Semua Menunggu Megawati
Jika ini dibiarkan melenggang, rakyat khawatir ini akan terus terulang di masa depan dan bisa saja berkembang menjadi tradisi politik kita. Setiap penguasa akan dengan begitu leluasa menggunakan instrumen negara untuk meraih target kemenangan.
Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
PENCOBLOSAN sudah selesai. Tapi pemilu belum tuntas. Pemenangnya siapa? Tunggu tanggal 20 Maret 2024. Hasil resmi akan diumumkan oleh KPU.
Begitu diumumkan oleh , KPU, maka publik akan tahu siapa pemenangnya. Yang kalah, tentu boleh menggugat. Tersedia dua jalur. Pertama, jalur hukum. Paslon yang kalah bisa menggugat ke MK (Mahkamah Konstitusi). Baik gugatan itu terkait dengan hasil pemilu, maupun proses pemilu.
Hasil pemilu berkaitan dengan jumlah suara. Proses pemilu berkaitan dengan dugaan adanya dugaan pelanggaran terhadap UU pemilu. Termasuk dugaan adanya kecurangan.
Jika penggugat bisa membawa bukti-bukti yang kuat ke MK, maka pelaku kecurangan bisa saja didiskualifikasi. Mungkinkah? Sangat mungkin. Ini pernah diputuskan untuk pilkada di Bandar Lampung 2021. Selama ada bukti yang kuat, pemenang bisa didiskualifikasi.
Satu lagi catatan: Hakim MK harus netral. Nah, di sini masalahnya. Publik secara umum sudah kehilangan kepercayaan kepada MK. Juga kepada KPU dan Bawaslu. Ironi!
Biasanya, bukti yang kuat saja tidak cukup. Penggugat seringkali harus membawa massa dalam jumlah yang besar. Apa tujuannya? Mengawal para hakim MK agar berani untuk membuat putusan yang benar dalam situasi banyak tekanan.
Ketika ada satu juta massa yang mengawal misalnya, ini bisa menjadi suplai energi dan kekuatan bagi para hakim MK untuk membuat putusan yang berani, termasuk berani mendiskualifikasi paslon yang curang, atau meminta pemilu diulang. Semua masih ada kemungkinan.
Jadi, jangan buru-buru pesta dulu bagi “pemenang quick count”. Selain tidak etis, juga belum final. Masih ada kemungkinan berubah. Sedangkan para pendukung yang dikalahkan oleh quick count, juga gak perlu bersedih dan frustasi. Masih tersedia peluang untuk menggugat dan mengubah hasil pilpres. Jalan masih panjang, mungkin terjal dan berliku.
Jalur kedua adalah jalur politik. Yaitu Hak Angket, atau bisa juga Hak Interpelasi. Ini urusan anggota DPR. Mereka adalah orang-orang partai yang duduk di legislatif. Tombolnya tentu saja ada di Ketum Partai.
Pengusung Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD adalah lima partai. Yaitu PDIP, PPP, Nasdem, PKS dan PKB. Jumlah kursi mereka di DPR 314 kursi. Sekitar 54,60%.
Hak angket atau interpelasi cukup diusulkan oleh 25 anggota DPR lintas fraksi. Setelah rapat pleno yang didukung oleh 5% + 1 anggota, maka DPR bisa membuat tim investigasi. Mereka bisa panggil aparat dan aparatur negara, para lurah, para menteri, dll untuk dimintai keterangan.
Nah, hasil investigasi ini, DPR bisa menyatakan hak pendapatnya. Termasuk merekomendasikan untuk diskualifilasi terhadap paslon yang terbukti berbuat curang secara TSM (Terstruktur, Sistemik dan Masif). Atau diputuskan untuk diadakan pemilu ulang.
Jalur politik ini, kuncinya ada di Megawati Soekarnoputri. Ketum PDIP ini memegang peranan paling penting. Mengapa? Pertama, karena di antara lima partai pendukung, PDIP yang punya kursi paling banyak di DPR.
Kedua, PDIP boleh dibilang sebagai korban yang paling besar merasakan dampaknya. PDIP punya capres, tapi suaranya turun drastis. Padahal, presiden Jokowi sendiri juga adalah kader PDIP.
Megawati sudah beri sinyal. Karena itu, Ganjar bicara: akan menempuh jalur “hak angket”. Ganjar tidak akan berani bicara tanpa perintah, minimal ijin dari Megawati. Di PDIP sendiri, loyalitas dan kedisiplinan itu hal utama yang dipegang teguh oleh kader.
Dalam hal ini, lima partai pengusung Anies dan Ganjar bertemu di satu kepentingan yaitu untuk menggugat proses pemilu yang mereka yakini banyak pelanggaran. Terstruktur, Sistemik dan Masif. Atau TSM. Melalui jalur MK, seringkali sulit dimenangkan karena pertama, waktunya terlalu pendek.
Kedua, mereka tidak yakin para hakim MK bisa netral. Syarat capres-cawapres saja bisa diubah, apalagi cuma bukti hasil pemilu. Bagitulah logika yang berkembang di kepala publik. Maka, mereka berinisitif menempuh jalur politik melalui hak angket.
Ini tampaknya sejalan dengan aspirasi masyarakat secara luas. Supaya semua menjadi terang benderang.
Bagi rakyat, hak angket ini bukan soal menang-kalah. Gak ada urusan siapa pemenangnya. Tapi, tujuan utama hak angket yang rakyat dukung adalah ingin membersihkan pemilu dari praktik abuse of power yang diharapkan tidak terulang untuk pemilu-pemilu mendatang.
Jika ini dibiarkan melenggang, rakyat khawatir ini akan terus terulang di masa depan dan bisa saja berkembang menjadi tradisi politik kita. Setiap penguasa akan dengan begitu leluasa menggunakan instrumen negara untuk meraih target kemenangan.
Di sinilah hak angket menjadi penting. Bukan hanya penting buat paslon dan partai pendukungnya, tapi juga penting buat rakyat dan masa depan bangsa.
Jika Megawati panggil ketum PPP, Nasdem, PKS dan PKB untuk makan malam di rumah misalnya, hampir dipastikan mereka datang. Maka, hak angket punya harapan untuk dibawa ke DPR. Ini juga sekaligus menjadi jawaban atas pernyataan nyinyir Jimly Assidiqi: “Hak Angket Ganjar hanya gertakan saja”.
Kuncinya ada di Megawati, ketum partai pemenang pemilu tiga kali berturut-turut. Selain punya kader dan massa yang solid dan militan. Apakah akan lanjut hak angket? Sekali lagi, semuanya sedang menunggu keputusan Megawati. (*)