Tiji Tibeh: Mati Siji Mati Kabeh, Jalan Politik Jokowi pada Akhir Kekuasaan

Tiji tibeh, mati siji mati kabeh, bukan hanya sekadar prinsip dendam, tapi juga mencerminkan drama politik pada akhir kekuasaan Jokowi, yang kini semakin jelas bahwa Prabowo tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh Jokowi, dan PDIP akan tetap memainkan peran penting di masa depan.

Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

DRAMA politik menjelang akhir kekuasaan Joko Widodo nampaknya tidak bisa diprediksi, betapa tidak menjelang detik-detik penyerahan kekuasaan kepada Prabowo Subianto, Jokowi melakukan manuver yang tak lazim, dengan memberhentikan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN.

Kemudian, apa ini maksudnya? Tentu ini tidak bisa dipisahkan dengan pertunjukkan kemesraan yang diperlihatkan oleh PDIP dan Prabowo.

Menjelang akhir masa jabatannya, Jokowi tampaknya memilih strategi "tiji tibeh" – mati siji mati kabeh yang artinya, mati satu mati semua. Prinsip ini mencerminkan bahwa jika satu orang jatuh, semuanya akan ikut jatuh bersamanya.

Siapapun yang berseberangan dengannya, maka harus jatuh bersama-sama dengan Jokowi. Ini sebuah sikap politik tegas, bahwa siapapun yang berhadapan, harus mengambil resiko yang sama, sebagaimana yang akan ia hadapi.

Dendam politik Jokowi, terutama terhadap PDIP yang dulu membesarkannya namun kemudian menjadi lawan, tampak sekali terlihat semakin membara. Salah satu langkah terakhirnya yang mencolok adalah pemberhentian Budi Gunawan, orang dekat Megawati, dari jabatan Kepala BIN.

Langkah ini jelas merupakan pesan politik tajam: pemerintahan yang baru, di bawah kepemimpinan Prabowo, jangan coba-coba memberi ruang kepada PDIP. Jokowi seolah ingin memblokir pengaruh PDIP, bahkan sebelum ia meninggalkan Istana.

Tapi, yang menarik adalah perkembangan terbaru terkait Budi Gunawan setelah pemberhentiannya. Ketika Budi Gunawan dipanggil oleh Prabowo ke Hambalang, hal ini memunculkan spekulasi bahwa Prabowo, meski diusung oleh Jokowi, tidak sepenuhnya bisa diatur olehnya.

Pemanggilan ini dapat diartikan sebagai sinyal bahwa Prabowo justru melihat pentingnya menjaga hubungan baik dengan PDIP dalam pemerintahan mendatang. Prabowo tampaknya menyadari bahwa dukungan PDIP akan menjadi penting untuk menyeimbangkan kekuatannya di pemerintahan baru.

Ini juga mengindikasikan bahwa hubungan Jokowi dan Prabowo mungkin tidak seerat yang terlihat di permukaan, terutama setelah lengsernya Jokowi.

Pemanggilan Budi Gunawan ke Hambalang juga menegaskan, Prabowo tidak ingin sepenuhnya memutus hubungan dengan PDIP, meskipun ada tekanan dari Jokowi untuk menjauhkan partai tersebut dari pemerintahan mendatang.

Ini menunjukkan, Prabowo mungkin lebih pragmatis dalam pendekatannya, menyadari bahwa stabilitas politik dan dukungan legislatif akan lebih mudah didapat dengan menjalin kerja sama politik yang lebih luas, termasuk dengan PDIP. Dengan kata lain, Prabowo tampaknya tidak ingin terjebak dalam agenda dendam Jokowi.

Di sisi lain, Jokowi terus berupaya membangun citranya menjelang akhir masa kekuasaan. Ia dan loyalisnya menggencarkan kampanye pujian terhadap dirinya, seperti "Terima Kasih Jokowi", "Jokowi Guru Bangsa", dan berbagai upaya lainnya untuk membentuk narasi bahwa ia adalah presiden yang dicintai rakyat.

Namun, di balik layar, realitasnya justru sebaliknya. Banyak rakyat menanti lengsernya Jokowi dengan harapan bahwa ia akan diadili atas berbagai kebijakan yang dianggap merugikan. Suara-suara ketidakpuasan terhadap kepemimpinannya semakin keras, di mana Jokowi kerap dihujat sebagai pemimpin yang tidak mendengarkan suara rakyat.

Dengan pemberhentian Budi Gunawan sebagai salah satu langkah terakhirnya, Jokowi tampaknya ingin memastikan bahwa pemerintahan baru tidak memberi ruang bagi PDIP.

Tetapi dengan pemanggilan Budi Gunawan oleh Prabowo, terlihat bahwa Jokowi mungkin tidak sepenuhnya memiliki kendali atas arah pemerintahan mendatang. Prabowo tampaknya siap untuk bersikap lebih fleksibel dalam menjaga kestabilan politik, dan PDIP bisa menjadi salah satu kunci penting bagi stabilitas tersebut.

Skenario ini menunjukkan bahwa meskipun Jokowi telah berupaya meninggalkan jejak politik yang mendalam, pada akhirnya ia mungkin tidak sepenuhnya bisa mengatur arah politik di masa depan.

Prabowo, dengan langkah-langkah pragmatisnya, mungkin akan membangun koalisi yang lebih luas, dan PDIP, terlepas dari upaya Jokowi untuk menyingkirkan pengaruhnya, akan tetap menjadi kekuatan penting dalam pemerintahan yang akan datang.

Hal ini mengingatkan kita semua pada pernyataan Adian Napitupulu, politisi PDIP, dalam sebuah diskusi yang mengatakan paska 20 Oktober 2024, Jokowi akan selesai, tapi PDIP akan tetap ada, dan sangat mungkin setelah itu partai akan berkomunikasi dengan Prabowo sebagai Presiden, dan ketua partai.

Tiji tibeh, mati siji mati kabeh, bukan hanya sekadar prinsip dendam, tapi juga mencerminkan drama politik pada akhir kekuasaan Jokowi, yang kini semakin jelas bahwa Prabowo tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh Jokowi, dan PDIP akan tetap memainkan peran penting di masa depan.

Tiji tibeh, mati siji mati kabeh, bukan hanya sekadar prinsip, tapi juga potret akhir kekuasaan Jokowi yang penuh dengan bara dendam dan manipulasi citra. (*)