Suksesi Damai Dalam Sakit

Gembrotnya jumlah kementrian ini adalah kerja awal Prabowo untuk memboroskan kas negara. APBN yang sudah cekak potensial dirampok oleh Kabinet Prabowo baik secara berjama'ah maupun masing-masing. Prabowo tidak memiliki "sense of crisis" yang baik.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

KEMARIN adalah hari pelantikan Presiden – Wakil Presiden kontroversial. Suksesi damai tapi tidak sehat dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto. Damai tanpa demo, tidak sehat karena ada penyakit di dalam yang coba ditutupi atau diabaikan. Inagurasi tanpa selebrasi natural. Satu drama dari akhir buruk Jokowi dan awal buruk Prabowo.

Sejak awal memerintah lebih khusus pada periode kedua, Jokowi yang berprofil sederhana dan lugu berasal dari tukang kayu, tidak mampu menampilkan sosok yang jujur, bersih, bertanggungjawab, tidak serakah, mendengar keluhan rakyat, negarawan dan beriman atau relijius. Fakta empirik justru sebaliknya.

Pada akhir kekuasaanya wajah buruk itu bukan membaik, bahkan semakin mengkristal, sehingga legacy atau warisannya bukan kekayaan atau kebahagiaan tetapi hutang dan kekecewaan. Ketika ada sorak-sorai maka itu adalah buatan, wujud dari baliho kepalsuan. Membayar mahal pada para pemandu hore. Raja yang telanjang harus dibilang berpakaian indah gemerlapan.

Kristal gemerlapan palsu atau buatan pada penghujung itu adalah:

Pertama, hadiah negara pensiun Jokowi berupa bangunan dan tanah seluas 1,2 hektar di Boyolali bernilai ratusan miliar rupiah. Untuk tanahnya saja hingga 144 miliar rupiah. Menteri Keuangan Sri Mulyani seenaknya membuat aturan 120/PMK-06/2022 untuk fasilitasi itu. Rakyat tidak diminta persetujuan. Bau korupsi luas tanah pada awal 9.000 m2 ternyata bertambah menjadi 12.000 m2.

Lonjakan luar biasa dari Keppres 81 Tahun 2004 yang mengatur hadiah mantan Presiden hanya angka Rp 20 miliar. Kini diubah oleh Permenkeu hingga Jokowi bisa dapat 1,2 hektar atau bisa mencapai Rp 200 miliar dengan bangunan rumah. Bagaimana angka yang ada dalam Keppres dapat diubah oleh Permenkeu? BPK dan KPK harus turun tangan.

Kedua, nepotisme atau politik dinasti. Pelantikan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres Ahad (20/10/2024) adalah bukti atas tindakan kriminal Jokowi yang melanggar Pasal 22 UU No 28 tahun 1999 tentang KKN. Ancaman atas delik nepotisme maksimal 12 tahun. Petisi 100 telah melaporkan Jokowi, Iriana, Anwar Usman, dan Gibran ke Bareskrim Mabes Polri.

Pelantikan Prabowo – Gibran oleh MPR merupakan gambaran awal buruk dari rezim Prabowo. Dua hal yang menandai, yaitu:

Pertama, Gibran yang tidak memenuhi syarat menurut Pasal 169 J UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan melakukan perbuatan tercela sebagaimana dimaksud Tap MPR No VI tahun 2001. Ternyata tetap nyaman digandeng dan digendong oleh Prabowo. Prabowo itu membawa ransel butut dan bau di punggungnya. Ada bom pula dalam ransel yang mudah meledak.

Kedua, kementrian gembrot. UU Kementrian Negara No 39 tahun 2008 tiba-tiba dengan secepat kilat diubah menjadi UU No 61 tahun 2024.

UU baru yang diundangkan 15 Oktober 2024 ini mengubah jumlah kementrian dari maksimal 34 menjadi "tidak terbatas" terserah bagaimana maunya Presiden. Prabowo mulai dengan 46 menteri. Ditambah Wamen-wamen.

Gembrotnya jumlah kementrian ini adalah kerja awal Prabowo untuk memboroskan kas negara. APBN yang sudah cekak potensial dirampok oleh Kabinet Prabowo baik secara berjama'ah maupun masing-masing. Prabowo tidak memiliki "sense of crisis" yang baik.

Sebaliknya gemar bagi-bagi kue kepada kroni. Akhir buruk Jokowi dan awal buruk pemerintahan Prabowo membawa konsekuensi pada sanksi Jokowi dan mimpi buruk Prabowo – Gibran bagi bangsa dan negara.

Tangkap dan adili Jokowi serta impeachment Prabowo – Gibran. Prioritas Gibran bin Jokowi.

Mohon maaf atas pelantikan ini ada, mungkin banyak, dari rakyat yang tidak bisa memberi ucapan selamat pada Prabowo – Gibran. Memelihara diri dari pencemaran barang yang diproduk secara tidak halal.

"Jabatan adalah amanah yang menistakan dan menjadi penyesalan di hari kiamat, kecuali yang mendapatkannya secara hak dan absah serta mampu menunaikan dengan adil". (*)