Defisit Keadilan
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, setelah 25 tahun demokrasi Reformasi berjalan tanpa perbaikan kualitas hidup yang berarti, mestinya terbit kesadaran bahwa tirani pemerintahan tidak bisa dihapus begitu saja dengan pesta kebebasan.
Saatnya mempertimbangkan penghayatan klasik yang memperhadapkan tirani dengan keadilan. Kebebasan tanpa keadilan hanya membuat tirani berganti wajah, dari wajah bengis militeristik menuju wajah lembut permainan prosedur.
Jauh-jauh hari, para pemikir demokrasi seperti Alexis de Tocqueville mewanti-wanti kemungkinanan munculnya bentuk tirani lain dalam demokrasi, yakni tirani mayoritas. Namun, dalam demokrasi di Indonesia, yang muncul tetap saja tirani minoritas – tirani pemodal yang bersekutu dengan oligarki kepartaian yang mengendalikan dukungan suara mayoritas.
Jika persoalan demokrasi kita adalah defisit keadilan, bukan kebebasan, maka isu utamanya adalah bukanlah pergantian elit dan prosedur politik, tetapi pada kapasitas transformatif dari kekuasaan itu.
Bagaimana mengakhiri gerak sentripetal kekuasaan yang bersifat kemaruk dan narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Malangnya, pergeseran dari rezim otoritatian menuju demokrasi di sini belum menyentuh aspek ini, sehingga upaya-upaya reformasi tidak menghasilkan perubahan substansial.
Dalam kaitan ini, watak kepemimpinan memainkan peran penting. Meskipun kepemimpinan merupakan fitur permanen yang selalu diperlukan setiap masyarakat dan segala zaman, namun tak ada pemimpin yang cocok untuk segala musim.
Masa krisis dan disorientasi politik memerlukan peran kepemimpinan lebih besar dalam sosok kepemimpinan kharismatik – dalam pengertian Weber; yakni pemimpin yang dengan kewibawaan personalnya mampu mengatasi kelemahan sistemik dan membuka jalan bagi penyehatan kelembagaan sosial-politik dan tata kelola pemerintahan; yang bisa mentransformasikan kharisma personalnya menjadi kharisma institusional.
Kemunculan tipe kepemimpinan seperti itu sulit diharapkan dalam desain demokrasi elitis padat modal. Kita harus menemukan kembali sistem demokrasi yang lebih menjamin kesetaraan politik dan kesetaraan kesempatan dalam desain demokrasi deliberatif yang inklusif, yang kondusif bagi keadilan dan kemajemukan. (*)