Surat Terbuka Untuk Pejuang Perubahan
Saudara-saudariku, kita sama-sama mengawal suara rakyat hingga rekapitulasi akhir nanti. Apapun hasilnya, kita layak bangga berada di barisan pejuang perubahan. Bangga karena berhasil mengonsolidasi kekuatan politik baru dan pro perubahan terbesar yang pernah ada. Benih yang telah disemai itu, harus dirawat agar tumbuh dominan mewarnai lansekap politik Indonesia lima sampai sepuluh tahun mendatang.
Oleh: Tamsil Linrung, Co Coach Timnas AMIN (Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar)
SAUDARA-saudariku, Anda adalah bagian dari mata rantai perubahan negeri. Ketika membaca surat terbuka ini, berarti Anda merupakan kelompok kecil masyarakat yang punya akses terhadap informasi. Saya percaya, Anda telah menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk menyandingkan, serta membandingkan para kandidat calon presiden dan calon wakil presiden sebelum mengambil keputusan untuk memilih pada Rabu (14/2/2024) kemarin.
Anda, bukan tipe pembeli kucing dalam karung. Anda pemegang suara berbobot tinggi. Anda, pemilik hak pilih. Melek pada data dan fakta serta piawai menyaring informasi. Tidak mudah tergiring oleh pariwara. Peranti elektronik yang Anda miliki adalah penapis manipulasi citra. Ditakuti oleh mereka yang bertendensi mengelabui. Memainkan semantik, warna dan cahaya.
Suara yang telah Anda titipkan untuk perubahan, amat berharga. Meski hanya dihitung satu. Namun bisa jadi suara itu penentu. Setelah meyakinkan pemilih yang mungkin keluarga, teman, tetangga atau kolega, kini kita memasuki babak baru kompetisi. Yaitu memastikan suara-suara itu sampai kepada yang dimandatkan.
Saat ini, penghitungan suara belum usai. Masih berproses. Karena itu, belum ada pemenang resmi kompetisi elektoral yang tengah kita lakoni. Anda mungkin ada yang menjadi saksi, atau berada pada bagian elemen penting yang dipercayakan untuk mengawal suara hingga akhir proses pesta elektoral. Maka jalankan kepercayaan tersebut. Jaga setiap satu suara rakyat agar tidak raib.
Saudara-saudariku, pemilu ini punya cacat bawaan. Pemilu ditabuh dari gong kepercayaan yang rendah pada penyelenggara. Diawali dengan pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi. Menghasilakn kandidat cawapres cacat etik. Belum lagi pelanggaran etik berat Ketua KPU sebanyak tiga kali.
Patut pula dicatat, bahwa hari pencoblosan diikuti dengan eskalasi kritik yang tersulut oleh anasir-anasir kecurangan. Rentetan artikulasi dari mahasiswa, cendekiawan dan akademisi disuarakan sebagai pengingat tentang situasi genting yang mengancam masa depan demokrasi.
Saban pemilu, kecurangan memang selalu mewarnai. Tapi pada pemilu kali ini, kecurangan dipertontonkan secara vulgar dari pusat kekuasaan. Pengerahan aparat terjadi sampai ke level desa. Pun politisasi bansos, penyalahgunaan jabatan, serta berbagai jenis aktivitas yang terindikasi pelanggaran terencana seolah dilumrahkan. Situasi tersebut mencederai sendi-sendi demokrasi.
Lalu situasinya kian parah di hari H pencoblosan. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan bukti kecurangan, penggelembungan, dan manipulasi penghitungan suara diunggah di berbagai platform komunikasi. Rakyat punya caranya sendiri melakukan investigasi. Mencari bukti bangkai dari aroma kecurangan yang sudah lama menyengat.
Saudara-saudariku, dari hitung cepat, kita mengetahui, bahwa gagasan perubahan yang ditawarkan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN), disambut betapa sangat luas. Perolehan suara yang diraih tak bisa dianggap kecil. Dukungan rakyat itu bukan sekadar angka. Ia adalah pesan perubahan yang lantang digaungkan. Serempak kita sampaikan. Disaksikan dunia.
Dari bilik-bilik suara, kita menyampaikan pesan bahwa ada puluhan juta rakyat Indonesia menolak nepotisme, menolak penyalahgunaan kekuasaan untuk keluarga dan kroni. Puluhan juta rakyat Indonesia menolak penghianatan pada prinsip-prinsip demokrasi. Menolak penghianatan pada akal sehat hingga jumawa mempermainkan konstitusi. Kita menolak bangsa ini diseret setback ke era pra reformasi.
