Buruknya Berebut Jabatan Duniawi

Oleh: Luthfi Bashori, Pengasuh Pondok Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islam Singosari, Malang

PADA era maraknya politik Pilkada, Pilgub hingga Pilpres di tanah air, tentu sudah tidak asing lagi terdengar hiruk-pikuk di telinga masyarakat adanya perebutan jabatan antar kontestan politik, entah itu pada level jabatan legeslatif, eksekutif maupun yudikatif.

Menjabat suatu kedudukan dalam kepemimpinan di tengah masyarakat, jika naiknya itu karena diminta oleh masyarakat, misalnya karena dinilai sebagai figur yang tepat, karena memiliki kecakapan, kecerdasan, serta jiwa kepemimpinan (leadership) yang baik dan mumpuni, maka dalam perjalanan kepemimpinannya itu akan dibimbing oleh Allah.

Namun, menjabat kepemimpinan karena dicari-cari, apalagi memaksakan diri, yang untuk dapat meraihnya saja harus berusaha dengan segala macam cara, baik cara yang halal maupun yang haram, bahkan sogok menyogok pun ia lakukan secara vulgar demi sebuah jabatan, maka yang seperti inilah yang kelak di akhirat akan mendapat ancaman siksa.

Rasulullah Muhammad SAW bersabda: “Tiada seorang hamba pun di dunia ini menghendaki agar kedudukan/jabatannya diangkat satu derajat, kecuali Allah SWT akan merendahkannya kelak di akhirat dalam kadar yang lebih rendah dan lebih hina daripada yang sekarang” (HR. Imam Thabrani).

Berzuhud terhadap jabatan, kekuasaan dan kedudukan, adalah sesuatu yang sangat terhormat, karena sesungguhnya kekuasaan dan kedudukan yang baik itu hanya diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang aslinya tidak menghendaki dan tidak bernafsu untuk menjabatnya, namun karena ia memiliki kemampuan yang lebih di atas rata-rata daripada orang lain, maka dimintalah oleh masyarakat untuk menjadi pimpinan mereka.

Rasulullah SAW juga telah mengingatkan, “Sesungguhnya kalian kelak akan berambisi terhadap kepemimpinan” (HR. Bukhari).

Ambisi terhadap kepemimpinan itu sangatlah buruk dan dianggap negatif dalam pandangan Islam. Namun jika seseorang itu dibutuhkan oleh masyarakat untuk memimpin demi kebaikan dunia dan akhirat, maka ia tidak boleh menolaknya. (*)