Perjuangan Kita
Sehingga, arah pembangunan bangsa kita tetap tidak memakmurkan rakyat, melainkan hanya segelintir elit. Kita harus membangun politik demarkasi, menyatakan tidak terlibat dalam politik rakus, anti demokrasi dan plutokrasi. Untuk itu kita harus di luar kekuasaan.
Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
LIMA belas hari telah berlalu setelah Pilpres, Rabu (14/2/2024). Kekuatan Orde Baru yang diwakili Prabowo Subianto, SBY, Airlangga Hartarto, para konglomerat/oligarki, bersama keluarga Jokowi akan mengendalikan pemerintahan 5 tahun ke depan. Bersama RRC, kelihatannya, mereka akan membangun jalan baru, di mana Indonesia akan ikut membentuk kekuatan global baru.
Kelompok ideologis, yang mempunyai hubungan keberlanjutan dari "founding fathers" yang kalah dalam pilpres, yakni kaum Marhaenisme, kaum sosialisme dan kaum Islamisme tersingkir. Kekuatan ideologis yang berusaha membangun bangsa kita dengan jalan kerakyatan dan demokrasi, kelihatannya, telah gagal mempertahankan cita-cita pendiri bangsa untuk mengutamakan (mainstreaming) nasib rakyat. Kecurangan kekuasaan Jokowi menjadi penyebab tersingkirnya ambisi ideologis, demi memenuhi ambisi keluarga dan kaum oligarki modal.
Tantangan ke depan yang akan kita hadapi adalah sebagai berikut: 1) Pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka bin Joko Widodo akan menjadi kombinasi otoritarian dan totalitarian yang akan lebih ganas dari era sekarang.
2) Penguasaan aset-aset negara seperti jutaan hektare lahan akan menjadi bancakan segelintir penguasa dan oligarki. UU Omnibus Law Ciptaker yang memberikan kemungkinan untuk presiden, para menteri dan oligarki menguasai bank tanah, menghapuskan cita-cita pendiri bangsa, seperti dalam UU Pokok Agraria, di mana penguasaan aset-aset negara, khususnya tanah, harus bersifat sosialistik. Contohnya, dalam UUPA, koperasi rakyat boleh memiliki 500.000 hektar lahan, tapi presiden atau menteri dilarang.
3) Peranan dan partisipasi rakyat tetap kecil, hanya sebatas penerima bantuan sosial, termasuk bantuan pangan dan susu. Sebab, tanpa aset produktif dan modal yang cukup – karena dikuasai para pejabat dan oligarki – rakyat tidak mungkin berkembang sebagai usahawan.
Tiga tantangan di atas sulit untuk dihindari. Karena kekuatan rakyat akan dipinggirkan, baik dengan cara halus maupun model Vladimir Putin, membunuh tokoh-tokoh oposisinya. Bercermin pada kasus Rusia, misalnya, elit-elit nasional dalam puluhan tahun mengorganisir kekuasaan dan kekayaan. Bahkan, mereka membuat organisasi tentara bayaran, Wagner, yang bersifat lintas negara.
Perjuangan Kita
Melihat tantangan ke depan haruslah dengan jernih. Kita boleh marah dengan situasi kecurangan dan perampasan demokrasi yang sedang terjadi. Namun, kemarahan dapat membuat kaum perjuangan tergelincir dalam arah yang salah.
Saat ini Prabowo – Gibran bin Jokowi tentunya sedang kuat-kuatnya. Konsolidasi kekuatan mereka pastinya sangat dahsyat. Sebab, mereka dapat menawarkan apapun dan pada siapapun yang mau bersekutu. Sebaliknya, kaum perjuangan, baik yang ada di kelompok paslon 01 maupun 03, telah kehilangan logistik, dan hanya menyisakan semangat perjuangan. Melihat kasus yang mirip pada 2019, kaum perjuangan yang melawan, dibantai habis oleh kekuasaan yang ada. Banyak korban.
Untuk itu, kelompok-kelompok ideologis, yang bekerja secara terus-menerus untuk kepentingan rakyat, memikirkan strategi perjuangan secara tepat. Langkah pertama adalah melakukan politik demarkasi dengan menyatakan kelompok perjuangan di luar kekuasaan yang ada. Sebab, politik abu-abu, selalu melahirkan masyarakat yang abu-abu.
Jika kita mengakui kekuasaan hasil "rampokan", bukan hasil demokrasi murni, maka kita tidak mengajarkan kepada generasi muda tentang prinsip-prinsip masyarakat beradab.
Masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (High Level Trust Society), meminjam istilah Fukuyama, merupakan masyarakat yang dibangun berdasarkan saling percaya (trust). Para kaum pejuang demokrasi dan kerakyatan harus mampu secara terus-menerus menjaga prinsip-prinsip ini. Jadi, politik kaum pejuang harus istiqomah pada nilai-nilai, bukan pada pragmatisme.
Jadi, setelah politik demokrasi, pemimpin kaum perjuangan harus menjadi "true leaders", menjadi panutan. Mungkin akan ada benturan dalam ruang publik terhadap penguasa, itu resiko yang harus diambil.
Selanjutnya, sebagai kekuatan di luar kekuasaan, kaum pejuang dan oposisi harus membangun masyarakatnya sendiri. Berbagai kemudahan teknologi saat ini, khususnya IT, harus dimanfaatkan untuk membentuk society dan civil society yang kuat. Baik secara nasional maupun internasional. Dengan demikian, ketergantungan kaum pejuang kepada negara menjadi rendah.
Penutup
Perjuangan panjang mewujudkan cita-cita proklamator masih membutuhkan waktu. Kekuasaan yang ada saat ini dan nantinya kelihatannya dikendalikan orang-orang ambisius kekuasaan dan kaum oligarki.
Sehingga, arah pembangunan bangsa kita tetap tidak memakmurkan rakyat, melainkan hanya segelintir elit. Kita harus membangun politik demarkasi, menyatakan tidak terlibat dalam politik rakus, anti demokrasi dan plutokrasi. Untuk itu kita harus di luar kekuasaan.
Kita harus terus menerus membangun kekuatan rakyat dan "civil society", sehingga rakyat mampu menemukan jalannya untuk bangkit. Keuntungan kota saat ini adalah adanya teknologi informasi yang membantu.
Di tangan rakyat dan Janji Allah kita harus tetap berharap membangun Indonesia sesuai cita-cita pendiri bangsa. (*)