Pilgub Jakarta: Menghentikan Daya Rusak Jokowi dan Panggilan Sejarah Menyelamatkan Demokrasi
Pilihan menjatuhkan pada Pram dan Rano, lebih pada bahwa panglima perlawanan ini dipercayakan kepada PDIP, Megawati dan Hasto, supaya merekalah yang mendirigenisasi akselarasi perlawanan menghentikan daya rusak Jokowi, yang pernah menjadi kader dan telah mengkhianatinya.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
SEPULUH tahun kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan jejak kelam dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Demokrasi yang seharusnya menjadi tiang penopang bangsa justru runtuh di tangan penguasa yang memanfaatkan hukum sebagai senjata untuk membungkam, menyandera, dan mengkriminalisasi lawan politik.
Dari Anies Baswedan, Tom Lembong, Said Didu, hingga Hasto Kristiyanto, semua menjadi korban strategi yang mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok, dengan mengorbankan nilai-nilai keadilan dan hukum.
Jokowi tidak segan-segan menabrak konstitusi untuk mempertahankan cengkeraman kekuasaan. Upayanya melanggengkan kekuasaan tiga periode, manipulasi hukum demi mengamankan jalan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, serta cawe-cawe dalam Pilpres dan Pilkada (Pilgub), menjadi bukti nyata kerusakan ini. Pilgub Jakarta kini menjadi puncak pertempuran atas daya rusak Jokowi terhadap demokrasi.
Pilgub Jakarta yang seharusnya menjadi ajang demokrasi bersih justru berubah menjadi panggung kekacauan. Dukungan terang-terangan Jokowi terhadap calon pilihannya, yang dilengkapi dengan mobilisasi kelompok habaib dan ulama, menunjukkan bahwa ia siap mengorbankan persatuan bangsa demi memenangkan kepentingan pribadi.
Bahkan, isu SARA kembali dihembuskan untuk memecah-belah pendukung Anies Baswedan dan melemahkan oposisi.
Namun, keberanian Hasto Kristiyanto menjadi sinyal perubahan. Dalam langkah yang penuh risiko, ia membongkar fakta bahwa dirinya dan Anies Baswedan menjadi target kriminalisasi atas perintah Jokowi. Hasto dengan tegas menyatakan bahwa Jokowi telah melampaui batas, menjadikan hukum sebagai alat untuk menundukkan lawan, termasuk mereka yang pernah menjadi sekutunya.
Pernyataan ini bukan hanya sebuah pengakuan, tapi deklarasi pertempuran terbuka antara Hasto, Megawati, dan PDIP melawan Jokowi, sosok yang kini dianggap mengkhianati amanat partai dan rakyat. Langkah Hasto ini memecahkan kebisuan yang selama ini menyelimuti hubungan retak antara Jokowi dan partai yang pernah membesarkannya.
Bangkitnya Perlawanan
Keberanian Hasto menjadi pemantik semangat perjuangan di internal PDIP, yang didukung oleh oposisi dan elemen masyarakat sipil. Megawati, simbol keteguhan prinsip, kini berada di garis depan, melawan cawe-cawe yang mencemari proses demokrasi.
Di sisi lain, tokoh-tokoh seperti Rocky Gerung turun gunung, menyadari bahwa melawan daya rusak ini adalah panggilan sejarah untuk mempertahankan martabat bangsa.
Jakarta kini menjadi medan pertempuran yang panas, di mana cawe-cawe Jokowi telah menyeret Presiden Prabowo Subianto ke dalam arus pelanggaran demokrasi. Prabowo, yang seharusnya menjaga kehormatan kepemimpinan, justru terjebak dalam permainan kotor Jokowi.
Ketegangan pun merembet hingga Jawa Tengah, dengan strategi serupa yang digunakan untuk memecah belah dan menguasai.
Panggilan Sejarah
Pilgub Jakarta bukan lagi sekadar kontestasi politik lokal; ini adalah simbol perjuangan untuk mempertahankan demokrasi. Perlawanan terhadap daya rusak Jokowi adalah misi besar yang menuntut keberanian, solidaritas, dan tekad untuk melindungi masa depan bangsa.
Dukungan Anies kepada pasangan Pramono Anung dan Rano Karno, bukan persoalan pragmatis, tapi lebih pada komitmen agenda-agenda keadilan sosial yang akan dituntaskan oleh pasangan ini. Selain itu juga banyak para tokoh pro demokrasi, seperti Rocky, dan tokoh tokoh lain, terpanggil juga untuk menyelamatkan demokrasi.
Pilihan menjatuhkan pada Pram dan Rano, lebih pada bahwa panglima perlawanan ini dipercayakan kepada PDIP, Megawati dan Hasto, supaya merekalah yang mendirigenisasi akselarasi perlawanan menghentikan daya rusak Jokowi, yang pernah menjadi kader dan telah mengkhianatinya.
Seperti pesan Bung Karno yang begitu relevan dengan kondisi ini: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri".
Ini adalah peringatan bagi kita semua bahwa ancaman terhadap bangsa tidak selalu datang dari luar, tapi seringkali dari dalam, dari mereka yang seharusnya menjaga amanat rakyat. Bung Karno juga pernah berkata: "Seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia".
Dengan semangat ini, perjuangan menghentikan daya rusak Jokowi bukan hanya untuk melawan ambisi segelintir penguasa, tetapi juga untuk memastikan bahwa demokrasi masih tetap hidup dan Indonesia tetap menjadi negara yang merdeka, berdaulat, dan berkeadilan.
Kini, saatnya seluruh rakyat Indonesia bangkit, menyatukan tekad, dan menjawab suatu panggilan sejarah. Karena masa depan demokrasi, persatuan bangsa, dan martabat negeri ini ada di tangan kita. (*)