Senyum Anies dan Kecemasan Mulyono
Di tengah dunia yang terus bergerak, senyum Anies Baswedan adalah simbol optimisme, sementara kecemasan Mulyono menjadi pertanda akhir dari sebuah era yang tak lagi relevan dengan maksud untuk semangat zaman.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
DI tengah hiruk-pikuk situasi politik nasional, Anies Baswedan melangkah dengan senyum yang tenang. Senyuman yang menggambarkan keyakinan dan keteguhan hati seorang pemimpin yang senantiasa berpegang pada prinsip perubahan. Aktivitas intelektual dan kemanusiaannya tak pernah meredup.
Diundang menjadi pembicara di berbagai kampus internasional, Anies Baswedan memancarkan aura kepemimpinan yang berlandaskan pengetahuan dan kesantunan. Semakin banyak panggung yang ia taklukkan, semakin jelas sosoknya sebagai pembawa angin perubahan yang didambakan.
Namun di sisi lain, Mulyono – sang "Raja Jawa" yang selama bertahun-tahun menikmati singgasana kekuasaan – didera kecemasan yang mendalam.
Masa kekuasaan yang kian mendekati akhir membuatnya tidak bisa lagi memandang masa depan dengan keyakinan. Bayang-bayang keruntuhan tak hanya mengintai dirinya, tapi juga keluarga dan kroni-kroninya yang selama ini terjalin erat dalam jejaring kekuasaan. Setiap hari, kecemasan itu kian nyata, seperti awan hitam yang perlahan menutupi kejayaan yang dulu ia anggap abadi.
Mulyono, yang dulunya tampak tak tergoyahkan, kini resah akan masa depan politiknya. Keluarga dan kerabatnya yang telah lama menikmati kekuasaan mulai merasa gelisah. Mereka menyadari bahwa perubahan tak terhindarkan, dan waktu yang dahulu terasa begitu berlimpah kini mulai menyempit.
Di hadapan mereka, tampak Anies dengan senyum yang tidak pernah pudar – bukan hanya senyum optimisme, tetapi juga senyum yang membawa harapan dan inspirasi bagi bangsa yang merindukan perubahan.
Mulyono mungkin melihat Anies dengan ketidakpastian, merasakan seolah benteng kekuasaannya perlahan retak.
Senyum Anies Baswedan adalah representasi dari keyakinan bahwa perubahan tak perlu disambut dengan ketakutan, sementara Moelyono, di tengah cemas, berusaha keras mempertahankan sisa-sisa kekuasaan yang mulai goyah. Masa depan keduanya adalah cerita yang berbeda: satu penuh harapan, satu lagi penuh kekhawatiran. Mulyono tinggal menghitung hari.
Senyum dan kesantunannya bukanlah tanda kelemahan, melainkan senjata paling ampuh dalam perjuangan di tengah kerumitan dunia politik Indonesia. Ketika ruang publik dipenuhi kebisingan dan polarisasi, Anies hadir dengan ketenangan, menawarkan solusi tanpa kebencian.
Senyum dan tutur kata yang baik menjadi sarana untuk merangkul, bukan memecah belah. Ia telah mengajarkan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal sederhana: menjaga tutur kata, menghormati lawan bicara, dan memberikan ruang bagi gagasan yang berbeda.
Senyum Anies bukan sekadar ekspresi wajah, tapi simbol keyakinan bahwa Indonesia bisa berubah tanpa harus terjebak dalam kekerasan verbal dan politik kekuasaan.
Senyum itu membawa harapan bahwa perbedaan tidak harus berakhir dengan perpecahan, tetapi bisa dijembatani melalui kesantunan. Di dalamnya ada terkandung nilai kemanusiaan yang menjadi landasan perubahan sejati bahwa pemimpin adalah pelayan rakyat yang hadir untuk mendengarkan, bukan hanya memerintah.
Kesantunan Anies membuktikan bahwa seorang pemimpin bisa kuat tanpa harus mengintimidasi. Bahwa kebenaran bisa ditegakkan tanpa harus menginjak-injak martabat orang lain. Dalam dunia yang seringkali mengedepankan kekerasan sebagai jalan keluar, kesantunan itu menjadi bentuk perlawanan yang halus namun efektif.
Di tengah dunia yang terus bergerak, senyum Anies Baswedan adalah simbol optimisme, sementara kecemasan Moelyono menjadi pertanda akhir dari sebuah era yang tak lagi relevan dengan maksud untuk semangat zaman.
Teruslah bergerak Mas Anies, Rakyat selalu bersamamu dan menemani tapak langkahmu untuk terus membangun Indonesia baru, Indonesia bersih, Indonesia yang menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di balik senyummu ada harapan baru. (*)