Etos Kerja
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, ”Berangkatlah, niscaya engkau akan mendapatkan ganti untuk semua yang engkau tinggalkan. Bersusah payahlah, sebab kenikmatan hidup direngkuh dalam kerja keras. Ketika air mengalir, ia akan menjadi jernih, dan ketika berhenti ia akan menjadi keruh. Sebagaimana anak panah, jika tak meninggalkan busurnya tak akan mengenai sasaran. Biji emas yang belum diolah sama dengan debu di tempatnya. Maka ketika orang berangkat dan bekerja, dia akan mulia seperti bernilainya emas.”
Demikian Imam Syafi'i memberi nasihat tentang pentingnya etos kerja.
Karena etos kerja itu erat kaitannya dengan situasi kerohanian, pantaslah dipertanyakan apa yang terjadi dengan jiwa keagamaan kita. Mengapa dlm masyarakat yg dilukiskan bercorak religius, produktivitas rendah, etika sosial lembek, sedang korupsi merajalela?
Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, pantaslah dipertanyakan bagaimana tuntunan etos kerja dalam agama ini.
Kalau diperiksa secara saksama, ajaran moral Al-Qur’an sesungguhnya memancarkan etos kerja positif. Tak kurang dari 50 kali Qur’an memuat kata kerja aqala (akal-pikiran). Diingatkan pula, ”Tiadalah sesuatu bagl manusia, melainkan sesuai dengan apa yang dikerjakannya” (QS 52: 36-42). ”Setiap orang bekerja sesuai dengan bakatnya” (QS 17: 84). ”Dan jika engkau berwaktu luang, maka bekerjalah” (QS 94: 7).
Hubungan positif antara jiwa keagamaan dengan etos kerja perekonomian juga bisa dilihat jejaknya dalam Islam klasik Nusantara. Islam masuk kepulauan ini melalui jalur dagang.
Juga ada kesesuaian antara kedalaman penghayatan keagamaan dengan kegairahan aktivitas perekonomian seperti dijumpai pada suku bangsa Minangkabau, Banjar, dan Aceh; Begitu pun di Jawa, orang kauman yang menumbuhkan industri batik, keretek, dan perak, menjalankan kegiatan keagamaan dan perekonomian secara simultan.
Masalahnya, seperti diingatkan Clifford Geertz, sekalipun etos kerja ”kapitalisme”, seperti tercemin dalam sikap tekun, hemat, dan berperhitungan, juga dimiliki oleh kaum santri, kekuatan ekonomi santri sulit menjadi besar karena tak didukung oleh kerangka institusional dan organisasi bisnis modern.
Selebihnya, kendala birokrasi pemerintahan yang bersifat eksploitatif. Wertheim mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah bukan saja menghambat kemajuan, tapi juga melumpuhkan bibit kewirausahaan dan etos kerja yang telah tumbuh dalam masyarakat. (*)