurawa, mereka memanfaatkan segala cara untuk memastikan kemenangan pasangan Ridwan Kamil dan Suswono.

Ridwan Kamil, seperti Karna, adalah sosok yang penuh potensi tapi terikat pada elitisme kekuasaan. Didukung oleh Jokowi sebagai pengatur strategi, Prabowo sebagai panglima, dan SBY sebagai penasihat licin, koalisi ini akan memainkan segala jurus untuk mempertahankan dominasi di Jakarta. Dari penguasaan media, pengerahan aparat, hingga narasi pembangunan yang memukau, mereka akan berusaha menaklukkan rakyat Jakarta dengan kekuatan materi dan birokrasi.

Namun, seperti Karna pada hari ke-17, kubu ini menghadapi dilema moral. Mereka tahu bahwa kekuatan rakyat Jakarta yang dipimpin oleh kubu Anies Baswedan bukan sekadar oposisi politik, tetapi sebuah gerakan untuk melawan oligarki dan hegemoni elit. Inilah perang untuk memenangkan hati rakyat, bukan sekadar kursi kekuasaan.

Hari ke-18: Anies dan PDIP sebagai Pandawa

Pada hari terakhir perang, PDIP dan Anies Baswedan seperti Pandawa, tampil sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap zalim. Anies adalah Arjuna, ksatria yang tenang tetapi tegas, membawa panah keberpihakan pada rakyat kecil dan menentang segala bentuk campur tangan oligarki. Di belakangnya berdiri PDIP, yang dalam konteks ini memainkan peran sebagai Kresna, pembimbing strategis yang memahami dinamika politik hingga ke akar-akarnya.

Putaran kedua adalah momen di mana rakyat Jakarta, ibarat tentara Pandawa yang tersebar, harus bersatu dalam satu tujuan: mengembalikan kekuasaan kepada mereka yang berpihak pada keadilan sosial. Anies dan timnya tidak memiliki sumber daya sebesar lawannya, tetapi mereka memiliki satu kekuatan besar: semangat rakyat yang ingin perubahan.

Narasi yang dibangun oleh kubu Anies akan fokus pada isu anti-oligarki, keberpihakan pada rakyat kecil, dan demokrasi yang bersih. Ini adalah perang di mana kebenaran, meski tampak lemah di hadapan kekuatan besar, tetap memiliki peluang menang jika didukung oleh rakyat yang sadar akan hak-haknya.

Puncak Pertarungan: Menang atau Hancur

Seperti Baratayudha, Pilgub dua putaran ini akan menjadi pertarungan antara dua dunia yang bertolak belakang. Di satu sisi, ada kubu yang mengandalkan kekuatan material, jaringan birokrasi, dan kekuasaan. Di sisi lain, ada rakyat yang merindukan pemimpin yang tulus dan berpihak pada mereka.

Jika kubu Ridwan Kamil – Suswono menang dengan segala kekuatannya, itu akan jadi kemenangan takhta tanpa legitimasi moral, seperti Duryodana yang akhirnya kalah meski sempat mendominasi perang.

Namun, jika Anies dan kubunya berhasil menang, maka itu adalah kemenangan rakyat yang berani menantang kekuasaan besar, seperti layaknya Pandawa yang akhirnya berhasil merebut kembali Hastinapura.

Jakarta akhir pertarungan ini tidak hanya akan mencatat siapa gubernurnya, tetapi juga bagaimana kota ini menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan.

Baratayudha modern ini adalah ujian bagi bangsa: apakah kita lebih memilih kekuasaan besar yang mengandalkan kontrol, atau kebenaran kecil yang menginspirasi perlawanan? Jawabannya ada di tangan rakyat Jakarta sendiri. (*)