Reformasi Jilid Dua Sedang Berproses

Kondisi DPR kini memang berada di luar ekspektasi siapapun. Sama dengan putusan MK yang tanpa ekspektasi siapapun meletakkan kembali rel demokrasi pada tempatnya. Semuanya adalah kehendak Allah SWT.

Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif KAMI (Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia)

RAPAT Paripurna DPR yang berencana mengakali putusan MK yang mengubah syarat-syarat pencalonan kepala daerah mendapatkan penolakan yang keras, tegas, dan menyeluruh dari masyarakat. Bentrokan kekerasan terjadi di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Penolakan tersebut menyebabkan rapat paripurna DPR gagal mencapai kuorum. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa tidak ada rapat paripurna lagi sampai dengan tanggal 27 Agustus 2024, saat pendaftaran calon kepala daerah dimulai.

Dengan begitu, KPU akan menjalankan pemilu sesuai dengan norma baru yang ditetapkan oleh Putusan MK Nomor 60 dan 70 tahun 2024.

Apakah pembatalan itu akan meredakan aksi protes rakyat? Jawaban atas pertanyaan, tergantung kepada penilaian publik atas sistem politik kita. Bila publik menganggap pembangkangan DPR atas putusan MK sebagai peristiwa politik random, aksi protes akan berhenti.

Namun, bila publik melihat peristiwa tersebut sebagai peristiwa sistematik maka aksi protes publik akan berlanjut. Tampaknya kemungkinan terakhir inilah yang akan terjadi.

Suatu perilaku politik dikatakan sistematik manakala perilaku itu bertali-temali dengan struktur di dalam sistem. Rapat paripurna yang diprotes itu adalah reaksi logis sistem politik berlaku atas putusan MK yang mengubah sebagian aturan yang memandu perilakunya.

Dengan kata lain pembangkangan DPR kepada putusan MK bisa dianggap sebagai perilaku logis dari sistem yang tujuannya terganggu. Artinya, bentrokan Kamis 22/8/2024 antara rakyat melawan sistem politik berlaku (DPR dan Presiden) terjadi karena tujuan DPR/Presiden bertentangan dengan tujuan publik.

Barriers to Entry (Pintu Penghalang)

Problema sistematik yang menjadi soroton kemarahan publik adalah eksklusivitas politik yang akan dijalankan oleh elit politik nasional. Kelompok elit itu ditengarai meletakkan barriers to entry yang sangat tinggi agar tokoh-tokoh yang dipersepsikan sebagai lawan tidak bisa muncul ke permukaan. Salah satu bentuk barriers to entry itu adalah threshold atau batas minimal dukungan untuk menjadi calon kepala daerah.

Menurut Pasal 40 UU Nomor10/2016 tentang Pilkada syarat dukungan minimal adalah 20% jumlah kursi DPRD atau 25% perolehan suara. Syarat ini adalah sebentuk barriers to entry yang jarang sekali bisa dipenuhi oleh satu partai, oleh karena itu mereka harus berkoalisi.

Namun, membangun koalisi di jagad politik Indonesia bukanlah hal yang mudah. Apalagi pada era moderen sekarang ini politik bukan lagi ajang pengabdian, namun ajang untuk memperoleh cuan (rejeki).

Koalisi yang diharapkan adalah koalisi dengan partai penguasa. Maka berbondong-bondong partai politik menawarkan bergabung dengan penguasa.

Koalisi pemerintah dengan sendirinya menggembung menjadi 12 partai. Koalisi raksasa ini praktis hanya menyisakan partai PDIP sebagai partai yang tidak berada di dalam pemerintahan. Dengan sendirinya PDIP kekurangan suara untuk mengajukan calonnya sendiri.

Di luar itu, Anies Baswedan yang dikenal sebagai mantan gubernur berprestasi, gagal maju dalam Pilgub Jakarta 2024 karena tidak ada lagi partai tersedia untuk mencalonkan dirinya.

Alhasil, aturan threshold dan koalisi dengan cerdik telah dimanfaatkan untuk membangun pintu penghalang bagi calon pemimpin yang dipersepsikan sebagai lawan penguasa. Jagad politik Indonesia dengan sendirinya menjadi sangat eksklusif, hanya orang-orang yang disukai oleh penguasa boleh menjadi pemimpin.

Eksklusivitas politik ini tentu sangat merugikan publik, sebab pilkada kemungkinan besar diisi oleh calon-calon yang tidak mumpuni. Padahal publik ingin arena kompetisi politik merepresentasikan seluruh rakyat, baik pendukung maupun penentang penguasa.

Selain itu publik menginginkan calon-calon terbaik yang diajukan ke hadapan mereka. Publik tidak mau diharuskan memilih seorang dumb contestant karena ia tidak dapat memilih dumber contestant yang bernama “kotak kosong”.

