Populisme Jokowi dan Runtuhnya Demokrasi

Lazimnya, politikus populis cuma punya power saat masih berkuasa. Propaganda dan perintahnya hanya ekfektif saat berkuasa. Kita lihat dan tunggu saja, apakah di awal era pemerintahan Prabowo Subianto saat ini Jokowi memang secara real masih yang berkuasa.

Oleh: Lukas Luwarso, Jurnalis Senior dan Kolumnis

DEMOKRASI runtuh bukan karena munculnya orang kuat dan kharismatik, melainkan karena keroposnya struktur etika-masyarakat, spesifik aparat pemerintahan, yang menopangnya.

Miskonsepsi terbesar demokrasi adalah menyamakannya dengan terselenggaranya pemilu. Dalam budaya politik tanpa etika, etik-ndasmu, demokrasi runtuh justru melalui pemilu. Demokrasi juga bisa runtuh di tangan penguasa psikopat atau plonga-plongo tapi gila kuasa. Itu pelajaran sejarah dari pengalaman Jerman saat munculnya Adolf Hitler, dan Indonesia di era Joko Widodo.

Ironi terbesar dari Hitler dan Jokowi adalah keduanya naik kekuasaan melalui jalan demokrasi (pemilu), namun kemudian justru berupaya membunuh demokrasi yang memberinya kekuasaan. Hitler menggunakan Fasisme-Naziisme, Jokowi memakai Populisme. Dua ideologi ini punya satu kemiripan, dalam hal pemujaan berlebihan pada figur politikus.

Kemiripan lainnya adalah anti-elitisme dan anti-expertisme. Elitis dan ekspertis dianggap sebagai penyebab utama susahnya rakyat. Fasisme, menggusur elit tradisional (bangsawan, cendekiawan) menggantinya dengan elit baru aparatus kekuasaan. Populisme membangun polarisasi "kami vs mereka", kami adalah rakyat sejati dan mereka adalah elit yang harus disingkirkan atau dipersekusi.

Fasisme dan populisme menggunakan retorika atau slogan emosional untuk memobilisasi massa. Menggunakan propaganda untuk memengaruhi opini publik. Lebih cenderung meremehkan atau melemahkan lembaga demokrasi, dan dengan alasan dikuasai kelompok elit yang tidak mewakili "rakyat".

Fasisme secara terbuka menolak demokrasi dengan menerapkan sistem otoriter. Sedangkan populisme menunggangi demokrasi dengan memanipulasi aturan dan sistem.

Fasisme sudah hampir punah sebagai ideologi, namun populisme menunjukkan kecenderungan menguat di sejumlah negara. Menguatnya populisme didukung oleh munculnya media sosial, sebagai medium kanal untuk perang informasi dan opini.

Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika adalah contoh kemenangan populisme di Amerika. Orang menaruh kepercayaan pada politikus lancung, seperti Trump (AS), Viktor Orban (Hungaria), Bolsonaro (Brasil), atau Jokowi (Indonesia), karena memakai bahasa simplistik dalam menyuarakan "aspirasi". Mereka disukai pendukung fanatiknya karena seolah-olah “merakyat”.

Populisme memandang informasi sebagai senjata untuk perang narasi, buzzer bayaran adalah pasukan garda depan. Penganut populisme menganggap tidak ada realitas atau kebenaran objektif menyangkut prinsip, hukum, etika, dan norma dalam penyelenggaraan negara.

Mereka menganggap kebenaran bersifat kabur. Kekuasaan adalah satu-satunya realitas, sehingga semua kebijakan sosial diambil untuk kepentingan kekuasaan. Contoh aktualnya adalah memakai program Bansos untuk kepentingan politik kekuasaan.

Paradoks populisme adalah dimulai dengan propaganda pro-rakyat ("Jokowi adalah kta"), namun saat berkuasa, perilakunya menjadi "kekuasaan adalah kami". You're either with me or against me. Frasa yang sengaja dipakai untuk menciptakan polarisasi dan sikap permusuhan antar sesama warga.

Jokowi adalah politikus populis tanpa partai, ia sukses menjadikan lembaga kepolisian menjadi semacam partainya (populer dengan julukan "partai coklat"). Ia tidak punya nyali untuk bersikap otoriter, layaknya seorang fasis.

Ia cukup memanipulasi aparat kepolisian, dan aparat hukum lainnya untuk melakukan aksi-aksi pseudo-Gestapo, dengan menekan, menyandera, dan mengintimidasi lawan dan kawan politik.

Hari-hari ini viral di media sosial video sosok si populis, Jokowi, "bekerja keras" berkampanye untuk memenangkan orang-orangnya pada kompetisi Pilkada 2024.

Ia memakai istilah "titip", untuk mempromosikan calon-calon kepala daerah yang ia dukung agar menang dalam Pilkada serentak, 27 November esok. Titip pada siapa? Tentu pada "partai coklat", aparat, dan birokrat yang ikut mengawal dan mengamankan pelaksanaan Pilkada 2024. Ia ingin mengulang "sukses" memenangi Pilpres 2024.

Lazimnya, politikus populis cuma punya power saat masih berkuasa. Propaganda dan perintahnya hanya ekfektif saat berkuasa. Kita lihat dan tunggu saja, apakah di awal era pemerintahan Prabowo Subianto saat ini Jokowi memang secara real masih yang berkuasa.

Ataukah cuma seorang pemain sirkus politik populis yang cari perhatian, merasa masih berkuasa, dan mampu meruntuhkan demokrasi Indonesia. (*)