Akar Teologis Kapitalisme
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, keyakinan dan konsepsi keagamaan sangat besar pengaruhnya pada perkembangan kehidupan. Bahkan pada kebangkitan ekonomi modern yang tampak sebagai fenomena sekular, seperti kapitalisme, pasar bebas dan negara kesejahteraan, sesungguhnya bisa dilacak akar-akar teologisnya.
Hal itu tersimpul dalam buku "Religion and the Rise of Capitalism", karya Benjamin M. Friedman (2021). Bertentangan dengan pandangan sejarah konvensional yang menganggap ekonomi sebagai produk sekuler pada masa pencerahan, Friedman menunjukkan bahwa agama memberikan pengaruh yang kuat sejak awal.
Friedman memperjelas bagaimana transisi mendasar dalam pemikiran tentang apa yang sekarang kita sebut ekonomi, yang dimulai pada abad ke-18, secara kuat dibentuk oleh garis-garis pemikiran keagamaan yang saling bertentangan dalam dunia Protestan berbahasa Inggris.
Hingga abad ke-18, dunia pemikiran di Eropa Barat sangat kuat dipengaruhi lingkungan epistemik Protestantisme, terlebih institusi universitas saat itu umumnya merupakan perpanjangan dari institusi gereja. Dan hingga awal abad itu, teologi Calvinis Ortodoks menjadi arus utama pemikiran keagamaan yang berkembang.
Teologi Calvin sering diringkas dengan akronim TULIP. T mengingatkan bahwa kita Totally depraved (sepenuhnya bobrok). U mewakili fakta bahwa keselamatan itu Unconditional (tak bersyarat); Tuhan dan hanya Tuhan yang memilih orang-orang pilihan dan kita tidak dapat memengaruhi pilihan-Nya.
Terlebih lagi, penebusan itu bersifat Limited (terbatas); Tuhan hanya menyelamatkan mereka yang terpilih. Selain itu, kasih karunia Tuhan itu Irresistible (tak dapat ditolak); jika dia menelepon, kami tidak punya pilihan selain merespons. Yang terakhir, doktrin Preservation (penjagaan) orang-orang kudus mengingatkan kita bahwa Allah tidak pernah berubah-ubah; begitu Dia memberikan keselamatan, Dia memberikannya selamanya.
Pandangan Calvin yang deterministik dan sangat pesimistis mengenai sifat manusia, kurang sejalan dengan dinamika ekonomi pasar baru dan gairah individu untuk berburu kemakmuran yang dipacu oleh merkantilisme. Negeri Belanda akibat kemakmuran yang diperoleh sebagai penguasa perdagangan antarbenua (terutama dari Hindia Belanda) sejak pertengahan abad-17, menjadi tempat persemaian komunitas epistemik yang lebih liberal.
Dari lingkungan Universitas Leiden, muncullah seorang profesor teologi Protestan pembaharu, bernama Jacobus Arminius (1560-1609). Arminius menganggap Calvinisme yang ketat menghina Tuhan. Bahwa kemuliaan Tuhan tidak dapat dihargai sepenuhnya jika orang yang menyembah-Nya tak memiliki kebebasan untuk memilih-Nya.
Jika manusia mempunyai kehendak bebas, maka konsep predestinasi harus diubah dan gagasan tentang orang-orang pilihan yang terbatas harus diperluas.
Pemikiran Arminian menegaskan “kebaikan alami manusia berbeda dengan kebobrokan bawaan, peran sentral dari kebebasan memilih dan bertindak berbeda dengan predestinasi dan rancangan alam semesta tidak semata-mata untuk memuliakan Tuhan tetapi juga untuk meningkatkan kebahagiaan manusia.”
Perdebatan yang diprakarsai oleh kaum Arminian pada awalnya hanya terbatas di Belanda, namun tak lama kemudian merembet ke Inggris dan Skotlandia. Lantas memengaruhi pemikiran para teolog dan ilmuwan di kawasan tersebut, termasuk lingkaran komunitas epistemik di Universitas Edinburg dan Glasgow, termasuk Adam Smith dan David Hume.