Dalam hal ini, partai politik harus bertanggung-jawab. Sebab, menurut undang-undang, merekalah yang diberi hak untuk menyeleksi calon-calon pemimpin. Partai politik tidak bisa berdalih bahwa apa yang mereka bikin adalah dalam rangka kompetisi.

Sebab dalih apapun tidak boleh mengabaikan kewajiban partai politik untuk menyajikan calon-calon pemimpin terbaiknya kepada publik. Dengan demikian, koalisi yang menciptakan barriers to entry dalam proses nominasi pemilu haruslah dianggap sebagai upaya untuk mengabaikan prinsip pemilu yang jujur dan adil.

Dari perspektif inilah kita melihat arti strategis dari Putusan MK Nomor 60/2024. Putusan itu telah menyingkirkan salah satu faktor struktural, yaitu threshold, yang menghambat pemilihan pemimpin dalam proses yang adil dan setara.

Reformasi Jilid Dua

Demokrasi dapat diibaratkan pohon. Ia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang memeliharanya. Rakyat telah mempercayakan partai politik untuk memelihara pohon demokrasi itu.

Namun, berbagai faktor struktural mengancam kelangsungan demokrasi, termasuk bukan hanya koalisi dan ambang batas (threshold), tetapi juga perluasan kekuasaan presiden (presidential aggrandizement), politik yang berpusat pada individu (personalization politics), internal partai yang tidak demokratis, politik uang, dan dinasti politik.

Semua faktor ini secara perlahan tapi pasti menggerogoti akar demokrasi, melemahkannya dari dalam.

Jika demokrasi terus-menerus diserang oleh elemen-elemen destruktif ini, ia akan layu dan mungkin tumbang. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk melenyapkan semua pengaruh negatif ini. Ini bukan sekadar perubahan kosmetik, tetapi memerlukan Reformasi Politik Jilid Dua, sebuah upaya besar untuk menyelamatkan dan memperkuat demokrasi kita.

Reformasi ini harus menyasar seluruh aspek yang merusak demokrasi, dengan tujuan membangun kembali sistem politik yang benar-benar melayani kepentingan rakyat dan untuk menjaga integritas demokrasi yang kita miliki.

Hanya dengan reformasi yang menyeluruh, kita bisa memastikan bahwa pohon demokrasi akan terus tumbuh kokoh, memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi semua warga negara.

Gusti Allah Ora Sare

Keinginan rakyat agar putusan MK Nomor 60 dan 70 tahun 2024 tidak dimanipulasi DPR akan terpenuhi, sekali lagi karena pertolongan Allah SWT.

Padahal banyak orang yang mengharap terjadi bentrokan. Pada satu sisi ada orang yang begitu muak dan ingin memuntahkannya secepatnya. Di sisi lain ada orang belum bosan pamer kuasa, katanya, "biru-putih negara ini ada di tanganku".

Bentrokan itu, baginya, adalah sebuah berkah untuk kemudian mengumumkan darurat sipil. Dengan begitu ia bisa membatalkan pelantikan presiden baru, dan mendaku kepresidenan untuk waktu yang tidak ditentukan.

Semua sudah menyiapkan skenarionya tetapi skenario Tuhan jugalah yang berlaku.

Sidang Pleno DPR tidak akan bisa terwujud. Bukan karena Prabowo Subianto membangkang atau Ketum 12 partai tidak committed. Sidang Pleno DPR tidak akan pernah kuorum karena kehendak Allah SWT.

Seperti diketahui tidak kurang dari 40% anggota DPR 2019-2024 tidak terpilih lagi. Saat injury time seperti sekarang ini tidak ada alasan bagi mereka untuk menghadiri Sidang Pleno DPR. Apalagi, ini demi mengesahkan UU kontroversial yang ditentang oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Mereka tidak mau nanti dituduh menjadi bagian dari rejim yang merusak demokrasi Indonesia. Dan sebaliknya, jika perubahan UU Pilkada tetap dipaksakan, ada sejumlah anggota DPR yang bertekad akan membangkang.

Kondisi DPR kini memang berada di luar ekspektasi siapapun. Sama dengan putusan MK yang tanpa ekspektasi siapapun meletakkan kembali rel demokrasi pada tempatnya. Semuanya adalah kehendak Allah SWT.

Dalam ilmu pengetahuan modern, suatu pattern (pola perilaku) yang muncul tanpa terduga disebut dengan emergent. Demokrasi Indonesia telah dikhianati berulangkali oleh para elitnya.

Namun demokrasi Indonesia terus hidup. Bukan cuma hidup karena dibela mati-matian oleh rakyat yang menghikmati jatidirinya. Lebih dari itu, Demokrasi Indonesia hidup lantaran kehendak Allah. Jayalah Indonesia. (*)