Pantaslah Narkoba Tidak Bisa Dilenyapkan, Polisi Ikut Berdagang

Ngerinya, yang mengkonsumsi sabu yang dijual oleh polisi itu adalah anak-anak remaja dan orang dewasa yang masih muda usia. Ini sangat memprihatinkan. Polisi yang seharusnya menjaga agar generasi muda tidak terperangkap menggunakan narkoba, ternyata ikut menjerumuskan mereka.

SUDAH sejak lama terdengar cerita tentang polisi yang ikut jual-beli narkoba, khususnya sabu-sabu yang sekarang disebut “sabu” saja. Cuma, orang tak berani bersuara. Sebab, orang takut polisi bisa melakukan apa saja terhadap orang-orang yang menyuarakan keterlibatan polisi.

Tapi, setelah Irjen Teddy Minahasa, yang mantan Kapolda Sumatera Barat, mengakui bahwa anak buahnya sering menyisihkan barang bukti narkoba untuk dikonsumsi sendiri, dan pengakuan agen wanita bernama Linda Anita bahwa Teddy menjual-belikan sabu hasil tangkapan, rakyat tidak ragu lagi untuk bersuara.

Di media sosial bisa dibaca hiruk-pikuk komentar netizen tentang polisi yang ikut menggunakan dan menjual narkoba.

Sungguh mengerikan situasi yang dihadapi Indonesia. Publik tidak boleh diam melihat praktik kotor yang bisa mengancam generasi penerus bangsa ini. Cengkeraman narkoba tersebut sudah sangat menakutkan. Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat narkoba sampai hari ini.

Di tengah situasi darurat itu, aparat yang ditugaskan dan diharapkan bisa memberantas narkoba –utamanya sabu – malahan terlibat mengedarkan dan mengkonsumsi barang berbahaya itu.

Sebetulnya, sebelum kasus Teddy terungkap, jagad Indonesia digemparkan oleh mafia narkoba di tubuh Kepolisian RI (Polri). Ini terbongkar setelah mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dituduh mengumpulkan ratusan miliar rupiah uang dari jaringan perjudian online maupun offline.

Sambo dituduh mengendalikan apa yang disebut sebagai “Konsorsium 303”, yaitu jaringan judi online. Waktu itu, awal Oktober 2022, beredar diagram yang menjelaskan liku-liku pengumpulan uang dari pembekingan judi online.

Tidak lama setelah diagram yang memberatkan Sambo itu beredar, muncul pula diagram balasan tentang dugaan keterlibatan Kabareskrim Komjen Agus Andrianto dalam mengumpulkan uang dari peredaran narkoba dan juga perjudian di Sumatera Utara (Sumut). Data menunjukkan Sumut adalah provinsi yang terbesar dalam hal peredaran narkoba.

Banyak personel kepolisian di Sumut yang terlibat narkoba. Dari kasus-kasus yang telah terungkap, anggota kepolisian berperan sebagai pengedar dan pemakai sekaligus.

Tidak terbatas di Sumut saja. Banyak pula kasus narkoba di daerah-daerah lain yang melibatkan polisi. Di kampung-kampung terpencil, termasuk di kawasan pinggir pantai, banyak warga yang bercerita tentang personel kepolisian yang ikut menjual-belikan sabu.

Ngerinya, yang mengkonsumsi sabu yang dijual oleh polisi itu adalah anak-anak remaja dan orang dewasa yang masih muda usia. Ini sangat memprihatinkan. Polisi yang seharusnya menjaga agar generasi muda tidak terperangkap menggunakan narkoba, ternyata ikut menjerumuskan mereka.

Penangkapan Teddy Minahasa ini boleh dikatakan sebagai puncak dari keterlibatan polisi dalam peredaran narkoba. Jika dilihat cara kerja mafia judi di tubuh Polri pasca kasus Sambo, publik tidak keliru untuk mengatakan bahwa mafia narkoba pun ada di instansi yang seharusnya menyandang kehormatan sebagai pelindung dan pengayom masyarakat itu. Termasuk melindungi rakyat dari ancaman narkoba.

Tapi, sayangnya, banyak polisi yang melakukan hal yang sebaliknya. Mereka malahan ikut menjadi pengedar dan pengguna narkoba – khususnya jenis sabu.

Berikut ini sebagian kasus narkoba sabu yang melibakan polisi. Pada akhir Oktober 2022, dua polisi Nias ditangkap yaitu Brigadir Joko dan Bripka Lahagu. Dua polisi di Jawa Timur dari salah polsek di Madiun dan polsek di Surabaya itu terciduk menjual sabu. Ini terjadi sekitar 20 Maret 2023.

Dari kasus Teddy Minahasa sendiri terungkap bahwa sejumlah polisi keluar-masuk Kampung Bahari di Jakarta Utara untuk menjual sabu. Kampung ini sejak lama sudah terkenal sebagai kampung narkoba.

Pada pertengahan Desember 2022, seorang polisi di Pamekasan, Madura, ditangkap karena terlibat mengedarkan narkoba sabu. Pada 2016, seorang polisi dan istrinya dijatuhi hukuman mati karena mengedarkan sabu 22 kilogram. Pada awal 2018, seorang intel Polres Semarang ditangkap karena menjual sabu.

Di Langsa, Aceh, Bripka S dipecat dengan tidak hormat pada akhir November 2022 karena menjual narkoba. Pada akhir November 2022 juga, dua polisi di Tarakan, Kalimantan Utara, yaitu Brigpol MA dan Briptu SA, dipecat karena terlibat pengedaran narkoba.

Pertengahan Februari 2022, Pengadilan Negeri di Tanjungbalai-Asahan, menjatuhkan hukuman 15-18 tahun penjara kepada 4 polisi Tanjungbalai yang menjual barang bukti sabu. Sedangkan 3 polisi lainnya dijatuhi hukuman mati dalam kasus yang sama. Ada 11 polisi yang ditangkap dalam kasus yang sama. Mereka ini menangkap 76 kilo sabu di perairan Asahan, tetapi sebanyak 19 kilo mereka sisihkan untuk dijual.

Pada bulan Juni 2022, seorang polisi Medan berinisial WW ditangkap karena menjual sabu kepada seorang hakim di Rangkasbitung, Banten. Beberapa hari lalu, tepatnya 18 Maret 2023, seorang polisi di Sipahutar, Bripka JS, ditangkap karena menggunakan narkoba.

Banyak lagi kasus narkoba yang melibatkan polisi. Panjang kalau mau dituliskan di sini. Cukuplah dikatakan bahwa pantaslah narkoba tidak bisa dibasmi. Karena polisi sendiri ikut menjadi pedagangnya. (*)