Mantan Mendag Era SBY Ingatkan Program Hilirisasi Jokowi Harus Go Green
Jakarta, FreedomNews - Program hilirisasi yang didorong pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menciptakan nilai tambah dinilai belum bisa mendukung keberlanjutan lingkungan dan ekonomi hijau. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia RI Mari Elka Pangestu menyampaikan bahwa program hilirisasi yang dilakukan pemerintah harus mengusung konsep responsible dan sustainable. Pasalnya, untuk benar-benar menciptakan nilai tambah, pemerintah perlu mempertibangkan cadangan mineral yang ada, juga harus bisa mendukung ekosistem hijau.
“Untuk masuk ke EV (electric vehicle), baterai, prosesnya istilahnya washing, diproses itu menggunakan energi yang besar, itu pakai batu bara atau EBT (energi baru terbarukan)? Karena itu juga akan diusut. Ceritanya mau EV, EV adalah bagian dari green product, masa memproduksinya tidak green?” katanya dalam acara 12th Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED), Kamis (7/12/2023). Mari menambahkan, hilirisasi perlu dilakukan secara strategis. Pertama, tidak menghabiskan sumber yang tidak renewable. Kedua, proses produksi harus hijau. Ketiga, melakukan pertimbangan yang baik.
“Memproduksi ini bukan hanya untuk dalam negeri, untuk pasar global dan untuk bisa masuk pasar global kita harus perhatikan yang terjadi di AS dan di Eropa, yang kalau ada unsur China-nya, atau perusahaan China, kita perlu strategis saja. Kita tetap harus engage China karena teknologinya dia yang miliki. Kita harus pelajari bagaimana secara strategis kita bisa diversify secara regional untuk bisa memperkuat suatu hub di baterai atau EV atau renewable energy production-nya,” kata mantan Menteri Perdagangan tersebut. Dalam kesempatan yang sama, Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia Tiza Mafira menyampaikan bahwa di satu sisi, banyak investor yang mengaku enggan membeli produk hijau atau berinvestasi di Indonesia, utamanya karena proses hilirisasi di Indonesia belum menerapkan konsep hijau. “Negara dan perusahaan semakin banyak yang bilang saya tidak yakin mau beli produk hijau atau investasi di proyek hijau di Indonesia, karena proses pertambangan, peleburan, pembangkit listrik, dan proses manufaktur di Indonesia pada umumnya tidak ramah lingkungan. Mereka ada benarnya,” katanya. Di sisi lain, dia mengatakan pemerintah Indonesia memang sukses dengan kebijakan hilirisasi mineral. Namun demikian, proses dalam hilirisasi tersebut tetap menghasilkan emisi karbon yang besar.
“Perizinan investasi tambang meningkat pesat, pinjaman untuk pertambangan melampaui pinjaman sektor lain. Realitanya, dengan jor-joran hilirisasi, akhirnya malah membuat kesalahan ekstraktif yang sama seperti upstreaming dulu dengan minyak dan batu bara,” jelasnya. Menurutnya, pemerintah masih perlu melakukan evaluasi dan perencanaan ke depan, juga perlu menetapkan batasan waktu mengingat mineral merupakan sumber daya alam yang dapat habis. “(Pemerintah Indonesia) harus memiliki strategi, menetapkan jenis mineral apa yang dibutuhkan, untuk berapa banyak dan berapa lama. Harus ditetapkan batas waktu dan kuota lisensi. Kita harus menghindari kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada ekosistem yang sudah langka,” kata Tiza.(dtf/keu)