Pilgub Jakarta, Pembusukan Demokrasi dan Bumbung Kosong

Mari bergerak bersama, melawan ketidakadilan, dan menunjukkan bahwa rakyat masih memiliki kekuatan untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Perlawanan kita hari ini adalah harapan bagi demokrasi esok hari.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya, Dewan Penasehat Perhimpunan Bumi Putera Indonesia, Jawa Timur

BOLEH jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (QS Al-Baqarah: 216).

Saya adalah rakyat (jelata) Jakarta. Saya hanyalah seorang yang percaya pada kekuatan demokrasi, seseorang yang pernah berharap bahwa suara rakyat bisa mengubah masa depan. Namun, hari ini, saya merasakan perih yang tak pernah ku duga sebelumnya – perih yang muncul dari ketidakadilan yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya melindungi demokrasi.

Ketika saya mendengar kabar bahwa Anies Baswedan gagal dalam pencalonan Pilgub Jakarta, hati saya seperti tertikam. Bukan karena saya pengagum Anies semata, tetapi karena ini adalah bukti nyata bahwa demokrasi yang kita junjung tinggi telah dirusak oleh mereka yang memiliki kuasa.

Bahwa di balik semua retorika tentang keadilan dan kesetaraan, ternyata ada tangan-tangan kotor yang bermain, memanipulasi, dan membusukkan sistem yang seharusnya menjadi milik kita semua.

Saya merasa dikhianati. Suara yang saya berikan dengan penuh harapan, kini hanya terasa seperti angin lalu, tak ada arti di hadapan kekuatan uang dan kepentingan elit. Betapa menyesakkan sekali mengetahui bahwa demokrasi yang saya yakini telah diacak-acak, tak lagi murni, tak lagi bersih.

Bagaimana bisa saya mempercayai sistem yang telah berubah menjadi ladang permainan bagi mereka yang tamak? Suara rakyat adalah suara Tuhan yang selama ini digaungkan, kini tak lebih sebuah manipulasi untuk menipu saya dan kamu, rakyat Jakarta.

Elit politik menjadi iblis demokrasi yang merampas dan memanipulasi suara rakyat. Partai yang seharusnya menangkap aspirasi rakyat, kini mulai angkuh dan begitu sombongnya memaksakan kepentingannya untuk disetujui rakyat. Masihkah mereka bisa dipercaya? Apa yang seharusnya dilakukan oleh rakyat untuk menghukum mereka?

Namun, di balik semua kekecewaan ini, ada sesuatu yang bergejolak dalam diri saya – keinginan untuk melawan, untuk tidak diam saja. Saya tahu, saya bukanlah satu-satunya yang merasakan sakit ini. Di luar sana, banyak lagi yang merasakan hal yang sama, yang juga merasa suaranya diabaikan, haknya dicuri. Kami adalah korban dari pembusukan politik ini, tapi kami tak akan tinggal diam.

Saya ingin berteriak, ingin dunia tahu bahwa kami tidak akan membiarkan ini terus terjadi. Bumbung kosong adalah simbol perlawanan kami, sebuah tanda bahwa kami tidak akan lagi tunduk pada satu sistem yang korup.

Ini adalah cara saya, cara kami, menunjukkan bahwa kami masih memiliki kekuatan, bahwa kami tidak akan menyerah pada ketidakadilan ini.

Saya mungkin kecil, mungkin tak berarti di mata mereka yang berkuasa, tetapi saya adalah bagian dari gelombang besar yang akan mengubah segalanya. Kami akan berdiri, kami akan melawan, dan kami akan merebut kembali demokrasi yang telah dirampas dari kami.

Dan pada hari itu, ketika keadilan akhirnya menang, aku akan tahu bahwa perjuangan ini tidak sia-sia.

Gagalnya Anies Baswedan dalam pencalonan Pilgub Jakarta bukan hanya sekedar kisah kekalahan politik biasa.

Ini merupakan cerminan nyata dari bagaimana demokrasi kita sedang terancam oleh praktik-praktik busuk yang dilakukan oleh elit politik dan partai politik yang seharusnya menjadi penjaga aspirasi rakyat.

Demokrasi, yang seharusnya menjadi wadah bagi suara rakyat, justru dicemari oleh kepentingan sempit dan manipulasi yang mencederai keadilan. Rakyat disodori pemimpin yang tidak berkualitas, pemimpin yang bermasalah hanya demi memenuhi hasrat kotor elit yang haus kekuasaan.

Namun, dalam setiap kegelapan, selalu ada harapan. Kegagalan Anies bukanlah akhir, melainkan sebuah panggilan bagi kita semua untuk melakukan koreksi.

Rakyat memiliki kekuatan untuk merubah keadaan, dan salah satu bentuk perlawanan yang paling damai namun kuat adalah dengan mendukung "bumbung kosong". Ini bukan sekedar gerakan tanpa arah, tetapi simbol perlawanan terhadap sistem yang sudah terlalu lama dirusak oleh segelintir elit.

Paska penutupan pendaftaran pilgub Jakartan 2024 itu, dan gagalnya Anies diusung oleh parpol, padahal potensi Anies memenangkan Jakarta sangat besar, menunjukkan adanya transaksional politik yang kotor kepentingan elit partai dan mengabaikan suara rakyat.

Konon di panggung kegagalan Anies terdengar suara-suara bahwa adanya pihak-pihak yang tidak menghendaki Anies mencoba menekan elit politik bermasalah dengan ancaman dan instrumen hukum bila meneruskan mencalonkan.

Elit parpol bermasalah mengambil jalan aman dengan mengabaikan aspirasi rakyat mayoritas yang mendukung Anies. Rakyat pun mulai melawan. Seruan golput dan menangkan bumbung kosong hari-hari ini banyak berseliweran di media sosial.

Bumbung kosong adalah suara rakyat yang tegas menolak tunduk pada kekuasaan yang tidak lagi merepresentasikan kehendak mereka. Ini adalah seruan bagi demokrasi yang lebih bersih, jujur, dan adil. Dengan mendukung bumbung kosong, kita tidak hanya menunjukkan ketidakpuasan, tapi juga membangun kesadaran bahwa demokrasi harus dikembalikan kepada pemilik sejatinya: rakyat.

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga demokrasi. Jangan biarkan pembusukan ini terus berlanjut.

Mari bergerak bersama, melawan ketidakadilan, dan menunjukkan bahwa rakyat masih memiliki kekuatan untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Perlawanan kita hari ini adalah harapan bagi demokrasi esok hari.

Saatnya rakyat melawan kuasa politik jahat dan kotor, yang berupaya membusukkan demokrasi dan memanipulasi suara rakyat.

Perlawanan ini menegaskan titah Tuhan yang menyatakan bahwa kalian adalah sebaik-baik umat diantara banyak manusia, bila kalian mampu menebarkan kebaikan dan mencegah kejahatan dan kemungkaran.

Selamatkan demokrasi, saatnya rakyat menolak tunduk dan bangkit melawan! (*)