Politik Sandera Era Prabowo
Kalau persekusi, pentungan tongkat, terhadap para menteri dan pejabat korup tidak juga terjadi, maka boleh jadi asumsi bahwa Prabowo tersandera, dan "tak berdaya" sedang menikmati wortel Jokowi, cukup valid.
Oleh: Lukas Luwarso, Jurnalis Senior dan Kolumnis
MENJELANG akhir jabatannya, Joko Widodo sukses menerapkan politik carrot and stick. Metafor "wortel dan tongkat" sebagai konsep politik realis-pragmatis, memakai hadiah dan hukuman untuk politik penundukan. Sarana untuk menyandera kawan dan lawan, dalam permainan kotor politik kekuasaan.
Contoh aktual, yaitu Airlangga Hatarto, Zulkifli Hasan, Erick Thohir, Bahlil Lahadalia, dan politikus semacam mereka tersebut, mendapatkan wortel, sementara itu Tom Lembong merasakan pukulan tongkat kekuasaan. Para pengerat wortel hidup nikmat dalam sandera politik. Mereka mengalami Stockholm Syndrom.
Stockholm Syndrom merujuk pada kisah nyata, kasus perampokan bank dan penyanderaan di kota Stockholm pada 1973. Para tersandera justru bersimpati dan mendukung perampok karena punya "itikad baik" pada mereka yang kooperatif.
Jokowi menyandera politikus melalui "politik sprindik". Politikus bermasalah, alias korup, di lingkaran Koalisi Indonesia Maju (KIM), mendapat wortel, hadiah "kebaikan" Jokowi. Mereka tidak dipersekusi, tapi justru mendapat posisi menteri. Sejauh mereka bersedia tunduk-tersandera, terus mendukung dan mengikuti skenario politik the power that be. Beda dengan nasib Tom Lembong, bekas menteri yang dipentung tongkat, karena berani beroposisi.
Dengan politik sprindik Jokowi sukses men-stockholm syndrom-kan para politikus bermasalah, dan mengelevasi posisinya menjadi figur yang dipatuhi, sekaligus "disukai". Kaum tersandera itu terus dapat mengunyah wortel, dan menjilat Jokowi, terus terpakai sebagai menteri, berlanjut di Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto.
Politik sandera-sprindik ala Jokowi bukan hal baru. Praktik ini "lazim" dipakai oleh politikus despotik untuk mendapat atau mempertahankan kekuasaan. Machiavelli mendeskripsikannya dalam buku "Sang Penguasa" (Il Principe,1532). Bagaimana berkuasa tanpa mengindahkan etika, memakai tipu muslihat, ancaman, paksaan, dan manipulasi. Politik Machiavellis itu bahkan pernah terjadi di negeri kampiun demokrasi, Amerika Serikat, pada kurun 1924-1972.
Direktur FBI, J. Edgar Hoover, bisa bertahan selama 48 tahun sebagai "penguasa" dunia intelijen di Amerika Serikat dengan memakai metode retro-sprindik (ala Jokowi kini). Menggunakan kekuasaan lembaga intelijen dan kepolisian untuk menyandera politikus.
Hoover mengorek-orek informasi privasi, memata-matai, mencuri, menyadap, menyusup dan juga mengintimidasi secara illegal. Ia memakai informasi skandal memalukan untuk menyandera politikus Amerika.
Cara-cara licik itu ia pakai untuk mempertahankan jabatan, selain untuk menjalankan agenda politik konservatifnya. Ia sukses menggunakan informasi rahasia untuk "menundukkan" delapan presiden Amerika, dari Calivin Coolidge (1924), Herbert Hoover, Franklin Roosevelt, Harry Truman, Dwight Eisenhower, John Kennedy, Lyndon Johnson, hingga Richard Nixon (1972).
Selain urusan skandal seks (ingat perselingkuhan Presiden Kennedy dan Marilyn Monroe?), Hoover memakai isu korupsi, manipulasi, komunisme-McCarthyism, rasialisme, dan keamanan nasional, sebagai pembenaran aksi-aksi sanderanya. Ia memakai segala cara, memanipulasi Informasi dan menggalang opini publik untuk memperkuat agendanya.
Ia juga ditakuti oleh anggota kongres, senator, termasuk presiden AS. Delapan presiden tidak berani memecatnya karena berisiko akan diungkap rahasianya. Kekuasaannya, selama 48 tahun sebagai direktur FBI, baru berakhir saat kematiannya,
Jokowi beberapa tahun menjelang akhir kekuasaannya memakai metode J. Edgar Hoover untuk konsolidasi membangun kekuatan politik. Dengan metode ini, sebagai politikus yang tak berpartai, ia ingin melanjutkan kekuasaan.
Ia telah sukses membawa anak, menantu, kerabat, dan kroninya menduduki posisi penting, serta memantabkan posisinya sebagai "king maker". Jokowi sukses membawa Prabowo, bersama Gibran Rakabuming Raka, putra sulungnya, menduduki tahta kekuasaan.
Tapi, apakah metode politik sandera ala Hooverian Jokowi bakal efektif ketika ia tidak lagi berkuasa secara formal? Apakah Jokowi bisa menggunakan wakil presiden Gibran – dan 19 menterinya atau wakil menteri – sebagai proxy untuk melanjutkan ambisi politiknya, dan menjadikan (pemerintahan) Presiden Prabowo sebagai sandera?
Dari susunan personel kabinet yang kental "beraroma Jokowi" kuat terkesan Prabowo sedang tersandera secara politik. Sejumlah policy awal juga menunjukkan ada cawe-cawe Jokowi. Juga, termasuk, mendadak menjadikan Tom Lembong, sebagai tersangka dan menjebloskannya ke penjara.
Pertanyaan krusial, apakah Prabowo sedang tersandera, menderita gejala Stockholm Syndrom, akan terjawab dalam beberapa minggu ke depan. Misalnya, apakah ia konsisten untuk berani menjebloskan (men-Tom Lembong-kan) para menteri perdagangan yang ikut mengimpor manisnya gula? Termasuk "mengejar sampai ke Antartika" kasus-kasus korupsi yang membelit sejumlah menteri pengunyah wortel yang proxy-Jokowi?
Kalau persekusi, pentungan tongkat, terhadap para menteri dan pejabat korup tidak juga terjadi, maka boleh jadi asumsi bahwa Prabowo tersandera, dan "tak berdaya" sedang menikmati wortel Jokowi, cukup valid.
Apakah Prabowo sedang tersandera, karena gejala Stockholm Syndrom atau terancam metode Edgar Hoover (akan diungkap rahasia skandalnya)? Cepat atau lambat bakal bisa diketahui.
Apapun faktanya, tidak semustinya Indonesia dikelola oleh pemerintahan yang berada di bawah tekanan atau tersandera. Prabowo tidak ada pilihan lain, selain harus melawan. (*)