Awas, Pilpres Berpotensi Dibatalkan Lewat Huru-hara!
PEMILIHAN Umum dan Pemilihan Presiden (Pemilu – Pilpres) 2024 yang tinggal 35 hari lagi masih berpotensi batal atau gagal. Upaya ke arah itu ada, terutama jika persoalan DPT atau Daftar Pemilih Tetap tidak segera diselesaikan.
Tidak hanya nama fiktif dan ganda, bahkan nama yang sudah meninggal pun ditengarai masih ada yang masuk ke DPT. Ditengarai, ada juga warga asing yang masuk jadi pemilih, seperti temuan pengungsi Rohingya asal Myanmar bernama Sofi di Tulungagung, Jawa Timur. Belum lagi dugaan TKA China yang bekerja di pabrik atau industri pertambangan, dan isu ini sudah sangat santer pada Pilpres 2019.
Jumlah DPT bermasalah diperkirakan mencapai puluhan juta. Awal 2023, anggota Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) Lolly Suhenty menyebutkan terdapat 6.476.221 pemilih yang tidak memenuhi syarat. Kemudian berkembang lagi isu data 204 juta pemilih bocor.
DPT yang tidak akurat selain berpotensi membuat Pemilu dan Pilpres 2024 batal atau gagal juga menjadi celah yang sangat mudah dimanfaatkan untuk melakukan kecurangan. Apalagi, pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka yang didukung penuh Presiden Joko Widodo selalu berkoar-koar supaya Pilpres satu putaran. Entah apa dasarnya, sementara hasil survei terhadap pasangan nomor urut 2 itu semakin melorot.
DPT bermasalah tidak hanya terjadi sekarang. Melainkan juga dalam Pemilu-Pemilu dan Pilpres sebelumnya. Siapa yang melakukannya? KPU kah atau penguasa? Yang jelas KPU melakukannya di bawah tekanan penguasa, sehingga tidak berani memperbaikinya.
KPU dalam tekanan penguasa? Ya, itu yang terjadi. DPT bermasalah sudah terjadi sejak Pilpres 2009, saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih presiden dan menjadi capres berpasangan dengan Budiono. Selain SBY – Budiono, dua pasangan lainnya ketika itu adalah M. Jusuf Kalla – Wiranto dan Megawati – Prabowo Subianto.
Ini cerita yang saya peroleh dari Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah yang tidak mau disebutkan namanya. Dua hari menjelang Pilpres 2009, ada permintaan waktu agar pasangan Calon Presiden Megawati – Prabowo Subianto bertemu dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin.
Padahal, Din sedang tidak berada di Jakarta, tapi berada di suatu kota guna menghadiri resepsi pernikahan. Din, kabarnya mendapat telepon dari Cholid Ghozali, petinggi PDIP yang juga seorang purnawirawan TNI AD berpangkat Mayor Jenderal.
Telepon itu datang dari mertua mantan Kepala Staf Angkatan Darat, Dudung Abdurachman terjadi dua hari sebelum pencoblosan. "Itu hari Ahad, (5 Juli 2009), Din ditelepon Cholid Ghozali, mertua Dudung, meminta waktu Calon Presiden dan Wakil Presiden, Mega dan Prabowo ingin bertemu," kata sumber yang mengikuti pertemuan itu.
Padahal, sebelumnya pengurus PP Muhammadiyah sudah menerima keduanya sebagai pasangan capres dan cawapres. Oleh Ghozali dijelaskan yang akan bertemu tidak hanya Mega dan Prabowo, tetapi juga pasangan M. Jusuf Kalla (JK) dan Wiranto.
Karena berada di luar kota, kata sumber itu, Din meminta supaya pertemuan digelar Senin, 6 Juli 2019 malam. Tetapi, yang menelepon mengatakan sangat penting, Din diharapkan pulang Ahad, 5 Juli 2019 dan pertemuan digelar malamnya. "Disepakati pengurus Muhammadiyah menerima pukul 21.00 WIB. Ya, memberikan tenggat waktu kepada Din," kata sumber itu lagi.
Setiba di Jakarta, Din meluncur ke PP Muhammadiyah, di Jalan Menteng Raya Nomor 62 Jakarta Pusat. Ketika sampai pukul 22.30, di jalan di sekitar kantornya itu sudah penuh dengan ribuan massa dan terpaksa turun dari mobil dan berjalan kaki, hingga bisa masuk.
