Pemerintahan Baru Prabowo Diperkirakan Lebih Nasionalis
Jakarta, FreedomNews – Pada pemerintahan baru, Prabowo Subianto diperkirakan bisa lebih nasionalis, baik di sisi ekonomi maupun politik. Perkiraan itu disampaikan Pengamat Ekonomi yang juga Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini dalam Diskusi Publik bertemakan “Islam dan Demokrasi", yang digelar di Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Sedangkan Prof. Eunsook Jung, Ph.D (University Wisconsin) menilai, topik Islam dan Demokrasi begitu relevan bagi Indonesia mengingat terjadi perubahan signifikan di Indonesia. “Sedangkan implikasinya bisa berdampak bagi masa depan," katanya meyakinkan.
Sejak Indonesia mengalami demokratisasi pertama kali pada tahun 1999, pemilu cukup demokratis kedua, setelah Pemilu 1955, peran Islam dalam politik telah mengalami perubahan. Pola-pola itu juga menunjukkan kemiripan, namun dengan peningkatan dalam populisme Islam atau yang dikenal sebagai politik identitas.
Selanjutnya pada pemilu 2019, kecenderungan politik identitas lebih kuat dibandingkan dengan saat 2014. Pada kampanye 2013, seorang kandidat mendukung gagasan bahwa negara harus menjamin kemurnian ajaran agama dari segala bentuk penyelewengan.
Sedangkan Pada pemilu 2019, polarisasi kian kental dan meningkat dengan pembagian antara populisme Islam pro dan anti-Islam. “Kandidat presiden kala itu menunjukkan kecenderungan populis Islam yang kuat, sementara lawannya lebih pluralis dan anti-populis Islam,” tutur Eonsook Jung, bersemangat.
Jung menambahkan, namun kini situasi berubah pada pemilu 2024, yakni populisme Islam dan politik identitas tampak berkurang. "Semua kandidat, termasuk yang paling Islamis, tidak lagi menekankan posisi ideologis mereka, melainkan fokus pada kebijakan yang lebih umum,” tambah Jung.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa perubahan ini terjadi? Mengapa populisme Islam absen dalam pemilu ini, dan apa implikasinya bagi masa depan? Beberapa pihak, kata Jung, menyebut semua ini akibat dari represi negara. Contohnya, ungkap Jung, seorang ulama yang dilarang pada tahun 2017.
Ada juga pandangan bahwa ini adalah hasil dari kampanye anti-radikalisasi yang berhasil.
Selanjutnya pada pemilu 2024, transaksi di tingkat elit meningkat, dengan perbedaan ideologis yang dikesampingkan demi aliansi baru antara elit nasionalis dan religius. Negara tidak memiliki kekuatan pemersatu Islam, sehingga kelompok Islam lebih fokus pada membangun akar rumput daripada keterlibatan politik langsung.
“Selain itu, tidak ada isu yang memecah-belah terkait Islam dalam pemilu ini, meskipun ada protes terkait Palestina. Faktor-faktor ini menjelaskan mengapa populisme Islam absen dalam pemilu kali ini,” kata Jung.
Banyak yang berpendapat bahwa kandidat bergerak ke tengah untuk menarik pemilih yang lebih luas. Namun, masih menjadi pertanyaan apakah mereka akan tetap di tengah, mengingat sejarah dan pragmatisme politik mereka.
“Meski ada kemunduran demokrasi, Indonesia masih dianggap sebagai demokrasi terbaik di Asia Tenggara. Dengan masyarakat sipil yang kuat dan lembaga pendidikan yang penting, demokrasi Indonesia masih memiliki potensi untuk tetap kokoh,” ujar Jung.
Sedangkan Dosen Universitas Paramadina, DR. Subaryo menilai, ada politik yang lebih tebuka pasca orde baru, penguatan civil society dan menciptakan good governance adalah tiga cita-cita dalam demokrasi.
Sunaryo memaparkan pada periode 1999 dan 2004 Indonesia sudah menikmati keterbukaan politik. Namun, sebagaimana yang kita saksikan saat ini demokrasi dan politik mengalami kemunduran. Sistem politik yang terbuka ternyata tidak melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang diharapkan (yang terbaik) dengan prinsip meritokrasi. Sistem ini diokupasi oleh para kaum pemodal yang bisa membeli suara.
Parlementary threshold tidak selalu berjalan dengan mulus. Ada situasi kita semakin gamang untuk tetap seperti itu dalam konsekuensi.
Saat ini NGO mengalami pelemahan, di mana untuk mendapatkan donor dari pihak funding harus mendapatkan persetujuan dari kementerian dan harus sejalan dengan pomerintah. “Sehingga di sini menjadi EO dan menjalankan proyek dari pemerintah dan begitu sedikit untuk bertahan”, tegasnya.
“Demokrasi sudah selesai dalam konteks tersebut, sehingga penguatan good governance juga begitu penting di saat good governance juga mengalami keterpurukan. Sisi lain persepsi korupsi di Indonesia masih tinggi dan dilakukan dengan trik yang semakin canggih agar tidak terpantau oleh KPK dimana wewenang KPK semakin dikurangi,” tutur Sunaryo.
Sedangkan untuk merespon keadaan demokrasi dan perpolitikan yang runyam belakangan ini, sikap dan perilaku masyarakat sipil muslim dengan organisasi Islam telah membentuk ironi. Ormas Islam yang ada cenderung menjadi alat stempel dan tidak perduli dengan keadaan yang terjadi. (BS)