Presiden Jokowi Berpihak Kepada Anaknya
Jakarta, FreedomNews – Presiden Joko Widodo menyatakan, seorang presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilihan presiden (pilpres) selama mengikuti aturan waktu kampanye dan tidak menggunakan fasilitas negara.
Setidaknya, ada tiga paslon pada Pilpres 2024, yaitu: Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar dengan nomor urut 01, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka nomor urut 02, dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD nomor urut 03. Gibran adalah putera sulung Jokowi yang menjabat Walikota Solo.
Pernyataan Jokowi itu langsung ditanggapi oleh Timnas Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (IMIN). Menurut Iwan Tarigan, Jubir Timnas AMIN, sesuai UU Pemilu, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, beberapa ketentuannya menuntut presiden untuk menjaga netralitasnya.
Contoh, Pasal 48 ayat (1) huruf b UU Pemilu diatur bahwa KPU melapor kepada DPR dan presiden mengenai pelaksanaan tugas penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu dan tugas lainnya.
Selain itu, dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Pemilu diatur bahwa presiden berperan dalam membentuk keanggotaan tim seleksi dalam menetapkan calon anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR. Sehingga, presiden dituntut untuk netral selama proses pemilu.
Presiden Jokowi tentu memiliki pilihan terhadap peserta pemilu, misalnya untuk memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden berikutnya. Hal tersebut sesuai dengan koridor hukum.
Ini merupakan hak dari seorang warga negara, termasuk presiden, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
“Pasal 43 ayat (1) UU HAM juga menjamin bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum,” jelas Iwan Tarigan.
Tapi, lanjutnya, apabila keberpihakan presiden dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan ataupun keputusan tertentu dengan menggunakan fasilitas negara atau menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan salah satu peserta pemilu tertentu, “Maka tindakan tersebut berpotensi menjadi penyalahgunaan wewenang,” tegasnya.
Penyalahgunaan wewenang atau abuse of power atau dalam bahasa Prancis disebut dengan detournement de pouvoir, yaitu salah satu tindakan menyimpang badan/pejabat administrasi berdasarkan prinsip exces de pouvoir (melampaui batas kekuasaan) dalam konsep rechtstaat.
Menurut Anna Erliyana, titik berat dalam mengukur penyalahgunaan wewenang terletak pada apakah keputusan/tindakan pejabat tata usaha negara sesuai dengan motivasi atau alasan dikeluarkannya keputusan/tindakan tersebut.
Menurut Utrecht, detournement de pouvoir dapat terjadi ketika suatu alat negara menggunakan wewenangnya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum lainnya dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan. Utrecht memberikan istilah untuk hal tersebut sebagai menjungkirbalikkan wewenang atau afwenteling van macht.
Penyalahgunaan wewenang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam pemilu, dapat dikategorikan sebagai mencampuradukkan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Tindakan mencampuradukkan wewenang dapat berupa tindakan yang dilakukan oleh badan/pejabat pemerintahan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.
Adapun, jika tindakan presiden bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maka dapat dikategorikan sebagai tindakan melampaui wewenang.
“Presiden juga bisa dikategorikan bertindak sewenang-wenang jika keputusan atau tindakannya dilakukan tanpa dasar kewenangan dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” tegas Iwan Tarigan.
“Oleh karena itu kami meminta agar Bawaslu RI melakukan pengawasan dan tidak ragu melakukan penegakan hukum karena sudah menjadi amanat UU kepada Presiden, Menteri dan pejabat negara yang sudah mengaku maupun yang tidak mengaku menjadi Team Sukses agar tidak memanfaatkan wewenang, fasilitas dan jabatan yang diberikan negara yang sudah melekat pada diri mereka untuk memenangkan Paslon yang mereka dukung,” lanjutnya. (Irpi)