Pilpres 2024 Membawa Bencana
Situasi ini semakin rumit dengan adanya dugaan politisasi bantuan sosial dan keberpihakan di kalangan aparatur sipil negara, termasuk tindakan Presiden Jokowi yang dituduh mendukung calon tertentu.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
MENGAJUKAN permohonan dan memproses Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) –khususnya sengketa Pilpes 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK) selalu kandas. Bahkan kesan politiknya justru hanya seperti melegalisasi hasil sengketanya menjadi legal.
"Selalu terjadi perselisihan antara pihak yang bersengketa bahwa Pilpres adalah hajatan politik, sementara PHPU di MK adalah hajatan hukum, maka absurd bagi MK untuk memasukkan pertimbangan politik dalam menilai kecurangan pilpres 2024."
"Tugas dan fungsi pokok MK adalah menguji UU terhadap UUD. Sedangkan sengketa Pilpres ada pada penyelenggara pemilu: Bawaslu, KPU, dan DKPP. Sengketa Pilpres di MK selalu kandas dan sangat mudah bagi para hakim MK dan penyelenggara pemilu membersihkan dirinya dari berbagai tudingan. Penyelesaian konflik politik dan konsensus politik tersebut melalui jalur hukum atau an sich pengadilan merupakan cara terburuk." (DR. Mulyadi – Dosen UI)
Sangat mudah terbaca tipuan Jokowi yang menggiring pihak yang berselisih agar dibawa ke MK. Saat bersamaan Joko Widodo memainkan hakim MK berada dalam tekanan politiknya agar hasil keputusan KPU tetap jalan, tolak pilpres diulang atau dibatalkan. Apalagi Cawapresnya adalah anak Jokowi sendiri.
Sekalipun kecurangan dilakukan dengan terang-terangan telanjang dan brital, dipastikan Jokowi sekuat tenaga akan mengendalikan MK untuk meloloskan keputusan KPU angka kemenangan untuk Paslon 02.
Dampak ketidak berdayakan MK mengadili sengketa Pilpres 2024 dengan objektif dan adil akan menciptakan kekacauan, bencana dan dendam politik berkepanjangan.
Tidak mustahil kebuntuan mencari keadilan akan lahirnya kekuatan rakyat dengan caranya sendiri akan memakzulkan Presiden dan gerakan perlawanan anti politik dinasti yang dipertontonkan tanpa malu, etika dan moral akan menemukan momentum politiknya.
Dalam waktu tertentu akan terkonsolidasinya kelompok pemakzulan, dengan target semua penguasa non-demokratis: otoriter dan despotis harus jatuh melalui people power. Dan juga, semakin membesarkan pembangkangan politik.
Eskalasi politik makin membesar, bergelombang demonstrasi makin masif seraya menyuarakan “apa gunanya memberikan suara atau partisipasi politik dalam Pilpres jika sistem dan prosesnya dengan brutal justru penuh rekayasa kecurangan”.
Kita berada dalam periode demokrasi terburuk, sepanjang terjadinya pemilu dan Pilpres selama ini. Resesi demokrasi diperparah sejalan dengan rekayasa politik dinasti yang ugal ugalan. Kecurangan pemilu saat ini sedang dipertontonkan di pengadilan Mahkamah Konstitusi.
Amanah konstitusi yang menghendaki Pilres berjalan jujur dan adil menghilang dengan munculnya rekayasa kemenangan Paslon 02 dengan cara-cara yang terang-terangan. Rekayasa Pemilu yang sistematis dari hulu ke hilir. "Parahnya angka kemenangannya sebelum pelaksanaan pemilu sudah diketahui."
Ditemukan data anomali pada proses pemungutan suara pilpres 2024 yang dilakukan lewat sistem Sirekap. Penggelembungan data suara terjadi pada Paslon 02. Sementara peran Bawaslu dalam koptasi Jokowi tampak tidak berdaya untuk memproses banyaknya pengaduannya kecurangan Pilpres.
Awal kekacauan dipicu oleh peristiwa kontroversial, termasuk intervensi Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden yang memicu perdebatan luas.
Situasi ini semakin rumit dengan adanya dugaan politisasi bantuan sosial dan keberpihakan di kalangan aparatur sipil negara, termasuk tindakan Presiden Jokowi yang dituduh mendukung calon tertentu.
Praktik beli suara hingga potensi manipulasi sistem elektronik, risiko pelanggaran sangatlah luas. Praktik-praktik ini tidak hanya merusak keadilan proses pemilu, tetapi juga runtuhnya kepercayaan publik terhadap hasil kemenangan Pilpres 2024 dengan cara curang. (*)