Tujuh Catatan Debat Cawapres
Secara nyata Muhaimin dan Mahfud MD menunjukkan kebobrokan Jokowi dan rezimnya. Meski Mahfud dalam konpres paska debat berusaha menganulir itu dengan mengatakan berterimakasih pada Jokowi, namun "the damage has been done".
Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
DEBAT Keempat Cawapres, Ahad (21/1/2024) dengan tema: Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa. Ada 7 (tujuh) catatan penting yang perlu dipahami, yakni:
Satu; Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD berusaha serius membahas tema debat dalam tingkat "policy debate", sementara Gibran Rakabuming Rakat terlihat belum cukup mengerti dan tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk debat tingkat kebijakan.
Misalnya, saat Gibran menyinggung soal istilah Litium, tidak jelas pertanyaan Gibran dalam konteks persoalan dan solusi yang dibutuhkan pada level kebijakan nasional.
Begitu pula pada isu "Greenflation" yang ditanyakan pada Prof. Mahfud, tidak jelas persoalan apa yang ditunjukkan, apakah degradasi lingkungan dalam konteks ekonomi lingkungan atau konteks apa. Mahfud kecewa dengan Gibran yang sangat "recehan", tidak berkelas dalam berdiskusi.
Satu hal lagi isu bio-regional yang diangkat Muhaimin sebagai basis pembangunan, dijawab Gibran dengan isu pemerataan Indonesia secara umum, bukan "bio-regional based Planning".
Dua; Muhaimin dan Mahfud MD menyoroti kegagalan pembangunan Joko Widodo. Keduanya mengatakan Jokowi gagal dalam kemandirian pangan, redistribusi lahan, menjaga kemandirian desa dan mengejar transisi energi.
Mahfud dan Muhaimin sepakat terjadi kegagalan dalam pembangunan agraria, baik merujuk pada UUPA maupun fakta terjadinya konflik agraria yang semakin besar.
Muhaimin mempersoalkan agenda redistribusi lahan yang tidak ada, Mahfud menyinggung kesenjangan kepemilikan lahan konglomerat dibandingkan petani. Namun, Gibran menjawab kesuksesan Jokowi dengan pembagian sertifikat (sertifikasi lahan). Tentunya ini bukan jawaban Reformasi Agraria.
Untuk persoalan agraria, Muhaimin dan Mahfud, sama-sama menyarankan agar dibuat badan khusus di bawah presiden untuk mengatasi dan menyelesaikan isu Reformasi agraria.
Muhaimin menambahkan persoalan hak-hak adat yang harus dilindungi dengan mempercepat UU terkait hukum adat. Jangan seperti rezim yang selalu menampilkan seremonial penggunaan baju adat secara periodik setiap tanggal 17 Agustus, namun masyarakat adat disingkirkan.
Tiga; Mahfud dan Muhaimin setuju perusakan hutan atau deforestasi terjadi sangat buruk pada era Jokowi. Sampai saat ini Jokowi tidak melakukan upaya serius mencegah deforestasi. Jumlah penggundulan hutan mencapai 12 juta Ha selama 10 tahun terakhir.
Bahkan, menurut Mahfud, saat ini aktivis lingkungan ditangkap jika mengkritik pemerintah.
Empat; Mahfud MD menyoroti kegagalan Jokowi dalam kemandirian pangan. Hal itu bertentangan dengan janji Jokowi pada debat capres 2014 bahwa tidak ada lagi impor pangan jika dia presiden. Mahfud mengatakan justru Jokowi ingkar atau tidak sesuai janji, karena impor terus menggunung. Beberapa data impor pangan tersebut disampaikan Mahfud dalam debat, yakni beras, kedelai, susu, daging sapi, dsb.
Gibran dalam menjawab isu impor ini tidak jelas. Putera sulung Jokowi ini malah membicarakan food estate yang membutuhkan waktu panjang dalam mengevaluasi keberhasilan. Gibran malah menuduh Mahfud dan Muhaimin menakut-nakuti rakyat dengan narasi buruk.
Muhaimin, selanjutnya mengatakan, swasembada pangan kita gagal bahkan tanpa memasukkan isu krisis iklim. Sebab, petani diabaikan, sebaliknya korporasi besar diutamakan. Kegagalan pengadaan pupuk, harga dan keterjangkauan, merupakan fenomena nyata.
Lima; Dalam hal konflik agraria dan berkembangnya illegal mining, Mahfud menekankan bahwa semua ini tanggung jawab pemerintah dan kususnya aparatur yang membiarkan mafia-mafia berkuasa. Kerusakan iklim dengan deforestasi jutaan hektar lahan terus berlanjut di era Jokowi. Tidak ada keinginan perbaikan.
Muhaimin, di sisi lain, juga menyinggung tidak adanya political will pemimpin.
Urusan mafia-mafia penguasaan lahan tersebut dikatakan Mahfud untuk menjawab kegampangan Gibran menjawab "cabut saja hak tanah atau IUP yang ilegal".
Mahfud mengatakan bahwa justru pemerintah saat ini melindungi mafia-mafia tambang dengan menghalangi prinsip-prinsip keterbukaan informasi dan pembiaran oleh aparat. Menurut Mahfud, langkah penting adalah negara harus membuka siapa-siapa pemilik lahan-lahan di Indonesia, termasuk yang melakukan penguasaan illegal. Kedua, pedang hukum jangan tumpul lagi.
Enam; Hilirisasi Jokowi yang dibanggakan Gibran sebagai program strategis dalam memajukan bangsa serta menciptakan lapangan kerja, menurut Muhaimin dilakukan secara ugal-ugalan, tidak menyejahterakan penduduk lokal, dan mendatangkan tenaga kerja asing yang banyak. Muhaimin mengatakan bahwa eksploitasi alam untuk pembangunan perlu, namun harus menghitung sisi ekologisnya.
Terkait transisi ke arah energi terbarukan, Muhaimin justru mengatakan bahwa rezim Jokowi tidak serius. Target penurunan emisi karbon 2025 berkurang 23% jadi 17% dan pajak karbon ditunda.
Tujuh; Pembangunan ke depan harus dengan paradigma Bottom up. Desa harus ditempatkan sebagai sentral dalam pembangunan. Pembangunan jangan ugal-ugalan dan sakarepmu dewe, namun harus beretika dan harus tobat ekologis.
Renungan
Secara nyata Muhaimin dan Mahfud MD menunjukkan kebobrokan Jokowi dan rezimnya. Meski Mahfud dalam konpres paska debat berusaha menganulir itu dengan mengatakan berterimakasih pada Jokowi, namun "the damage has been done".
Rakyat sudah mendengar testimoni Mahfud bahwa Jokowi dapat disimpulkan sebagai pemimpin buruk, yang bertanggung jawab atas kehancuran lingkungan, berkembangnya mafia tanah dan tambang, rusaknya aparatur negara, deforestasi berkelanjutan, hilirisasi yang tidak menguntungkan, dlsb.
Jutaan rakyat yang mendengar pemaparan Mahfud, seorang menteri Jokowi, dan Muhaimin, seorang wakil ketua DPR-RI menunjukkan adanya ketidakjelasan atau ketidak sinkronan antara fakta yang diketahui elit dengan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi dalam berbagai survei. Tentu saja rakyat dapat mempertimbangkan, mana yang lebih kredibel dan masuk akal.
Saya termasuk orang yang berterima kasih pada Muhaimin dan Mahfud yang membedah kegagalan rezim Jokowi ini. Sekian. (*)