Buku Kehidupan
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim
SAUDARAKU, selepas sahur, saya membaca lagi buku "Genome: The Autobiography of a Species in 23 Chapters", karya Matt Ridley.
Diuraikan bahwa tubuh manusia terdiri dari sekitar 100 triliun Sel. Di dalam setiap sel ada bintik hitam yang disebut inti (nucleus). Tiap inti mengandung dua perangkat lengkap gen (genom) manusia: seperangkat dari ibu dan seperangkat dari ayah.
Setiap Genom ibarat buku autobiografi manusia yang ditulis dengan kode-kode kimia, pada rantai-rantai panjang gula dan fosfat yang disebut molekul DNA.
Buku itu terdiri dari 23 bab yang disebut Kromosom, yang mengandung sepasang molekul DNA yang sangat panjang. Tiap bab terdiri dari beberapa ribu cerita yang disebut Gen. Setiap cerita tersusun dari paragraf yang disebut Ekson, dan diselingi iklan yang disebut Intron. Tiap paragraf terbentuk dari kata-kata yang disebut Kodon. Tiap kata terdiri dari huruf-huruf yang disebut Basa.
Bayangkan, dalam bintik kecil bermuatan genom yang membentuk rantai DNA itu, seluruh rangkaian sejarah manusia terekam sejak awal kehidupan di bumi sekitar 4 miliar tahun yang lalu.
Bila dituliskan, maka buku itu terdiri dari satu miliar kata, sepadan dengan sekitar 800 buah Alkitab. Sampai-sampai, Matt Ridley menyimpulkan bahwa kehidupan laksana informasi digital yang tertulis dalam DNA.
Semakin kita tahu, makin takjub pada keagungan semesta, dan makin merasa fakir, kurang ilmu untuk menyingkap sisi gelap dari ketakbertepian samudera ilmu sang pencipta.
Celakanya, banyak di antara kita yang merasa sudah cukup tahu, karena/sehingga berhenti belajar. Saat hutan alam kita makin tipis, hutan kebodohan kita justru kian tebal.
Padahal, perkembangan ilmu itu bagaikan tungku perapian yang harus disuapi dengan kayu-kayu gelondongan dari hutan kebodohan sekitar kita. Hanya dengan terus membakar pohon-pohon kebodohan, perapian pengetahuan tetap menyala. Makin banyak hutan terbakar, makin luas lahan terbuka. Makin luas lahan terbuka, justru makin tampak pepohonan yang masih tersisa.
Begitulah, pusat perhatian ilmuwan sejati bukanlah lahan terbuka yg sudah disiangi pengetahuan, melainkan kepekatan hutan kebodohan yang masih tebal di depan mata. (*)