Ingin Jebak Anies, Firli Malah Jadi Tersangka
JUM'AT, 1 Desember 2023, Firli Bahuri akan diperiksa sebagai tersangka oleh penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya (PMJ) dalam kasus pemerasan terhadap Syarul Yasin Limpo (SYL) saat masih menjabat Menteri Pertanian. Pemeriksaan tetap dilakukan di Bareskrim Polri.
Dia diharapkan kooperatif, tidak seperti pemanggilan kedua sebagai saksi yang lebih mementingkan acara di Aceh. Padahal, Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang telah diberhentikan sementara oleh Presiden Joko Widodo itu seorang petinggi penegak hukum yang mestinya bisa memberikan contoh kepada masyarakat.
Firli kini bukan siapa-siapa lagi kecuali kata tersangka yang disandangkan kepada purnawirawan Perwira Tinggi atau Pati Polisi berpangkat Komisaris Jenderal itu. Status tersangka membuatnya tidak lagi memiliki taring, termasuk tak lagi bisa leluasa ke gedung Merah Putih KPK, karena aksesnya sudah diputus.
Apakah Firli malu dengan statusnya sebagai tersangka? Dari berbagai ucapan dan upaya perlawanan hukum yang dilakukannya, termasuk praperadilan atas status tersebut, terlihat dan terbaca jelas tak ada rasa malu itu. Upaya hukum adalah hak setiap orang yang ditetapkan menjadi tersangka, termasuk melakukan pembelaan saat menjadi terdakwa di hadapan hakim pengadilan negeri.
Jika punya malu, etika dan moral, dia harusnya memohon maaf dan menyatakan mundur. Tetapi, etika dan moral dilabrak dengan berlindung kasusnya baru tersangka.
Firli tidak punya malu. Berbagai manuver dilakukannya sebelum menjadi tersangka. Ada surat perintah penangkapan terhadap Harun Masiku, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang jadi buron sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024.
Sudah tiga tahun atau sejak Januari 2020, Harun Masiku tidak kunjung tertangkap. Firli mencoba membuat manuver, mana tahu ada orang yang simpati padanya.
Firli tidak tahu malu dan terus bermanuver. Selain mengeluarkan surat penangkapan terhadap Harun Masiku, dia mencoba menggiring masalah korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) dengan menyeret Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya, Karyoto.
Kata Firli, kasus Kementan sudah lama dilaporkan melalui pengaduan masyarakar pada 2020. Dia mau menyeret-nyeret Karyoto karena menjadi "musuh" bebunyutannya di KPK. Karyoto adalah Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK yang "dibuang" Firli.
Nasibnya berbeda dengan Brigjen (Brigadir Jenderal) Endar Priantoro, Direktur Penyelidikan.
Karyoto yang diminta Firli ditarik/dikembalikan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), malah menjadi Kapolda Metro Jaya. Sedangkan Endar Priantoro melakukan perlawanan dan menang. Dia kemudian dikembalikan ke komisi anti rasuah itu, tetap sebagai Direktur Penyelidikan.
Meski kembali ke posisi semula berdasarkan surat keputusan 27 Juni 2023, namun Endar dibebastugaskan, karena langsung masuk pendidikan Lemhanas atau Lembaga Pertahanan Nasional. Dia di-Lemhanas-kan selama enam bulan.
Firli cari perhatian dan tak tahu malu. Itulah kelakuan pria yang sejak awal ditolak masuk ke KPK itu. Mencari perhatian dengan menyebutkan merasa asing saat diperiksa di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Padahal, dia sudah mengabdi 40 tahun di lembaga penegakan hukum itu dan lama berkecimpung di dunia reserse.
Tidak hanya merasa asing. Pria kelahiran Prabumulih, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, 8 November 1963 (60 tahun), itu pun berkeluh-kesah karena mobil pribadinya hilang di Mabes Polri. Kok bisa hilang?
Mau mencari sensasi, tetapi ternyata dia berbohong. Ketika dia ditetapkan menjadi tersangka, ternyata ada dua mobil miliknya yang disita polisi bersama barang bukti lainnya. Apa iya, mobil Ketua KPK yang juga purnawirawan Pati Polisi bisa hilang di kantor polisi? Aneh!
Banyak manuver yang dilakukannya supaya lolos dari jeratan hukum. Tetapi, mustahil Firli bisa menghindarinya. Apalagi, para mantan pimpinan KPK yang diperiksa sebagai saksi memberikan keterangan memberatkan. Setelah menjadi tersangka, mantan pimpinan KPK justru meminta agar mantan Kapolda Sumatera Selatan itu ditangkap.
Setali tiga uang, empat komisioner KPK di bawah Ketua Sementara, Nawawi Pomolango ini juga menolak memberikan bantuan hukum terhadap mantan Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri itu.
Kembali ke peristiwa Karyoto dan Endar yang dikembalikan Firli ke Mabes Polri. Hal tersebut terjadi karena dua orang itu menolak menaikkan status penyelidikan Formula-E menjadi penyidikan. Dalam kasus ini, yang ingin dibidik Firli adalah Anies Rasyid Baswedan. Formula-E digelar di Ancol, Jakarta Utara, pada 4 Juni 2022, saat Anies menjadi Gubernur DKI (Daerah Khusus Ibu Kota) Jakarta.
Kabarnya, Firli bernafsu membidik Anies atas perintah Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Perintah datang dalam sebuah pertemuan empat mata. Formula-E dijadikan senjata tajam dan ampuh guna menjegal atau menamatkan Anies menjadi calon presiden (Capres) 2024.
Nyatanya, pisau Firli tidak tajam. Pelurunya kurang banyak, dan Karyoto serta Endar menjadi orang yang dianggap menghalangi rencana jahat itu. Padahal, memang tidak ada bukti kuat. Bahkan, ada penyidik KPK yang memeriksa Anies diarahkan dengan kalimat menjebak.
Penyidik yang memegang surat disposisi Anies mengatakan, "Dilanjutkan". Tetapi, Anies yang juga pernah menjadi Ketua Komite Etik KPK hingga bertugas sebagai anggota Tim 8 KPK meminta agar disposisi itu dia baca. Nah, kalimatnya "...sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku". Jadi, ada kata atau kalimat yang dipotong penyidik.
Gila benar. Anies yang pegiat anti korupsi hendak dijebak oleh Firli melalui penyidik. Ingin menghentikan langkah cemerlang Anies, malah karier Firli tamat. (*)