Saat melihat massa, Din juga kaget karena mereka meneriakkan yel-yel, "Tunda Pemilu dan Pilpres!"
Ketika turun dari mobil langsung dikawal beberapa orang berbadan tegap dan kekar yang mengaku dari Kokam memakai baju putih. Padahal, Kokam atau Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah menggunakan seragam loreng. Usut punya usut, ternyata Kokam 'parikulir' binaan seseorang mantan petinggi militer.
Kedatangan pasangan Capres dan Cawapres JK – Wiranto, serta Megawati – Prabowo tidak lain meminta agar Muhammadiyah mendukung usulan mereka menunda Pemilu dan Pilpres.
Sempat dijelaskan oleh seorang petinggi PDIP, Pilpres bisa dibatalkan jika terjadi kerusuhan, huru-hara atau chaos.
Kenapa dua paslon JK – Wiranto dan Mega – Prabowo meminta Pemilu dan Pilpres dibatalkan? Karena hal itu berkaitan dengan masalah DPT yang tidak beres. Maklum, lawan mereka SBY yang masih presiden dan memiliki kekuasaan menekan KPU supaya tidak mengubah DPT bermasalah itu.
Karena ada peluang bisa dibatalkan akibat kerusuhan atau huru-hara, maka keluarlah kalimat, "Besok (Senin, 6 Juli 2009) akan ada pengerahan massa 50.000 orang dari Cengkareng (Jakarta Barat) ke KPU membuat kerusuhan."
Jelas Muhammadiyah menolaknya. Din yang memimpin pertemuan bersama pengurus lainnya tegas menolaknya.
Senin 6 Juli 2009 pagi, perwakilan Capres/Cawapres, JK – Wiranto dan Mega – Prabowo, petinggi Muhammadiyah, termasuk mendatangi KPU. Agendanya, mendesak KPU membuka data DPT yang bermasalah.
Ternyata KPU yang berada di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat juga sudah didatangi massa. Aula KPU, tempat pertemuan digelar juga sudah penuh sesak.
Massa yang hadir masih berteriak supaya Pemilu dan Pilpres dibatalkan karena DPT bermasalah. KPU dituduh tidak mau membuka datanya.
Akibat desakan massa, akhirnya KPU pun membuka DPT bermasalah itu. Angkanya itu sangat fantastis, 17 juta. Akhirnya KPU membuka datanya dan terdapat 17 juta DPT bermasalah di 7 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogjakarta, Jawa Timur, dan Bali.
Tapi, DPT bermasalah itu tidak bisa diubah atau diperbaiki lagi karena waktu pencoblosan tinggal sehari. Berdasarkan peraturan, perbaikan hanya bisa dilakukan minimal sebulan sebelum pesta demokrasi itu.
Din Syamsudin membenarkan pertemuan di PP Muhammadiyah maupun di KPU. Hal itu ia sampaikan kepada wartawan saat 'Refleksi Awal Tahun 2024' yang digelar Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju, di Jakarta, Kamis 4 Januari 2024.
Din bahkan menyebutkan Prabowo sempat mengatakan, "Gila DPT!"
Mumpung sekarang masih ada waktu sebulan, sebaiknya KPU menjelaskan secara terang-benderang tentang DPT yang dicurigai bermasalah. Jika benar ada masalah, selesaikan.
Sebab, persoalan tersebut muncul, baik dalam Pemilu dan Pilpres 2014 dan 2019 maupun 2024. Komisioner KPU tidak perlu takut, karena rakyat mendukung. Jangan sampai masalah DPT ini turun-temurun dan menyebabkan hasil pesta demokrasi cacat.
Perlu dibuka secara terang-benderang. Hal ini mengingat, SBY kini mendukung Prabowo. Demikian juga Jokowi. Artinya upaya kecurangan bisa terjadi karena ada yang berpengalaman melakukannya, kini didukung Jokowi yang tidak lain presiden, punya kuasa dan ayah Gibran.
Awas! Masih ada upaya membatalkan Pilpres lewat huru-hara. Atau hasilnya penuh kecurangan. (*)