Smith sendiri tak terlalu peduli pada agama, bahkan Hume secara aktif bersikap bermusuhan. Meski begitu, kuatnya pengaruh lingkungan epistemik keagamaan berdampak pada tulisan mereka.
Bahkan Smith sendiri bukan seorang profesor ekonomi – karena saat itu ekonomi belum menjadi disiplin ilmu tersendiri – melainkan profesor teologi "natural" (teologi yang memahami Tuhan tidak berdasarkan kitab suci, melainkan berbasis hukum alam).
Di tangan para sarjana semacam Smith inilah, ilmu ekonomi baru muncul dengan mensekulerkan gagasan-gagasan Arminian, yang menggambarkan sebuah dunia di mana pasar dan lembaga-lembaga sekuler lainnya akan mengambil alih tugas Tuhan untuk meningkatkan prospek manusia.
Teologi Arminian mempunyai pengaruh yang paling bertahan lama di Amerika Serikat. Kaum Puritan, penganut jenis Calvinisme yang lebih ketat, tidak mempunyai pandangan optimis tentang sifat manusia.
Mungkin karena alasan itulah, teologi mereka semakin terasa ketinggalan zaman di negara baru yang penuh semangat ini. Ketika Amerika berkembang, Arminianisme juga berkembang, berbentuk Metodisme dan semua varian yang muncul setelahnya. Pada pertengahan abad ke-19, Calvinisme yang ketat hanya tinggal kenangan.
Kecuali di kalangan mereka yang menyebut dirinya fundamentalis. Fundamentalisme diasosiasikan dengan apa yang oleh para teolog disebut sebagai eskatologi premilenial (eskatologi berkaitan dengan akhir zaman), di mana Yesus akan memulai Kedatangan Kedua.
Sebagian besar umat Protestan setuju, namun kapan dan bagaimana masih menjadi bahan perdebatan. Penganut paham premilenialisme menganut keyakinan bahwa sifat bawaan kita yang penuh dosa akan membawa kita ke masa yang penuh gejolak, dan baru setelah itu Yesus akan menampakkan diri dan mengambil sisa-sisa orang yang sungguh-sungguh benar (the righteous).
Kaum postmillennialis menantang gagasan semacam itu sepanjang abad ke-19 dan ke-20. Mereka mengajarkan bahwa umat manusia dapat memenangkan hati Yesus dengan melakukan reformasi sosial seperti penghapusan perbudakan atau perbaikan kondisi kerja. Terinspirasi oleh kebaikan mereka, Yesus akan menunda kedatangannya sampai dunia yang menyerupai ajaran sosialnya tercipta.
Protestantisme Liberal muncul dari postmillennialisme dan mempunyai tumpang tindih dengan ekonomi; Richard T. Ely (1854-1943), salah satu pendiri American Economics Association, merupakan contoh utama.
Kecenderungan reformis Ely memainkan peran utama dalam membangun gerakan Social Gospel, yang akhirnya membuahkan hasil pada masa New Deal. Friedman berargumentasi, kendati ilmu ekonomi Social Gospel melontarkan pertanyaan serius tentang kemanjuran laissez-faire, namun hal itu sangat sejalan dengan konsepsi kemajuan manusia yang ditemukan dalam Smith dan Hume.
Lewat buku ini, Friedman mengambil jalur yang berbeda dengan Max Weber dalam mencari hubungan antara agama dan kapitalisme. Weber menjangkarkan tolakan ke arah kapitalisme itu pada keyakinan dan etos Protestan secara keseluruhan, terutama pada teologi Calvinis. Sedangkan Friedman cenderung menarik akarnya pada teologi protestan yang lebih liberal.
Namun, lepas dari perbedaan perspektif, keduanya memberi insight tentang pentingnya menyiapkan kerangka teologi untuk tujuan transformasi sosial, terutama bagi masyarakat bangsa dengan pengaruh agama yang masih menghunjam dalam di jantung kehidupan warga. (*)