Faedah Tauhid dan Akidah

Oleh: Ferry Is Mirza DM, Wartawan Utama Sekwan Dewan Kehormatan Pengurus PWI Jatim

ALHAMDULILLAH, tiada habisnya nikmat yang Allah curahkan kepada kita untuk kita puji. Begitu besar rahmat dan kasih sayangNya kepada para hamba. Di antara nikmat agung yang Allah berikan kepada kita adalah petunjuk tentang membangun akidah dan keyakinan dalam kehidupan.

Allah berfirman, “(Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)

Ayat ini sering kita dengar. Begitu indah dan merdu. Sebuah ayat yang menyimpan pelajaran-pelajaran berharga bagi kehidupan manusia. Allah menjelaskan kepada kita bahwa tujuan penciptaan kehidupan dan kematian adalah untuk menguji manusia. Mereka yang berhasil melalui ujian ini adalah yang mempersembahkan amal terbaik. Yaitu, yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan sunah (tuntunan) Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Kita pun sering mendengar atau membaca ayat, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ayat ini pun demikian akrab di telinga kita. Sebuah panduan dan pedoman bagi manusia agar kembali ke jalan Allah, menghamba kepadaNya, dan tunduk kepada perintah dan laranganNya.

Seorang ulama pembaharu di masanya, Abul Abbas Al-Harrani rahimahullah, menjelaskan bahwa hakikat ibadah itu mencakup segala bentuk ucapan dan perbuatan yang diridhai dan dicintai oleh Allah, baik berupa sesuatu yang lahir/tampak maupun suatu hal yang bersifat batin/di dalam hati. Segala bentuk amal dan ketaatan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila dibangun di atas pondasi akidah yang benar, yaitu akidah tauhid, pemurnian ibadah kepada Allah semata. Tanpa tauhid, maka amal apa pun tidak akan diterima, bahkan sia-sia dan mendatangkan malapetaka bagi hamba di akhirat kelak.

Allah berfirman, “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, jika kamu mempersekutukan Allah (berbuat syirik) pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Tauhid inilah pondasi dan asas agama yang setiap muslim wajib untuk tunduk beribadah kepada Allah dan memurnikan amal ketaatan untukNya semata. Bukan karena Allah membutuhkan amal dan ibadah kita, tetapi karena tauhid dan keikhlasan itulah kunci kebahagiaan kita. Tauhid inilah kewajiban terbesar manusia kepada Rabb dan Penciptanya.

Allah berfirman, “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)

Seorang ahli tafsir, Imam Al-Baghawi rahimahullah, menukil penjelasan sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap kata “ibadah” dalam Al-Qur’an (yang diperintahkan untuk ditujukan kepada Allah), maka itu maksudnya adalah tauhid. Sungguh keterangan yang sangat penting dan berharga bagi kita.

Hakikat tauhid ialah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Inilah hak Allah atas setiap hamba yang Allah ciptakan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepadaNya dan tidak mempersekutukan denganNya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari Muslim)

Kita semuanya adalah ciptaan Allah. Hanya Allah yang mengatur segenap alam semesta dan memberikan rezeki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita hidup dalam kesia-siaan dan tanpa arahan yang jelas. Allah telah mengutus kepada kita seorang Rasul, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Barangsiapa yang taat kepada beliau, maka dia akan masuk surga. Dan barangsiapa durhaka kepadanya, maka dia terancam masuk ke dalam neraka.

Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul itu setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahanam. Dan sungguh Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)

Allah juga berfirman, “Dan barangsiapa yang taat kepada Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.”(QS. An-Nisa’: 80)

Inilah akidah besar dan keyakinan kokoh yang berupaya untuk dihancurkan dan dirusak oleh musuh- musuh dakwah tauhid. Sebuah keyakinan yang menanamkan pokok keimanan dan benih amal saleh ke dalam hati setiap muslim. Bahwa ketaatan dan kebaikan yang dilakukan ini harus sesuai dengan aturan Islam dan petunjuk Nabi akhir zaman Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Sebagian ulama terdahulu mengatakan dalam kalimat yang ringkas, tetapi sangat dalam maknanya, bahwa risalah (ajaran) Islam ini berasal dari Allah. Kewajiban Rasul adalah menyampaikannya, sedangkan tugas kita adalah tunduk dan pasrah menjalankannya. “Minallahir risalah, wa ‘alarrasulil balagh, wa ‘alaina at-taslim.” Kepasrahan kepada ajaran Islam adalah kunci kebaikan dan pintu kebahagiaan. Suatu perkara yang sangat diperangi dan ditolak oleh Iblis dan bala tentaranya di alam dunia.

