Pakar HTN Feri Amsari Sebut Pemilu 2024 Tipu Rakyat Indonesia
Jakarta, FreedomNews – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas (Unand) Padang, Feri Amsari mengungkapkan, Pemilu 2024 telah menipu ratusan juta rakyat Indonesia.
Kecurangan Pemilu 2024, yang digelar 14 Februari 2024 tidak bisa diterima dengan alasan demi keamanan negara, karena yang ditipu bukan hanya pemilih tapi seluruh rakyat Indonesia.
Dosen Fakultas Hukum Unand itu menuding bahwa penyelenggara Pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) sengaja membiarkan input data jumlah suara yang tidak masuk akal ke dalam sistem teknologi informasi (TI).
Dia juga mengungkapkan beberapa modus kecurangan pada Pemilu 2024, di mana pada satu tempat pemungutan suara (TPS) maksimal ada 300 pemilih, tapi pada kenyataannya ada pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang mendapat 600 suara.
Seharusnya, sistem TI KPU tidak bisa menerima jumlah suara lebih dari 300 pada satu TPS.
“Luar biasa kecurangan, ketidaksiapan KPU, prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang dilanggar itu hancur semua,” kata Feri dalam kanal Abraham Samad Speak Up yang dipantau Senin (19/2/2024).
“Ini kok bisa KPU menerima sistem input data yang tidak masuk akal. Artinya KPU membuat algoritma yang membiarkan kecurangan terjadi, sehingga pada hari penghitungan, input data meledak suara paslon 02. Secara psikologis politik dia sudah dianyatakan menang. Padahal ini multiple kecurangan,” lanjutnya.
Gandakan Perolehan Suara
Mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas ini mengatakan, ada psikologi politik bermain untuk seolah-olah memenangkan pertarungan.
Dikatakan, jika salah satu paslon dibuat menang dengan menggandakan perolehan suara berkali lipat, dan setelah dilakukan perbaikan data, ternyata suaranya tidak cukup, maka paslon yang mengklaim menang akan heboh sendiri.
Apalagi, ada paslon yang mendeklarasikan kemenangan. Padahal, fakta-fakta kecurangan pemilu nyata dan tidak masuk akal.
“Saya mohon maaf kepada KPU dengan membiarkan input data yang tidak masuk akal dalam sistem mereka, berarti KPU sengaja membiarkan data itu terproses oleh sistem. Padahal sistemnya sederhan saja, setiap suara lebih dari 300 ditolak, diperbaiki dulu,” paparnya.
Feri membandingkan sistem input data hasil pemilu oleh masyarakat sipil untuk membuat program pendataan C hasilnya jauh lebih canggih dibandingkan KPU, yang mengelola dana miliaran rupiah.
“Bagi saya ini aneh, jangan-jangan KPU terlibat, menyengajakan ini untuk kemudian seseorang bisa dikatakan menang,” ujarnya
Menurut Feri, ada permainan pada sistem TI. Itulah sebabnya, ujarnya, KPU tidak pernah berani membuka sistem TI untuk dilakukan cek dan ricek semacam audit forensik TI.
Potensi Dua Putaran
Fery juga menyindir perbaikan data KPU yang berbasis kritik masyarakat di media sosial. Seharusnya, KPU memperbaiki data dengan cara melakukan cross check atas data yang dimilikinya. Menurutnya, masih ada data-data yang tidak diketahui publik. Oleh karena itu, masih banyak hal yang disembunyikan KPU.
“Masih banyak hal yang disembunyikan KPU, tidak terbuka dan sekedar minta maaf dalam konteks ini tidak cukup. Ini sudah melakukan penipuan serius di mana orang sudah deklarasi diri seolah-olah menang padahal angka sangat potensial dua putaran,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, Feri juga mengungkap penggelembungan suara para paslon dalam kasus seorang pemilih mencoblos lebih dari sekali. Berdasarkan logika sengketa pemilu, pada kasus seperti ini harus dilakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Mengutip keterangan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja pada Kamis (15/2/2024), ada potensi PSU di 2.413 TPS. Dari pantauan pada tahap pemungutan suara ditemukan bahwa pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali.
Dia menyebut, jika pada satu TPS ada 300 pemilih, ada sekitar 800 ribu suara untuk satu jenis kecurangan. Ini belum termasuk orang yang punya hak pilih, tapi tidak bisa memilih, serta kecurangan yang tidak kelihatan dalam angka-angka yang masif di tengah masyarakat seperti intimidasi oleh aparat, politik uang, ancaman kepada kepala desa.
Hal lain yang patut disoroti pada Pemilu 2024 adalah ada sekitar 8 juta pemilih penyandang disabilitas, tetapi KPU hanya mencatat 1 juta orang.
Dia menilai hal ini terkait dengan kewajiban KPU menempatkan huruf braille saat pencobloan, sehingga ketika memasuki bilik suara, seorang tunanetra tidak perlu dituntun. Kalau ada penuntun saat mencoblos, ini akan menjadi masalah jika yang diminta bukan yang ingin dicoblos.
“Jika penuntun sebagai pelaku kecurangan, maka akan ada 8 juta suara disabilitas yang dicurangi suaranya,” pungkasnya. (TG)