“Perlawanan” Bursok Anthony Atas Pernyataan Menkeu Berlanjut
Jakarta, FreedomNews – Adalah Bursok Anthony Marlon, Kasubbag TURT )Tata Usaha danRumah Tangga) Kanwil DJP Sumut II, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang mengeluhkan laporannya yang dikirim ke Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah 2 tahun ini tidak direspon sama sekali.
Sehubungan dengan Press Statement Menteri Keuangan dan Menko Polhukam Mahfud MD terkait temuan PPATK tanggal 11 Maret 2023, Bursok menyampaikan penjelasannya kepada Menkeu Sri Mulyani. Bahwa ada 2 (dua) poin penting yang perlu dikoreksi, dengan penjelasan sebagai berikut:
Pertama, bahwa di menit ke 36:05 secara implisit Menkeu menyinggung pengaduan itu sebagai pengaduan yang berindikasikan penipuan atas investasi bodong dan dia masih menganggap pengaduan Bursok tersebut adalah masalah pribadi.
Kedua, bahwa pada menit ke 16:38 Menkopolhukam, Mahfud MD, menyatakan adanya dugaan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) yang bukan korupsi dan menyinggung Rafael Alun Trisambodo yang mana Sri Mulyani tidak mengomentari pernyataan tersebut dari sisi peraturan perundang-undangan perpajakan.
Menurut Bursok, terkait 2 (dua) poin penting yang dijelaskan di atas, Bursok dapat sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa pengaduannya, yang sudah dilimpahkan ke OJK dengan surat nomor S-11/IJ.9/2022 pada 21 April 2022 yang Bursok duga bodong dan ternyata masih ada di Direktorat Intelijen Perpajakan KPDJP, bukanlah pengaduan yang berindikasikan penipuan atas investasi bodong.
Pengaduan Bursok adalah pengaduan adanya PT bodong bernama PT Antares Payment Method dan PT Beta Akses Vouchers yang tidak memiliki NPWP, tidak terdaftar di Kemenkumham, tetapi bisa memiliki penghasilan di negara Republik Indonesia dengan cara membuka rekening virtual di 8 bank dan tidak membayar pajak, dimana tidak membayar pajak adalah sama dengan korupsi.
“Investasinya sama sekali tidak bodong. Bahkan, hingga saat ini Capital.com dan OctaFX masih beroperasi. Investasi bodong dan PT bodong adalah 2 hal yang sangat berbeda,” tegas Bursok dalam suratnya yang diterima Freedom News, Senin (13/3/2023).
Kedua, bahwa pengaduan Bursok dimaksud, yang masih dianggap sebagai permasalahanpribadinya, telah dijawab melalui surat Bursok tertanggal 2 Maret 2023 yang perlu ia ulangi kembali bahwa pengaduan itu yang dianggap sebagai masalah pribadi, bukan berarti memberikan keuntungan pribadi bagi Bursok.
“Bahwa pengaduan saya tersebut berpotensi menambah keuangan negara di mana ada bagian dari pendapatan negara, hak negara, yang diabaikan oleh banyak pihak yang jumlahnya tidaklah sedikit,hingga saya kemudian jadi mempertanyakan jiwa nasionalisme Ibu Menkeu pada negara Republik Indonesia ini yang mana seolah-olah bila itu urusan pribadi, meskipun ada dugaan kerugian negara yang ditimbulkan, tidak perlu ditindaklanjuti,” ungkap Bursok.
Ketiga, bahwa terkait poin penting ke-2 di atas, menurut Bursok, seharusnya Menkeu sebagai orang nomor satu di Kementerian Keuangan, memberikan koreksi dan masukan kepada Menkopolhukam Mahfud MD (tanpa mengurangi rasa hormatnya Mahfud MD), dimana yang namanya dugaan TPPU,oknum terduga pelanggar TPPU bisa dijerat dengan dugaan pelanggaran tindak pidana korupsi bila dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan perpajakan.