Saudara-saudariku, Saya menulis surat terbuka ini ketika beras di warung, pasar, dan minimarket menghilang. Sulit dicari. Pun pasokan gula pasir ke kios-kios di pasar, diperebutkan karena kendala suplai dan distribusi. Sesak dada ini. Menyaksikan kebutuhan pokok rakyat jadi barang langka di tengah deru kontestasi demokrasi berbiaya tinggi.
Tapi itulah realitas pahit yang tengah kita hadapi. Kinerja pemerintah yang acakadut, bukannya dievaluasi. Malah berupaya sekeras tenaga untuk dilanggengkan kepada trah politik dinasti. Tanpa mempertimbangkan berbagai kerusakan yang ditimbulkan. Termasuk menganggap angin lalu hujan kritik dari kaum terdidik yang terus membesar. Siap menjelma jadi badai perubahan melumat kekuasaan yang dibangun di atas singgasana rapuh.
Saudara-saudariku, Indonesia memasuki masa-masa genting dalam menentukan nasib. Mempertaruhkan masa depan ratusan juta rakyatnya. Keputusan kita di bilik suara, tidak hanya mengubah jalannya bangsa ini dalam lima tahun ke depan. Tapi berimplikasi pada sepuluh, lima belas, atau bahkan seratus tahun lagi. Karena itu, sikap dan nilai politik yang kita anut tidak boleh surut. Jadikan ia fondasi untuk menata kembali Indonesia.
Dalam tiga bulan terakhir, kita telah menorehkan warna baru di panggung politik. Kita menjumpai berbagai lapisan masyarakat, berbaur menyatu dengan denyut kehidupan rakyat, sembari mengorkestrasi pendidikan politik. Mengangkat muruah demokrasi sehingga disambut semringah. Dari perjalanan tanpa henti tersebut, kita menemukan fakta, bahwa animo rakyat sangat tinggi pada agenda perubahan.
Anak-anak muda berbondong-bondong menghadiri dialog terbuka dengan capres dan cawapres (AMIN). Pertanyaan tajam dilayangkan. Argumen kritis dilontarkan. Pikiran artikulatif dan nalar rakyat berjalan beriringan. Rakyat berada pada frekuensi perubahan, ingin mengkalibrasi bangsa ini kembali pada koridor konstitusi.
Pendidikan politik yang kita tempuh membuahkan partisipasi masif. Mulai dari yang ikut menyuarakan agenda perubahan, mendaftar menjadi saksi, menginisiasi dapur rakyat untuk TPS, menjadi satuan tugas mengawal surat suara, dan berbagai bentuk dukungan lainnya. Semua kontribusi tersebut dilakukan swadaya. Digerakkan oleh cita-cita yang sama. Bukan dimotori iming-iming materi berpelumas rupiah.
Saudara-saudariku, kita sama-sama mengawal suara rakyat hingga rekapitulasi akhir nanti. Apapun hasilnya, kita layak bangga berada di barisan pejuang perubahan. Bangga karena berhasil mengonsolidasi kekuatan politik baru dan pro perubahan terbesar yang pernah ada. Benih yang telah disemai itu, harus dirawat agar tumbuh dominan mewarnai lansekap politik Indonesia lima sampai sepuluh tahun mendatang.
Pendidikan politik terus kita upayakan. Partisipasi aktif rakyat kita sambut dalam berbagai artikulasi dan ekspresi gerakan. Kita telah menanamkan standar selera politik tinggi yang bertumpu pada nilai. Persis petuah Nelson Mandela, “Benih politik yang baik ditanam dalam tanah yang subur dengan pendidikan yang kokoh dan partisipasi aktif dari warga negara.”
Saudara-saudariku para pejuang perubahan, semua mandat dan aspirasi terhadap perubahan merupakan kedaulatan tertinggi yang diekspresikan warga negara.
Upaya kita mengawal proses rekapitulasi penghitungan suara berjenjang seperti mekanisme yang diatur oleh undang-undang, merupakan bentuk konsistensi kita menegakkan demokrasi. Inilah wujud komitmen, agar setiap suara rakyat tak ada yang tertinggal. No one left behind. (*)