Lihatlah, bagaimana Iblis enggan dan menyombongkan diri di hadapan Allah. Ia menolak tunduk kepada perintah Allah. Ia lebih mengedepankan hawa nafsu dan dangkalnya logika. Oleh sebab itu, para ulama menyebutkan bahwa di antara sebab utama munculnya fitnah (kerusakan) berupa syubhat (kerancuan) pemikiran adalah “taqdimur ra’yi ‘alan naqli”, yaitu mendahulukan pendapat akal di atas dalil naqli (wahyu) dari Allah. Sebagaimana akar munculnya fitnah syahwat (kesenangan) terhadap berbagai perkara yang diharamkan ialah “taqdimul hawa ‘alal ‘aqli”,yaitu lebih mendahulukan hawa nafsu di atas akal sehat.

Iblis dan bala tentaranya berusaha menyesatkan manusia dari jalan hidayah melalui dua celah. Yaitu, dengan berlebih-lebihan (ekstrim) atau dengan sikap meremehkan dan menyepelekan. Mereka tidak peduli dari celah mana seorang hamba itu akan tersesat dan binasa. Yang jelas, ia selalu mengajak pengikutnya untuk bersama-sama menjadi penghuni neraka. Iblis pun telah bersumpah di hadapan Allah dengan menyebutkan kemuliaanNya untuk bekerja keras menyesatkan manusia.

Karena itulah, Allah selalu memperingatkan manusia bahwa setan (Iblis) itu adalah musuhnya, maka wajib untuk menjadikan setan itu sebagai musuh.

Semua orang yakin bahwa setan adalah musuh kita, tetapi banyak orang yang justru menjadikan setan sebagai teman dan pembimbing perjalanan hidupnya. Ia tidak mau patuh kepada perintah dan larangan Rabbnya. Oleh sebab itu, Allah menyebut di dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang kafir itu, penolong mereka adalah thaghut. Dan Iblis merupakan gembongnya thaghut yang justru mengeluarkan mereka dari cahaya menuju berlapis kegelapan.

Ibnul Qayyim rahimahullah menggambarkan kondisi banyak manusia, “Mereka berlari meninggalkan penghambaan yang mereka tercipta untuknya. Maka, mereka pun terjebak dalam perbudakan kepada hawa nafsu dan setan.”

Marilah kita berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah. Mintalah pertolongan kepada Allah. Mintalah petunjuk dan bimbinganNya. Sebagaimana dalam doa yang selalu dibaca oleh umat Islam di dalam salatnya, “ihdinash shirathal mustaqim”. Ya Allah, tunjukilah kami untuk bisa berjalan di atas jalan yang lurus ini

Wahai Allah, Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas ketaatan kepadaMu, Wahai Allah Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk taat kepadaMu. Ya Allah, bantulah kami dalam berzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik kepadaMu.

Hak Allah atas Hamba

Di antara perkara paling wajib yang harus diketahui oleh seorang muslim adalah apa-apa yang menjadi hak Allah atas segenap manusia. Hal ini adalah perkara yang sangat jelas dan gamblang di dalam syariat para Rasul dari masa ke masa hingga Rasul yang terakhir.

Allah berfirman, “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl : 36)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepadaNya dan tidak mempersekutukan denganNya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari Muslim)

Beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik merupakan hak Allah atas segenap hamba. Inilah kewajiban terbesar di dalam hidup bani Adam.

Allah berfirman, “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)

Imam Al-Baghawi rahimahullah menukil tafsiran dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap perintah beribadah kepada Allah di dalam Al-Qur’an, maka maknanya adalah mentauhidkanNya.

Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah berkata, “Perkara terbesar yang diperintahkan oleh Allah adalah tauhid, yaitu meng-esa-kan Allah dalam beribadah.”

Allah berfirman, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Allah berfirman, “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku (saja).” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Karena hanya Allah yang menciptakan kita, maka hanya Allah pula yang berhak untuk diibadahi. Menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kezaliman yang paling besar.

Allah berfirman, “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang orang zalim itu penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72)

Menunjukkan ibadah kepada selain Allah, apakah itu doa, sembelihan, nazar, istighatsah, dan sebagainya, adalah penghancur amal kebaikan.

Allah berfirman, “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti lenyap semua amalmu dan benar- benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Oleh sebab itu, syirik menjadi keharaman paling besar dan dosa besar yang paling berat.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepadaNya dan masih mengampuni dosa-dosa di bawah itu bagi siapa saja yang dikehendakiNya.” (QS. An-Nisa’: 48)

Amal kebaikan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila bersih dari syirik.

Allah berfirman, “Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110). (*)