“Sekarang saya jelaskan terlebih dahulu dengan kalimat yang sederhana agar siapapun yang membaca surat saya ini dapat mengerti,” kata Bursok.
Menurutnya, TPPU itu jika mau digambarkan, seperti oknum yang memiliki usaha illegal membuka usaha perjudian, menjual narkoba dan lain-lain kemudian uang haram yang dihasilkannya tersebut ”dicuci” dengan cara misalnya ditabung di bank, sehingga uang haram tersebut menjadi tercampur dengan uang halal yang ditabung masyarakat atas penghasilannya yang diperoleh dari usaha yang halal. Uang haram yang telah “tercuci” itu bisa jadi telah tersebar melalui mesin ATM dari Sabang sampai ke Merauke.
Kemudian, bagaimana uang haram tersebut bisa masuk ke dalam sistem keuangan di perbankan? Salah satunya adalah dengan membuat PT-PT bodong, seperti PT Antares Payment Method dan PT Beta Akses Vouchers dengan melakukan kerjasama ke berbagai bank untuk dibuatkan rekening virtualnya, sehingga dari rekening-rekening virtual inilah uang-uang haram tersebut diduga dapat masuk ke sistem keuangan di perbankan.
“Atau, bisa jadi uang tersebut disimpan di SDB (Safe Deposit Box) terlebih dahulu sebelum masuk ke sistem keuangan di perbankan, juga dengan melakukan kerjasama ke berbagai bank yang mau diajak kerjasama,” ungkap Bursok.
TPPU sejatinya juga merupakan pelanggaran korupsi bila diambil contoh kasusnya Rafael Alun Trisambodo (RAT) yang memiliki uang sebesar Rp 37 miliar di SDB (Safe Deposit Box) dengan menggunakan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Jumlah temuan Rp 37 miliar yang menurut KPK tidak ada dilaporkan dalam LHKPN itu seharusnya tidak juga tercantum dalam SPT Tahunan RAT, berdasarkan pasal 17 UU Pajak Penghasilan, dari Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 37 miliar itu, terdapat PPh yang terutang adalah sebesar Rp 12.644.000.000,00 (dua belas miliar enam ratus empat puluh empat juta rupiah).
“Itulah pajak yang seharusnya disetorkan ke kas negara. Bila jumlah sebesar Rp 12.644.000.000,00 tersebut tidak dibayarkan, di sanalah terjadinya kerugian negara, yang tidak membayar pajak sama dengan korupsi,” lanjut Bursok.
Sanksi atas dugaan tindak pidana perpajakan tersebut bisa ditetapkan berdasarkan kuasa pasal 39 UU KUP dimana sanksinya berupa pidana maksimal 6 tahun penjara dan denda maksimal 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak dibayar tersebut. Sehingga negara berpotensi mendapatkan haknya sebesar maksimal Rp 63.220.000.000,00 (enam puluh tiga miliar dua ratus dua puluh juta rupiah).
“Mengapa pendekatan dari sisi perpajakan ini tidak Ibu Menkeu ungkapkan selaku orang nomor 1 di Kementerian Keuangan kepada Bapak Mahfud MD, sebelum Press Statement pada 11 Maret 2023? Karena saya menduga jika Ibu mengetahui bahwa pendekatan dari sisi perpajakan seperti ini yang menjadi salah satu yang diduga kuat bisa membuat harta oknum-oknum pegawai di lingkungan DJP menjadi jumbo luar biasa,” jelas Bursok.
Terduga pelanggar TPPU diduga bisa saja diskenariokan untuk tidak perlu membayar ke negara sebesar maksimal Rp 63.220.000.000,00 (enam puluh tiga miliar dua ratus dua puluh juta rupiah).Cukup bayar ke kantong oknum DJP setengahnya dan semua menjadi aman terkendali.
“Itu sebabnya mengapa Ibu Menkeu tidak mau menjawab pertanyaan saya terkait para pejabat yang tertangkap tangan (OTT) oleh KPK atau aparat penegak hukum lainnya, tidak serta merta dijadikan tersangka pelaku pelanggaran tindak pidana perpajakan,” tambahnya.
