Transaksi Berjalan Indonesia Diramal Defisit pada 2023
Jakarta, FreedomNews - Transaksi berjalan (current account) Indonesia diperkirakan mengalami defisit kecil seiring dengan tren surplus neraca perdagangan yang diperkirakan berlanjut hingga akhir 2023. Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memperkirakan transaksi berjalan akan mencatatkan defisit yang terkendali, sebesar 0,15% dari PDB pada akhir 2023. "Transaksi berjalan diperkirakan mencatat defisit kecil sebesar 0,15% dari PDB, dibandingkan dengan surplus 0,99% pada 2022," katanya, Minggu, 14 Januari 2024.
Pada Desember 2023, Andry memperkirakan neraca perdagangan Indonesia akan membukukan surplus sebesar US$1,83 miliar, meski menyusut dari bulan sebelumnya sebesar US$2,41 miliar. Menurutnya, kinerja ekspor Indonesia pada Desember 2023 terkontraksi sebesar 8,38% secara tahunan, dipengaruhi oleh permintaan yang melemah, utamanya dari negara mitra dagang karena aktivitas perdagangan global yang masih lemah. Sementara itu, impor pada Desember 2023 diperkirakan tumbuh 0,68% secara tahunan seiring dengan perekonomian domestik yang menguat.
Dengan perkembangan tersebut, Andry memperkirakan surplus neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2023 mencapai US$35,5 miliar, di mana nilai ekspor diperkirakan mencapai US$258 miliar dan nilai impor diperkirakan sebesar US$222 miliar. Senada, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan transaksi berjalan pada 2023 akan mengalami defisit kecil sebesar 0,14% dari PDB. Dia memperkirakan, neraca perdagangan sepanjang 2023 akan membukukan surplus sebesar US$35,63 miliar.
Sementara pada 2024, Josua memperkirakan transaksi berjalan mengalami defisit yang melebar menjadi sebesar 0,70% terhadap PDB. Pelebaran defisit transaksi berjalan tersebut kata dia dipengaruhi oleh ekspektasi perlambatan ekonomi global terutama mitra dagang utama Indonesia, seperti Amerika Serikat dan China. “Meskipun demikian, pelebaran defisit masih di bawah 1% terhadap PDB mengingat upaya pemerintah yang mendorong percepatan hilirisasi, yang diharapkan dapat membatasi risiko penurunan surplus perdagangan di tengah permintaan global yang sedang berlangsung dan penurunan harga komoditas, serta harga minyak dunia yang lebih rendah dari yang diantisipasi sebelumnya,” kata Josua.(dtf/keu)