RUU Penyiaran Berpotensi Perkuat Kontrol dan Sensor Media

Dengan mengaitkan tulisan tersebut dengan UU Pers dan UU ITE, dapat dilihat bahwa ada kekhawatiran yang mendalam dari kalangan jurnalis dan aktivis prodemokrasi terhadap potensi pembatasan kebebasan pers dan berekspresi yang dijamin oleh hukum.

Oleh: Guntur Surya Alam, Dokter SpB, Sp BA (K) Dig, MPH, FICS

SENIN, 27 Mei 2024, sejumlah awak media yang tergabung dalam berbagai organisasi wartawan melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senayan, Jakarta. Mereka melakukan aksi menolak RUU Penyiaran, karena sejumlah pasalnya dinilai mengancam kebebasan pers, berkreasi dan demokrasi.

Demo yang dimulai pagi hingga siang menjelang pukul 12.00 itu juga diikuti sejumlah lembaga pers mahasiswa (LPM) dan organisasi prodemokrasi. Kamis pekan lalu, 23 Mei 2024, pegiat organisasi wartawan, IPM dan prodemokrasi juga menandatangan pernyataan bersama yang intinya menolak RUU Penyiaran. (Baca FreedomNews.Id, Jum'at, 24 Mei 2024, "Organisasi Pers dan Prodemokrasi Minta DPR Hentikan RUU Penyiaran").

Demo berlangsung secara tertib. Beberapa orang menyampaikan orasi secara bergantian, termasuk Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jaya, Kesit Budi Handoyo. Mereka juga menyampaikan kekhawatiran terancamnya kebebasan pers yang sudah dinikmati hampir sempurna sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Ya, baru nyaris sempurna, karena masih ada beberapa tekanan terhadap media arus utama (mainstream) oleh pemerintah dan kelompok tertentu. Masih ada upaya "pembreidelan" terhadap media online, termasuk yang kami alami di Freedom News. Ketika ditelusuri, ketahuan juga siapa yang meminta dan melakukan takedown itu.

Hal itu dilakukan, karena kami dianggap sangat kritis terhadap pemerintah. Padahal, tugas pers-lah mengkritisi pemerintah, pengusaha, dan siapa pun yang dianggap merugikan rakyat. Demikian yang ditulis dalam EDITORIAL Freedom News (Rabu, 21 Zulqaidah 1445 H / 29 Mei 2024).

Tulisan ini mengungkapkan kekhawatiran terhadap RUU Penyiaran yang dianggap mengancam kebebasan pers dan kebebasan berkreasi. Kekhawatiran tersebut dapat dianalisis lebih lanjut dengan mengaitkannya dengan ketentuan dalam UU Pers (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers) dan UU ITE (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik).

UU Pers

UU Pers menjamin kemerdekaan pers sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. Beberapa poin penting dalam UU Pers yang relevan dengan tulisan tersebut antara lain:

Pertama; Pasal 2: "Kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara." Kedua; Pasal 4 ayat 1: "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara." Ketiga; Pasal 4 ayat 2: "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran."

Keempat; Pasal 6: "Pers nasional melaksanakan peranannya antara lain: a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi; c. mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia; d. menghormati kebhinnekaan; e. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar."

Tulisan tersebut menekankan pentingnya kebebasan pers yang diatur dalam UU Pers ini, dan menyatakan bahwa RUU Penyiaran dapat membatasi hak-hak yang dijamin oleh undang-undang tersebut, khususnya dalam hal penyensoran dan pembredelan.

UU ITE

UU ITE, di sisi lain, mengatur mengenai informasi dan transaksi elektronik, yang juga mencakup regulasi terkait dengan konten digital dan aktivitas online. Beberapa poin dalam UU ITE yang relevan adalah:

Pertama; Pasal 27 ayat 3: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Kedua; Pasal 28 ayat 2: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)."

Tulisan ini menyinggung adanya tekanan terhadap media, termasuk upaya takedown konten kritis oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini dapat dikaitkan dengan penerapan UU ITE yang sering digunakan untuk menjerat wartawan atau media yang menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah atau pihak tertentu.

Banyak kritik yang menyatakan bahwa UU ITE sering disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

Kesimpulan

UU Pers menjamin kebebasan pers dan melarang pembredelan atau penyensoran, sementara UU ITE kerap kali dianggap sebagai alat untuk membatasi kebebasan berekspresi melalui regulasi yang ketat terhadap konten digital.

RUU Penyiaran yang ditolak para wartawan dalam tulisan tersebut dianggap berpotensi melanggar prinsip-prinsip yang dijamin oleh UU Pers dan memperburuk situasi yang sudah diwarnai oleh penyalahgunaan UU ITE.

Dengan mengacu ke UU Pers dan UU ITE, dapat dilihat bahwa ada kekhawatiran yang mendalam dari kalangan jurnalis dan aktivis prodemokrasi terhadap potensi pembatasan kebebasan pers dan berekspresi yang dijamin oleh hukum.

Mereka menolak RUU Penyiaran karena berpotensi memperkuat kontrol dan sensor terhadap media, yang pada akhirnya mengancam demokrasi dan hak asasi manusia.

Perlunya menjaga negara demokrasi yang multi-etnis dan multi-agama seperti Indonesia sangat penting dalam konteks tulisan tentang RUU Penyiaran dan kebebasan pers. Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman budaya, agama, dan suku bangsa.

Kehidupan demokrasi yang sehat dan inklusif membutuhkan kebebasan berekspresi dan pers yang kuat, serta perlindungan terhadap hak-hak minoritas dan kelompok yang rentan.

Dengan merujuk ke UU Pers dan UU ITE, dapat dilihat bahwa kekhawatiran terhadap RUU Penyiaran yang mengancam kebebasan pers dan berpotensi memperkuat kontrol serta sensor media adalah perhatian serius.

Dalam konteks Indonesia yang pluralistik tersebut, kebebasan pers adalah fondasi penting dalam memastikan representasi yang adil dan merata bagi semua kelompok masyarakat. RUU Penyiaran yang memberi ruang untuk pembatasan kebebasan pers dapat mengancam prinsip demokrasi dan pluralisme di Indonesia.

Oleh karena itu, menjaga kebebasan pers dan menghormati keberagaman adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam membangun negara demokratis yang inklusif.

Langkah-langkah legislatif seperti RUU Penyiaran harus dipertimbangkan dengan cermat agar tidak merugikan kebebasan berekspresi dan pers, serta menjaga keseimbangan antara perlindungan hak-hak individu dan kepentingan publik.

Hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia, tanpa memandang suku, agama, atau etnisnya, dapat menikmati hak-haknya yang dijamin dalam kerangka demokrasi yang kuat dan inklusif. (*)