Terkait SDB, seharusnya Menkeu Sri Mulyani mengumumkan kepada publik bank mana yang telah memfasilitasi RAT dalam kemudahan menyimpan uang sebesar Rp 37 miliar di dalam SDB. Bila kita mundur ke belakang, terkait kasus aplikasi Binomo yang menyeret Indra Kenz, Bareskrim Polri jelas-jelas menyebutkan nama bank BCA tempat penyimpanan 2 sertifikat dan 1 flash disk milik Indra Kenz di dalam SDB milik bank BCA.
“Apakah Ibu khawatir jika ternyata bank tempat RAT menyimpan uangnya di SDB ternyata diduga di bank BUMN yang mana pengawasnya yang terdaftar di susunan anggota komisaris ternyata pejabat dari Kementerian Keuangan?” tandas Bursok.
Menurutnya, terkait dengan SDB, bank tempat RAT menyimpan uangnya di SDB sudah seharusnya dimintakan pertanggung-jawabannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan turut mengakomodir dugaan pelanggaran TPPU.
“Terus terang bahwa mama saya yang seorang lansia itu pernah menggunakan fasilitas SDB untuk menyimpan sebuah sertifikat rumah peninggalan almarhum papa saya demi keamanan disebabkan di usia mama saya yang sudah di atas 70 tahun tidak memungkinkan menyimpan barang berharga tersebut seorang diri selain menggunakan fasilitas SDB,” ungkap Bursok.
Ringkas cerita, lanjutnya, mamanya diminta untuk membuka rekening di bank pemilik fasilitas SDB, kemudian menulis di daftar yang diberikan bank, apa-apa saja yang mau dimasukkan dalam SDB.Uang tidak diperkenankan dimasukkan ke dalam SDB dan ketika mama Bursok mau memasukkan sertifikat itu ke dalam SDB, pihak bank turut menyaksikan bahwa yang dimasukkan ke dalam SDB adalah benar-benar sertifikat asli sesuai daftar yang diisi oleh mamanya.
“Di luar itu tidak diperkenankan sama sekali. Nah, terkait kasus RAT, tidak mungkin bank tidak mengetahui barang-barang yang dimasukkan RAT ke dalam SDB karena pihak bank dipastikan turut menyaksikan barang-barang yang dimasukkan ke dalam SDB saat itu satu-persatu sesuai daftar, karena tentu bank juga menghindari jangan sampai ada barang-barang terlarang, seperti uang, narkoba, dll masuk ke dalamnya,” ungkap Bursok.
Atas temuan uang sebesar Rp 37 miliar di SDB ini, pejabat bank dapat diduga melanggar Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (UU Perbankan) dimana sanksinya selain pidana penjara maksimal 15 tahun, sanksi denda maksimal Rp 300 miliar yang harus disetorkan ke kas negara juga menanti.
“Terkait SDB, seharusnya Ibu sebagai orang nomor satu di Kemenkeu dapat bekerja-sama dengan OJK utk melakukan investigasi ke seluruh SDB dikarenakan jangan-jangan banyak sekali bank-bank yang diduga mau diajak kerja-sama oleh nasabahnya untuk melakukan dugaan pelanggaran TPPU ini,” tegas Bursok.
Bahwa atas penjelasan di atas, sekali lagi, Bursok sama sekali tidak percaya jika Menkeu sanggup menindaklanjuti pengaduannya ini dan kasus-kasus yang menimpa Kemenkeu yang diduga juga melibatkan oknum-oknum pejabat Kemenkeu dan perbankan, berdasarkan kronologis yang sudah disampaikan dan apakah Sri Mulyani masih amanah dalam mengemban tugas sebagai Menkeu di negara Republik Indonesia ini ataukah tidak, “hanya Ibu Menkeu yang sanggup menjawabnya dengan menggunakan hati nurani.” Mochamad Toha